Minggu, 27 Desember 2009

Fatwa Kafirnya Yusuf Qardhawi oleh Syaikh Abu Bashir

FATWA PENGKAFIRAN SYAIKH YUSUF Qardhawi
Mufti: Abu Bashir Ath Thurthusi


Penanya:
Apakah wajib bagi saya, menyebarkan apa yang saya beragama dengannya kepada Allah yaitu mengkafirkan para thaghut secara mu’ayyan (orang per orang), seperti para thaghut Arab dan beberapa Syaikh; seperti Syaikh al Qardhawi?

Jawab:
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Ya, wajib bagimu menyebarkan kekafiran orang yang kamu sebutkan dari kalangan para thaghut, karena kejahatan kekafiran mereka tidak hanya terbatas pada diri mereka sendiri. Tetapi menyebar kepada seluruh umat ini. Karena itu kekafiran mereka harus dibongkar dan orang awam harus diingatkan agar mewaspadai mereka, kekafirannya dan kejahatannya. Ini termasuk makna dan konsekwensi kufur (mengingkari) kepada thaghut, yang diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya.

******


Penanya:

Assalamu’alaikum …
Syaikh kami yang mulia;

Sebagian para ikhwah menukilkan jawaban Anda tentang pertanyaan no. 57 di Milist Hizb Islami. Di dalamnya Anda mewajibkan bagi orang yang beragama kepada Allah agar kufur kepada para thaghut secara perorangan, yaitu dengan mengkafirkan mereka dan mengumumkan keberlepasan dirinya dari mereka di hadapan masyarakat luas.

Pertanyaan nomor tersebut berisi permasalahan pengkafiran Qardhawi, akan tetapi Anda wahai Syaikh kami yang mulia, tidak menyinggung si penanya mengenai masalah ini. Bahkan Anda menyarankannya untuk mengkafirkan orang yang disebutkan dalam pertanyaannya dengan perkataan Anda: (Ya, wajib bagimu menyebarkan kekafiran orang yang kamu sebutkan dari kalangan para thaghut) dan Anda menyebutkan jawaban Anda secara umum mencakup semua yang disebutkan dalam pertanyaan tanpa ada pengecualian terhadap Qardhawi. Hal ini menjadikan sebagian ikhwah peserta milist Salafiyyun menganggap Qaradhawi sebagai seorang thaghut. Lalu mereka mengumumkan keberlepasan diri mereka darinya, mengkafirkannya dan menebutkan sebab-sebab kekafirannya dari beberapa sumber. Mereka mengatakan: termasuk kufur kepada thaghut adalah mengumumkan keberlepasan dirinya dari thaghut tersebut berdasarkan jawaban Anda –semoga Allah selalu menjaga Anda.

Kami sangat berkeinginan wahai Syaikh kami yang mulia, meminta kejelasan kepada Anda secara pribadi, apakah pernyataan Anda termasuk pernyataan yang mutasyabih (tidak jelas) atau justru sebaliknya, ajakan terang-terangan bagi orang yang beragama kepada Allah untuk kufur kepada Qardhawi dan menganggapnya sebagai seorang thaghut yang harus dikafirkan? Hal ini melihat diskusi yang semakin tajam antara orang-orang yang berpendapat bahwa Anda berlepas dari perkataan ini dan antara orang-orang yang berpendapat bahwa perkataan itu memang perkataan Anda.
Semoga Allah membalas Anda dengan balasan kebaikan.


Jawaban:
Wassalamu’alaikum …
Bismillah …
Saudara kami yang mulia … wa’alaikum salam …, selanjutnya;
Perlu diketahui wahai saudaraku, saya –bagi-Nya lah segala puji- bukan termasuk orang yang menganggap ringan urusan agama; sehingga terjun dalam urusan yang tidak selayaknya dan tidak boleh diterjuni. Semua orang mengenal kami termasuk orang yang paling ketat mentakwilkan dan memberi udzur (maaf) terhadap orang-orang yang terlanjur berbuat salah dan tergelincir, khususnya jika mereka termasuk ahli ilmu (ulama).

Akan tetapi orang yang disebutkan dan ditanyakan tersebut, tidak meninggalkan kami ruang untuk mentakwilkan atau untuk mengudzur. Dia telah melecehkan Allah di hadapan masyarakat luas sedang dia berada dia atas mimbar pada hari ketika memuji-muji pemilihan umum yahudi di Palestina.

Sebelum itu, dia menolong para berhala patung yang disembah selain Allah di Afghanistan.

Membolehkan warga muslim Amerika, ikut serta bersama pasukan Amerika Kafir, memerangi kaum muslimin dan para putera mereka di Afghanistan.

Berpendapat demokrasi dengan maknanya yang syirik dan permisivisme, sebagaimana bantahan kami kepadanya dalam kitab kami “Hukmul Islam fid Dimukratiyyah” `Hukum Islam mengenai Demokrasi`. Ditambah lagi, persaudaraanya dengan orang-orang Kristen dan Syi’ah Rafidlah, yang diumumkannya dalam setiap kesempatan.

Di samping pujiannya dan loyalitasnya terhadap banyak para thaghut hukum dan kafir zaman sekarang.

Demikian juga keganjilan-keganjilan ijtihad fikihnya yang lebih mendekati kepada penghalalan sesuatu yang haram daripada hanya sekedar ijtihad fikih.

Semua itu benar-benar nyata pada diri orang ini dengan pasti dan meyakinkan. Sampai saat ini kami belum mengetahui dia bertaubat atau taraju’ (kembali kepada kebenaran) dari permasalahan-permasalahan yang sudah disebutkan. Bahkan sudah maklum keterlaluannya tersebut semakin menjadi-jadi.

Karena itu wajib mengatakan mengenai kekafirannya menurut syariat. Menelanjanginya dan menelanjangi kebatilannya supaya diwaspadai orang-orang. Ini pendapatku mengenai orang ini dan saya tidak mewajibkan orang lain dengan pendapatku ini.

Wallahu Ta’ala A’lam.
Alih bahasa: Abu Syakir
Sumber: CD Mimbar Tauhid wal Jihad

***

Sikap Syar’i terhadap Qaradhawi
Mufti: Abu Bashir Ath Thurthusi

Ada pertanyaan yang sering menggangguku sajak lama, yaitu seputar Syaikh Yusuf al Qaradhawi, tulisan-tulisannya, pemikiran-pemikirannya dan manhajnya. Di mana saya pada awal proses menuntut ilmu, membaca sebagian kitabnya dan tertarik dengannya. Pada waktu itu arah pemikiran saya masih ikhwani. Akan tetapi setelah beberapa tahun berselang, wawasan dan pengetahuanku bertambah. Saya banyak membaca kitab-kitab salaf, saya menemukan barang saya yang hilang, Allah menunjukkan kepadaku manhaj yang saya pandang benar dan keyakinan yang benar yang bisa menyelamatkan. Selama saya membuka-buka wabsite-website “Tauhid wal Jihad” di internet, saya mengenal lebih banyak dan lebih banyak lagi tentang “Firqah Najiyyah” `Golongan Selamat` dan “Ma’alim Thaifah Manshurah” `Rambu-Rambu Golongan Yang Selalu Mendapat Pertolongan`. Sehingga saya semakin cinta kepadanya dan semakin erat berpegang teguh dengannya. Setiap saya membaca tulisan Syaikh al Qaradhawi, saya semakin tahu seberapa jauh kesalahan-kesalahannya. Khususnya mengenai pemahaman “Demokrasi”, kebebasan dan sikapnya terhadap para penguasa dan para thaghut …dst. Namun, dari sisi lain, sebagian orang menuduhnya dengan tuduhan yang sangat keji seperti al Kalbawi, al Jarbawi, kaset dengan judul Bantahan untuk membuat diam al Kalb al ‘Awi yang dipanggil al Qaradhawi, al Qardawi, Yang sesat menyesatkan, seorang alim yang sesat yang termasuk para penyeru ke pintu-pintu neraka jahannam … dst.

Pertanyaan saya:
Jika memang Syaikh telah bersalah, apakah layak bagi Ahli Sunah wal Jama’ah dan Salafi Palsu maupun Salafi Asli untuk mencela dan mencercanya daripada menghadapinya dan menjelaskan kesalahanya dengan metode ilmiah yang indah dan jauh dari tuduhan dan celaan …?!

Pertanyaan Kedua:
Bagaimana sikap kita sebagai kaum muslimin terhadap Syaikh ini, apakah kita menganggapnya sebagai seorang alim (berilmu) yang perkataanya bisa diambil dan ditolak. Ataukah justru sebaliknya dia seorang yang sesat, ahli bid’ah. Dan apakah kebid’ahannya sampai kepada tingkat yang bisa menjadikannya fasik atau kafir?

Pertanyaan Ketiga:
Jika para rasionalis dan ahli hadits telah berbeda pendapat semenjak dahulu dan mereka membolehkan perbedaan pendapat ini dan mereka masih bersaudara dan saling mencintai, mengapa kita pada hari ini melarangnya dan sebagian kita menghormati sebagian yang lain selama syariat yang lurus mengakui itu sebagaimana dalam hadits bani quraizhah atau ada ghuluw (berlebih-lebihan), tasyaddud (terlalu ketat) dan sikap ekstrim sebagaimana kata mereka …dan terakhir kami mengharap dari Anda wahai Syaikh agar Anda mengatakan kepada kami perkataan yang tuntas mengenai orang ini supaya kami bersikap jelas terhadap urusan kami.

Semoga Allah memberi keberkahan kapada Anda dan membalas balasan kebaikan dari kami.


Jawaban:

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
Kami tidak memandang bolehnya melontarkan ungkapan-ungkapan keji yang barusan disebutkan dalam pertanyaan baik terhadap Qaradhawi maupun yang lain …karena seorang muslim tidak selayaknya menjadi tukang melaknat, tukang mencela atau tukang ngomong keji …Seorang muslim harus menjaga diri dari itu semua. Akan tetapi ini tidak menghalangi membawa istilah dan hukum syar’i yang memang berhak disandang Qaradhawi atau pun yang lainnya berupa penjatuhan vonis fasik, sesat atau kafir dan lontaran-lontaran syar’i yang sejenisnya … Jika memang dalam diri orang tersebut ada perilaku yang mendorong menyandangkan hukum-hukum ini atau sebagiannya kepadanya.

Adapun pertanyaan Anda mengenai diri Qaradhawi:
Saya katakan: Orang ini memiliki awal yang bagus dan banyak karya ilmiyah bermanfaat di awal perjalanan hidupnya dalam bidang dakwah dan ilmiyah … Akan tetapi saya meyakini selanjutnya dia merubah dan mengganti … dan menyimpang jauh yang kami tidak menemukannya di awal masa menuntut ilmu … dan perjuangannya demi agama ini … Yang menjadi pedoman adalah akhir hidupnya dan dengan apa seseorang mengakhiri hidupnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Janganlah kalian heran dengan amal seseorang sampai kalian melihat dengan apa ia mengakhiri hidupnya, seseorang beramal shalih beberapa waktu dari umurnya atau sejenak dari umurnya yang seandainya dia mati di atas amalan itu niscaya dia masuk surga, kemudian berubah melakukan amal buruk …” Kami memohon kepada Allah l keteguhan dan husnul khotimah (akhir hidup yang baik).


Jika kalian bertanya: mana sisi perubahan dan penggantian pada orang ini …?!

Saya katakan: perubahan dan penggantian yang dia lakukan dari banyak sisi, di antaranya:

• Dari sisi kedekatannya dengan para thaghut hukum yang zhalim, pujian kebaikannya kepada mereka, dan pembelaanya dengan mendebat orang-orang yang menentangnya …Ini sudah terkenal dan masyhur darinya, setiap orang yang mengenal sedikit tentang orang ini pasti mengetahuinya!

• Dari sisi pendapatnya mengenai demokrasi berikut maknanya yang kufur dan syirik … melariskannya …, pendapatnya mengenai bebasnya mendirikan partai sekuler murtad dan mendukungnya untuk menguasai negara dan masyarakat, seandainya sudah terpilih dengan suara terbanyak …Kami telah membantahnya dalam kitab kami “Hukmul Islam fid Dimukratiyyah wat Ta’addudiyyah al Hizbiyyah” dalam lebih dari 80 halaman …Kalian bisa melihatnya …dan untuk mengetahui lebih banyak tentang orang ini dalam masalah tersebut!

• Dari sisi pujian kebaikannya kepada Syi’ah Rafidlah …dan anggapannya yang terlalu meyepelekan perbedaan Ahli Sunah dengan mereka …serta masuk dalam loyalotas kepada mereka …Meskipun banyak ulama yang mengumumkan kekafiran mereka yang sangat nyata berkaitan dengan Qur`an, Sunah dan para sahabat Nabi …Dan berkaitan dengan masalah lain!

• Dari sisi usahanya menolong para berhala patung yang disembah selain Allah di Afghanistan … demi memenuhi keinginan dan perintah para thaghut hukum yang mengutusnya untuk tugas yang sangat kotor tersebut …Yang itu menjadi lembaran hitam dalam kehidupan orang ini yang tidak diketahui darinya menampakkannya kecuali penyesalan, tangisan dan taubat di hadapan masyarakat luas terhadap kejahatan kedua tangannya!

• Dari sisi pelecehannya terhadap Sang Pencipta? Ketika berada di atas mimbar pada hari Jum`at, dia mengatakan dengan penuh kesadaran setelah pujian kebaikannya terhadap demokrasi Israel terlaknat: “Seandainya Allah menawarkan diri-Nya kepada orang-orang niscaya Dia tidak akan mengambil prosentase ini”; yaitu prosentase yang diambil para penguasa Arab yaitu 99,99% …!!

Ketika perkatannya ini disodorkan kepada Syaikh Ibnu Utsaimin, beliau berkata: Ini suatu kemurtadan …karena mengandung pelecehan dan mengangkat makhluk di atas derajat Sang Pencipta!...Wajib untuk dimintai tobat –dengan mengumumkan tobatnya di atas mimbar yang sama ketika dia mengatakan perkataan kekafiran tersebut- jika tidak bertobat, dibunuh sebagai orang murtad …Syaikh berkata benar dan saya setuju dengan perkataan beliau.

• Dari sisi penghalalan sesuatu yang haram, yang keharamannya sudah diketahui dari agama Allah dengan pasti:

Sebagaimana penghalalannya bagi seorang perempuan boleh menyanyi diatas panggung denga diiringi alat musik …., beberapa urusan muamalah dan jual beli yang diharamkan …sebagaimana dalam buletin yang terbit dari Dewan Fatwa dan Riset Eropa tang dipimpin oleh Qaradhawi sendiri. Yang tersebut dalam buletin sebagai ringkasan beberapa wasiat yang dalam Mu`tamarnya yang Kedua di Irlandia menghasilkan: Dewan membolehkan menjual khamr dan daging babi di toko-toko milik kaum muslimin jika memang harus menjualnya. Dewan mensyaratkan prosentase barang yang diharamkan tersebut sedikit dibanding jumlah total barang dagangan lain … Dewan mengharamkan menjual khamr di restoran-restoran karena prosentasinya menguasai prosentase barang dagangan secara keseluruhan …Dewan membolehkan membeli rumah dan mobil melalui perantara bank dan membayar dengan cara kredit …Dewan membolehkan keikutsertaan lelaki dan perempuan dalam satu tempat selama dalam bingkai kaidah syariat semisal majelis ilmu, ceramah, study, kegiatan kemasyarakatan dan lainnya …Dewan membolehkan masuknya wanita dan lelaki dari satu pintu ruang pertemuan dan majelis-majelis, dewan memandang hal itu tidak mengapa, menganggap istilah “ikhthilath” `campu baur lelaki dan perempuan` istilah susupan dalam istilah islami … Dewan membolehkan memakan makanan mengandung sedikit unsur kimia dari bahan-bahan yang diharamkan seperti daging babi dan lemaknya, dengan syarat prosentasenya tidak lebih dari 1% …Dewan memperketat, kaum muslimin wajib menghormati undang-undang negara tempat mereka tinggal …Dewan membolehkan ikut serta dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum dalam rangka memilih wakil-wakil rakyat di negara-negara barat karena dapat mewujudkan kemaslahatan bagi kaum muslimin …!!!!

Saya katakan: Kebatilan yang sangat jelas ini …yang mengandung penghalalan yang sangat jelas terhadap sesuatu yang diharamkan Allah l berdasarkan nash dan ijma’ … yaitu sebagian wasiat-wasiat isi buletin …Yang semuanya diterbitkan dengan nama Qaradhawi dan setelah mendapat tanda tangan darinya serta dibolehkan olehnya …Karena sebab itulah isi buletinnya menjadi laris dipraktekan di banyak negara khususnya negara-negara Eropa … la haula wala quwwata illa billah (tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)!!
Karena melihat berbagai sisi tersebut serta sisi yang lain, maka kami katakan orang ini telah merubah dan mengganti …, menghalalkan apa yang diharamakan Allah …, dan jatuh dalam kekafiran yang nyata … Dan saya memandang tidak ada satu pun penghalang kekafirang yang bisa menghalanginya dari jatuhnya vonis kafir kepada dirinya kecuali tobat nasuha dan dilakukan di hadapan masyarakat luas dari semua kekafiran yang telah disebutkan, yang memang benar-benar terbukti atas orang ini … Wallahu Ta’ala A’lam.

Vonis hukum dari kami ini terhadap orang ini tidak keluar melalui metode orang-orang yang ngawur …atau Ahli Takfir ekstrim …Tidak …Tetapi keluar setelah perenungan dan pengamatan lama mengenai seluruh penghalang takfir, hal-hal yang mengharuskannya dan berbagai konsekwensinya …Dan setelah sabar berdiam dalam waktu lama karena kami khawatir terjatuh dalam dosa karenanya … Khususnya karena bencana yang ditimbulkan orang ini semakin meluas, menyebar dan berbahaya …Dan banyaknya pertanyaan mengenai dirinya: sikap-sikapnya, lontaran-lontarannya yang sangat jelas dan ijtihad-ijtihad fikihnya …Maka kami berkesimpulan untuk menjelaskan hukum syar’i –mengenai orang ini- yang kami yakini …Meskipun hukum ini bisa jadi tidak memuaskan sebagian orang yang tidak mengetahui apa-apa kecuali hanya fanatisme terhadap nama orang ini, pribadinya dan berbagai gelarnya …Dan Allah l Yang Mencukupi kami dan Dia sebaik-baik Penolong.


Jika kalian bertanya: Mengapa harus di hadapan masyarakat luas …?!

Saya jawab: Karena dia mengumumkan kekafirannya …dan mengatakan kalimat kekafiran di hadapan masyarakat luas …Maka dia harus bertobat dan menjelaskan tobatnya kepada orang-orang di hadapan masyarakat luas …Agar kami bisa menahan diri dari mengkafirkannya dan memurtadkannya …Sebagaimana firman Allah swt:
Kecuali mereka yang telah taubat dan Mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka terhadap mereka Itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah [2]: 160)

Adapun pertanyaan Anda berkaitan dengan kemungkinan tetap adanya rasa kasih sayang dan cinta sesama kaum muslimin meskipun adanya perbedaan pendapat?

Saya jawab: Ini memang ada dan wajib hukumnya … Yaitu ketika perbedaan pendapatnya dalam koridor “ikhtilaf tanawwu’” `perbedaan berkaitan dengan variasi sesuatu yang memang boleh dilakukan dengan berbagai variasi yang dibolehkan` …Atau apabila termasuk dalam permasalahan dalil-dalil dan kaidah-kadah syariat yang memang mengandung multi interpretasi … Jenis perbedaan pendapat seperti ini memang tidak selayaknya merusak rasa kasih sayang yang harus terwujud antar sesama ikhwan (saudara).

Adapun, apabila perbedaan dan perselisihan pendapat itu terjadi dalam masalah pokok dan nilai-nilai pasti yang sudah umum berlaku (tsawabit ‘amah) …: dalam tauhid …, dalam masalah kekafiran dan keimanan …, dalam masalah penghalalan sesuatu yang diharamkan …, dalam masalah pengharaman sesuatu yang dihalalkan …Yang semua itu termasuk dalam sesuatu yang sudah diketahui dalam agama Allah secara pasti …Maka jenis perselisihan pendapat seperti ini tidak mungkin didiamkan atau tidak mungkin menyisakan rasa kasih sayang dan saling menghormati antara kedua belah pihak …Sebagaimana perselisihan pendapat jenis pertama …Bukti-bukti mengenai hal itu banyak terdapat dalam sunah dan sirah para salaf, bahkan lebih banyak banyak lagi kalau mau menghitungnya yang khusus berkaitan tema ini …

Wallahu A’lam.
Alih bahasa: Abu Syakir
Sumber: CD Mimbar Tauhid wal Jihad


Sekitar Fatwa Qaradhawi Mengenai Bolehnya Berperang Bersama Pasukan Salibis
Mufti: Abu Bashir Al Thurthusi

Pertanyaan:
Wahai Syaikh kami barangkali Anda telah mendengar fatwa Qaradhawi mengenai bolehnya kaum muslimin Amerika ikut berperang bersama tentara Amerika melawan kaum muslimin di Afghanistan …Apa pendapat Anda mengenai hal itu …? Apa yang Anda nasihatkan bagi kaum muslimin terhadap saudara-saudara mereka di Afghanistan …? Semoga Allah membalas Anda kebaikan.

Jawaban:
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
Sebenarnya tidak aneh ada beberapa fatwa ganjil seperti ini dari orang yang sesat menyesatkan ini –yang sudah maklum kebatilannya menurut agama secara pasti- …Akan tetapi yang lebih aneh lagi, sampai saat ini masih ada sejumlah kaum muslimin yang mendengarkannya …menganggap fatwanya (sebagai kebenaran) …dan saling berdebat untuk membelanya!

Adapun mengenai fatwa orang ini yang barusan disebutkan jelas sekali kebatilannya …Ini tidak ada kesamaran lagi di dalamnya, hal itu dari beberapa sisi berikut ini:

• Dalam fatwa tersebut di atas, ia lebih memilih loyalitas atas dasar nasionalisme …loyalitas terhadap kewarga negaraan daripada loyalitas terhadap aqidah dan agama …Lebih mendahulukan yang pertama daripada yang kedua …Dan ini adalah sebuah kekafiran, karena menabrak puluhan nash dalil yang mewajibkan mengikat loyalitas (wala`) dan bara` (berlepas diri) di antara kaum muslimin di atas dasar afiliasi terhadap aqudah dan agama …dan kaum muslimin bagaikan satu tangan menghadapi selain mereka meskipin saling berjauhan dan dipisahkan oleh berbagai negara …atau bermacam-macam kewarga negaraan, bahasa dan ras …! Itu adalah sebuah kekafiran karena mendasarkan wala` dan bara`kepada tanah air atau negara …dan karena tanah air itu sendiri selain Allah swt …!

• dalam fatwanya, ia telah menghalalkan dan membolehkan apa yang diharamkan Allah Ta’ala –yang termasuk perkara maklum dari agama secara pasti …dimana ia telah membolehkan membantu kaum musyrikin yang jahat lagi melampaui batas dan ikut serta berperang bersama mereka melawan kaum muslimin karena alasan-alasan lemah jahiliyah yang tidak dianggap dalam agama kita yang lurus …Yaitu alasan karena afiliasi kepada tanah air dan kewarga negaraan! Ia tidak hanya sekedar membantu …bahkan menghalalkan membantu kaum musyrikin dalam melawan kaum muslimin… dan ini sebuah kekafiran yang lebih berbahaya dan jahat …karena terdapat kekafiran dari dua sisi: sisi membantu kaum musyrikin… dan sisi menghalalkan membantu kaum musyrikin dalam melawan kaum muslimin…!

• Kebimbangan dan keterombang-ambingan dirinya dalam menyikapi masalah ini secara khusus …Dari satu sisi ia menganjurkan kaum muslimin membantu kaum muslimin yang ada di Afghanistan …dan meminta mereka supaya jangan membantu Amerika dalam permusuhannya kepada Afghanistan … Namun dari sisi yang lain membolehakan kaum muslimin Amerika –jumlahnya ribuan, berdasarkan afiliasi mereka kepada tanah air- ikut serta berperang bersama dan di samping tentara Amerika yang telah memerangi dan melanggar kehormatan kaum muslimin dan anak-anak mereka di Afghanistan…! Dengan sikapnya tersebut ia di satu sisi membenci orang yang melawan dan mengharamkan penyerangan dan pelanggaran Amerika …Namun di sisi lain membenci orang yang menguatkan pelanggaran Amerika …Ia tidak bersama golongan yang pertama juga tidak bersama golongan yang kedua…Minimal ia bisa dikatakan sebagai seorang Zindiq dan Munafiq …dan bimbang, sebagaimana firman Allah swt: “Mereka dalam Keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (QS. An Nisa [4]: 143).

Adapun kewajiban kaum muslimin terhadap saudara-saudara mereka di Afghanistan …Menurut saya:
Agar tetap bisa merealisasikan seluruh nash-nash syar’i yang berkaitan dengan masalah ini, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin di muka bumi ini –semuanya tergantung kondisi, kemampuan dan kebisaannya- untuk memberikan pertolongan, bantuan dan pembelaan kepada saudara-saudara mereka kaum muslimin di Afghanistan …sebagaimana juga wajib bagi mereka membalaskan untuk saudara-saudara mereka kezhaliman permusuhan Amerika dan para sekutunya dengan seluruh sarana yang disyariatkan …-semuanya tergantung kemampuan, kekuasaan, dan tempatnya- …Ini adalah suatu kewajiban yang tidak seorangpun yang dibedakan di dalamnya … itu suatu yang sudah sangat jelas tidak ada kesamaran sedikit pun di dalamnya …Dan tidak diperselisihkan lagi bagi dua orang yang termasuk ulama mu’tabar (kapabel/diakui).

Sebagai tambahan dari Mimbar Tauhid wal Jihad (http://www.tawhed.ws): Fatwa Qaradhawi yang memuat tanda tangannya dan tanda tangan Thariq al Basyari, Haitsam al Khayyath, Muhammad Salim al ’Awa dan Fahmi Huwaidi. Dipublikasikan oleh Fahmi Huwaidi pada pendapat mingguannya (tajuk rencana) dalam surat kabar “Asy Syarqul Awsath” tertanggal 8 Oktober 2001, teks fatwanya adalah sebagai berikut:

Pertanyaan penanya memaparkan persoalan yang sangat rumit dan kondisi yang sangat sensitif, yang sedang dihadapi saudara-saudara kami tentara muslim dalam pasukan Amerika dan dalam pasukan-pasukan lainnya yang bisa jadi mempunyai kondisi yang serupa.

Menjadi kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, menjadi satu tangan dalam menghadapi orang-orang yang melakukan aksi teror (menakut-nakuti) dan menghalalkan darah orang-orang yang tidak ikut berperang tanpa sebab syar’i. Karena Islam mengharamkan darah dan harta benda seorang muslim dengan pengharaman yang pasti dan jelas sampai hari kiamat. Karena Allah SWT berfirman:

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (QS. Al Maidah [5]: 32). Siapa saja yang menyelisihi dalil-dalil syar’i yang menunjukkan akan hal itu maka ia adalah orang yang telah bermaksiat, berhak mendapat hukuman sesuai dengan jenis maksiatnya dan kadar kerusakan serta perusakan sebagai akibat dari perbuatan maksiatnya.

Wajib bagi saudara-saudara kita para tentara muslim dalam pasukan Amerika, menjadikan sikap mereka ini –dan dasar agamanya- sikap yang sudah dikenal teman-teman dan para pemimpin mereka dan agar mengutarakannya dengan terang-terangan dan jangan menyembunyikannya, ketika dengan sikap demikian ia telah ikut menyampaikan salah satu bagian penting dari hakikat ajaran Islam, yang telah lama dikaburkan gambarannya oleh banyak media massa atau diperlihatkan tidak sesuai dengan hakikat aslinya.

Seandainya peristiwa-peristiwa terorisme yang terjadi di Amerika/United States of America (USA) disikapi sesuai dengan dalil-dalil syar’i dan kaidah-kaidah fiqih, maka hukum yang pas terhadap peristiwa-peristiwa tersebut adalah hukum kejahatan perampokan yang tercantum dalam surat Al Maidah ayat 33 – 34.

Karena itu, kami memandang sangat perlu mencari pelaku sebenarnya kejahatan-kejahatan tersebut dan orang-orang yang ikut serta di dalamnya dari sisi pemberian semangat, pendanaan dan pemberian bantuan, dan mengajukannya kebenaran pengadilan yang obyektif, yang bisa menjatuhkan hukuman yang pantas dan membuat jera mereka dan orang-orang semacam mereka dari kalangan orang-orang yang menganggap remeh kehidupan orang-orang tidak berdosa dan harta benda mereka serta orang-orang yang melakukan teror bagi keamanan orang-orang tidak berdosa tersebut.

Ikut serta dalam program itu dengan segala cara yang memungkinkan, sebagai perwujudan firman Allah SWT:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah.” (QS. Al Maidah [5]: 2).
Semua itu merupakan kewajiban kaum muslimin.

Akan tetapi kesulitan yang menimpa para tentara muslim dalam memerangi kaum muslimin yang lain. Sumber kesulitan itu adalah dalam perang tersebut sangat sulit –atau mungkin mustahil- membedakan antara pelaku kejahatan sebenarnya yang menjadi target serangan, dan antara orang-orang yang tidak berdosa berkaitan dengan apa yang sedang terjadi. Sumber yang lain adalah ada hadits Nabi yang shahih mengatakan: Apabila dua muslim saling berhadapan dengan membawa pedang masing-masing, lalu yang satu membunuh yang temannya tersebut, maka si pembunh dan terbunuh sama-sama masuk neraka. Rasulullah SAW ditanya: Ini untuk si pembunuh kami setuju, lalu bagimana dengan si terbunuh kenapa juga masuk neraka? Beliau menjawab: Karena ia telah berniat ingin membunuh temannya tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim).

Kenyataannya, hadits mulia tersebut mencakup keadaan yang seorang muslim masih mampu menguasai dirinya sehingga ia bisa bangkit ikut berperang atau bisa tidak ikut berperang. Sebaliknya hadits tersebut tidak mencakup keadaan yang seorang muslim menjadi seorang warga negara sekaligus seorang tentara reguler bagi sebuah negara, yang otomatis ia berkomitmen terhadap seluruh perintah yang ditujukan kepadanya, kalau tidak berkomitmen maka loyalitasnya kepada negaranya perlu diragukan dan bisa merakibatkan banyak bahaya bagi dirinya atas perbuatannya tersebut.

Setelah itu menjadi jelas kesulitan yang disebabkan nash hadits shahih tersebut, bisa jadi ia tidak ada, dan bisa jadi dimaafkan di samping bahaya umum yang mengancam seluruh pasukan muslim dalam pasukan Amerika, bahkan di seluruh wilayah negara Amerika secara umum, jika loyalitas mereka kepada negara yang mereka menjadi warga negaranya menjadi diragukan. Padahal negara masih memberi kesempatan mereka menikmati hak kewarga negaraannya sehingga wajib baginya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara.

Adapun kesulitan yang disebabkan karena perang yang di dalamnya tidak bisa membedakan target serangan, maka wajib bagi seorang muslim berniat dalam keikut sertaannya dalam perang tersebut demi menegakkan kebenaran dan memusnahkan kebatilan. Dan perbuatannya diniatkan juga untuk ditujukan menghalangi tindak kezhaliman terhadap orang-orang yang tidak berdosa atau menangkap para pelaku kezhaliman tersebut untuk diajukan ke pengadilan. Selain tujuan-tujuan tersebut, keikut sertaannya dalam perang akan menimbulkan problema pribadi, karena ia sendiri tidak bisa menghalangi dan merealisasikannya. Padahal Allah Ta’ala tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya dan sudah menjadi ketetapan menurut para pakar fiqih, setiap kewajiban yang tidak mampu dilakukannya sementara kewajiban itu tidak gugur darinya maka ia tidak dibebankan untuk menunaikannya. Tetapi seorang tentara muslim Amerika dalam kondisi seperti ini merupakan bagian dari keseluruhan kaum muslimin Amerika, yang seandainya ia keluar dari ketaatannya kepada para komandannya akan mengakibatkan bahaya bagi dirinya dan jamaah kaum muslimin di negaranya, yang bahaya tersebut lebih besar dibanding bahaya yang diakibatkan apabila ia ikut serta dengan perang.

Sedangkan kaidah-kaidah syar’i menetapkan “apabila ada dua bahaya maka harus dilanggar yang paling ringan”, apabila keengganan kaum muslimin Amerika untuk ikut serta dalam perang dalam barisan pasukan mereka akan mengakibatkan bahaya seluruh kaum muslimin di negara mereka –padahal mereka berjumlah jutaan- sementara pada saat yang sama perang tersebut juga akan menyebabkan kesulitan atau gangguan rohani dan psikologis maka “bahaya khusus harus ditanggung/dilanggar demi menghindari bahaya yang umum/merata” sebagaimana ditetapkan kaidah fiqih yang lain.

Apabila tentara muslim dalam pasukan Amerika mampu mengajukan permohonan hanya sekedar membantu –untuk sementara waktu dalam perang yang hampir terjadi- di barisan belakang untuk bekerja sekedar membantu mempersiapkan ransum jatah makanan bagi tentara di barisan depan dan pekerjaan yang serupa –sebagaimana ada dalam pertanyaan- tanpa menyebabkan kesulitan dan bahaya bagi dirinya dan kaum muslimin Amerika lainnya maka tidak mengapa bagi mereka untuk mengajukan permohonan tersebut. Namun apabila permohonannya tersebut menyebabkan bahaya dan kesulitan yang nampak dalam loyalitas mereka yang diragukan, akan mendapat pesangkaan buruk, yuduhan batil, mengganggu masa depan pekerjaannya, atau membuat keraguan mengenai rasa nasionalismenya dan bahaya serupa lainnya maka ketika itu ia tidak boleh mengajukan permohonan itu.

Ringkasnya, tidak mengapa –insya Allah- bagi tentara muslim untuk ikut serta berperang dalam perpempuran yang potensial akan menghadapi orang-orang yang “dikira” melakukan tindak terorisme atau orang-orang yang menampung para pelaku tindak terorisme dan yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk berlatih dan bertolak dari negara mereka, dengan selalu menjaga niat yang benar sesuai penjelasan kami di atas, demi untuk menghindari syubhat apa pun yang kadang bisa mengenai mereka dalam loyalitas mereka terhadap tanah air mereka dan demi mencegah bahaya yang kemungkinan besar terjadi serta karena mengamalkan kaidah-kaidah syar’i yang menyatakan bahwa kedaruratan bisa membolehkan untuk melakukan hal yang diharamkan dan yang kaidah-kaidah syar’i yang mewajibkan melanggar bahaya yang lebih ringan untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Wallahu Ta’ala A’lam wa Ahkam.

Alih bahasa: Abu Syakir

Sumber: Idem

***********

Dakwah untuk mencintai ahli kitab bukan hanya dilakukan oleh Qaradhawi saja tapi juga dipropagandakan oleh para dai ikhwanul muslimin lainnya. Sebagaimana pengakuan yang dituangkan dalam berbagai buku, wawancara, dan ceramahnya secara terang-terangan. Untuk menggiring simpati kaum awam yang jahil dan taklid buta, Qaradhawi memoles dakwah yang bathil ini dengan berbagai syubhat :

Syubhat Pertama :

Qaradhawi berdalil dengan firman Allah :

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah :8)

Di sini Qaradhawi telah berpaling dan pura-pura tidak tahu terhadap penjelasan Ahli Tafsir tentang makna ayat ini. Untuk menyanggah istidlal (pengambilan dalil) yang keliru ini, penulis mempunyai beberapa bantahan.

Pertama, dalam ayat ini terdapat petunjuk untuk berbuat kebaikan kepada orang-orang yang tersirat di dalamnya. Ada perbedaan antara al birr (kebaikan) dengan al mawaddah (kecintaan) yang diserukan oleh Qaradhawi. Al Mawaddah adalah al hubb (rasa cinta) sebagaimana yang tertera dalam Lisaanul ‘Arab (I:247) dan Al Qaamuus serta buku-buku bahasa Arab lainnya. Sedangkan al birr bermakna ash shillah (penghubung), tidak durhaka serta berbuat ihsan (kebajikan) sebagaimana yang termaktub dalam Lisaanul ‘Arab (I:371) dan Al Qaamuus.

Berbuat kebaikan kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi Islam dan dalam rangka mendakwahi mereka ke dalam Islam adalah perkara yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, berbuat kebaikan dan kebajikan kepada kafir tidak menuntut adanya rasa kecintaan dan kasih sayang kepada mereka. Inilah yang dipahami oleh para ulama Salafus Shalih terdahulu dan kemudian, antara lain :

1. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.

Beliau berkata : “Sesungguhnya al birr (berbuat kebaikan), ash shillah (menghubungkan), dan al ihsan (berbuat kebajikan) tidak menuntut adanya sikap saling mencintai dan saling menyayangi karena hal ini terlarang dalam Al Qur’an :

‘Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun
keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai- sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.’ (QS. Al Mujadilah :22)

Sesungguhnya ayat ini berlaku umum baik untuk semua yang memerangi maupun yang tidak memerangi. Wallahu A’lam.” [Al Fath 5:276 pada hadits nomor 2620]

2. Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.

Beliau telah menjelaskan : “Sesungguhnya di awal surat ini—yakni surat Al Mumtahanah—Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang umat Islam menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih. Allah telah memutuskan cinta kasih antara Muslim dan kafir. Sebagian kaum Muslimin merasa bingung dan menganggap bahwa berbuat baik kepada orang kafir termasuk bagian dari loyalitas dan kecintaan kepada mereka. Maka Allah menjelaskan bahwa hal itu tidak termasuk loyalitas yang terlarang karena Allah tidak melarang berbuat baik kepada mereka. Bahkan Allah telah menuliskan kebaikan ada pada setiap sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Adapun yang terlarang adalah ber-wala’ (setia) kepada orang kafir dan mencintai mereka.” (Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I:301 bab Hukmu Awqafihim wa Waqful Muslim ‘Alaihim)

3. Imam Syaukani rahimahullah. Beliau menyatakan tentang bolehnya menerima hadiah dari orang kafir dan bolehnya memberikan hadiah kepada mereka. Kemudian beliau mengatakan : “Hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‘Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.’ (QS. Al Mujadilah : 22)

Sesungguhnya ayat ini berlaku umum kepada orang yang memerangi ataupun yang tidak memerangi. Sedangkan ayat yang telah disebutkan sebelumnya adalah khusus bagi yang memerangi saja. Perbuatan baik dan bijak tidak mengharuskan adanya rasa saling mencintai dan mengasihi yang terlarang.” [Nailul Authaar VI:4]

4. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah. Dalam Kitab Al Qaumiyah, setelah menyebutkan hadits Asma bin Abu Bakar dan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepadanya untuk berbakti kepada ibunya,
Syaikh bin Baz berkata : “Kebaikan semacam ini dan berbagai kebaikan lain yang semisalnya bisa menyebabkan seseorang masuk Islam dengan senang hati. Di dalamnya terdapat unsur silaturrahim dan kedermawaman terhadap orang yang membutuhkan. Hal ini sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin, tidak membahayakan, dan sama sekali
bukan termasuk loyalitas terhadap orang-orang kafir. Ini sangat jelas bagi yang berakal
dan berfikir.” [Al I’laam bi Naqdil Kitaab Al Halaal wal Haraam catatan kaki halaman 15]

5. Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullahu ta’ala. Beliau berkata : “Ada perbedaan yang sangat mencolok antara ihsan dalam interaksi,
dengan mawaddah (kecintaan dalam hati). Makanya dalam surat AL Mumtahanah ayat 8

Allah berfirman : ‘Hendaknya kalian berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka.’

Dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman dengan mengatakan :
‘Hendaknya kalian mencintai mereka.’ [Al I’laam bin Naqdil Kitaab Al Halaal wal Haraam catatan kaki halaman 12]


Para pembaca yang budiman, demikianlah sebagian pendapat ulama dalam memahami arti al birr dan al ihsan terhadap ahli kitab, sesuai dengan yang termaktub dalam ayat. Mereka membedakan arti berbuat kebajikan dan mencintai. Saya tidak mendapati seorang pun dari para ulama dan Ahli Tafsir yang berpendapat seperti pendapatnya Yusuf Al Qaradhawi kecuali orang-orang yang semanhaj dengannya. Di antara yang memperjelas perbedaan yang sangat jauh antara berbuat kebajikan dengan kecintaan yang menumbuhkan loyalitas yaitu Allah melarang kaum Muslimin untuk mencintai dan berkasih sayang antara ayah dengan anak-anaknya jika memang mereka itu lebih mencintai kekufuran daripada keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah : 22)

Kendati demikian, Allah tetap memerintahkan untuk berbuat kebajikan kepada mereka dengan berfirman :

Maka bergaullah dengan keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman : 15)
Ayat ini menunjukkan bahwa berbuat kebajikan tidak menuntut adanya kecintaan dalam hati.

Kedua, perhatikanlah apa yang dikatakan oleh para Ahli Tafsir mengenai ayat tadi. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Para Ahli Tafsir menjelaskan ayat ini adalah rukhshah dari Allah bagi orang-orang yang tidak memerangi kaum Muslimin dan juga diperbolehkan berbuat kebajikan kepada mereka walaupun loyalitas sudah terputus diantara mereka.” (Kitab Zaadul Masiir)

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama dan juga tidak bekerjasama untuk mengusirmu seperti para wanita dan orang-orang yang lemah dari mereka.” (Tafsiir Ibnu Katsiir III:349)

Muhammad bin Jamaluddin Al Qasimi rahimahullah berkata : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang kafir dari penduduk Mekkah yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Itulah keadilan. Inilah batasan loyalitas yang tidak dilarang bahkan itu diperintahkan sebagai hak mereka.” (Mahaasinut Ta’wiil 16:128)

Ketiga, sudah menjadi hal yang diketahui khalayak yang mempunyai ilmu walaupun minim bahwa ayat-ayat yang melarang ber-wala’ (loyal) kepada orang-orang kafir adalah larangan yang bersifat umum tanpa ada pengecualian dari suatu kelompok tertentu. Dan tidak ada seorang Muslim pun yang keluar dari larangan ini kecuali orang yang dipaksa melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menyelisihi syariat dengan syarat tidak dilakukan dengan hati. Dari sinilah diketahui bahwa mencintai orang-orang kafir adalah haram selama-lamanya. Para pembaca yang budiman, dari pembahasan di atas kita bisa mengetahui bahwa
Qaradhawi tidak merujuk kepada pemahaman Salaf dan tidak meniti manhaj mereka dalam memahami Al Qur’an.


Syubhat Kedua :
Syubhat lain yang dijadikan dalih bagi Qaradhawi untuk membolehkan mencintai Ahli Kitab adalah ucapannya :
“Sesungguhnya Ahli Kitab bila mereka membaca Al Qur’an, mereka mendapati pujian di dalam Al Qur’an terhadap Kitab-Kitab mereka dan Rasul-Rasul serta Nabi-Nabi mereka.” (Al Halaal wal Haraam halaman 128)

Untuk membantah kepadanya. syubhat kedua ini, penulis sampaikan beberapa sanggahan:

Pertama, memang Allah telah menurunkan kitab-kitab suci kepada para Rasul yang telah diutus-Nya. Tak ada seorang Muslim pun yang menyangkal bahwa beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada mereka seperti Taurat, Zabur, dan Injil serta beriman kepada para Rasul-Nya termasuk bagian dari rukun iman. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

Rasul telah beriman kepada Al Qur’an dan yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat- Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya. (Mereka mengatakan) : ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-Rasul- Nya’. Dan mereka mengatakan : ‘Kami dengar dan kami taat’. (Mereka berdoa) : ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” (QS. Al Baqarah : 285)

Juga seperti yang tercantum dalam hadits Jibril yang panjang ketika ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang iman. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab :
“Iman adalah kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan para Rasul-Nya … .” (HR. Muslim dari Umar radliyallahu ‘anhu)

Kedua, pujian Allah kepada kitab suci dan rasul-rasul dari kalangan ahli kitab tidak mewajibkan agar kta mencintai mereka karena Allah memuji firman-Nya sendiri yang diturunkan dalam Taurat, Zabur, dan Injil beserta para Rasul-Nya yang terpilih. Tapi Allah tidak memuji kepada ahli kitab yang merupakan saudaranya kera dan babi, yang telah mendustakan Allah, merubah firman-Nya, membunuh para Rasul-Nya, dan menyakiti hamba-hamba-Nya dari jaman dahulu kala sampai sekarang.

Ketiga, sesungguhnya Allah telah mensifati mereka dengan beberapa sifat buruk, melaknat mereka, mengabarkan bahwa mereka senantiasa mencampuradukkan kebenaran dengan kebathilan, dan menyembunyikan kebenaran walaupun mereka mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al Maidah : 78-79)

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang dhalim.” (QS. Al Jumu’ah : 5)

Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan : ‘Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’. Padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran : 78)

Allah juga telah menerangkan sifat mereka yang menentang wahyu-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian yaitu Al Kitab (Taurat), mereka diseru kepada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka, kemudian sebagian dari mereka berpaling dan mereka selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. Ali Imran : 23)

Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Al Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).” (QS. An Nisa’ : 44)

Dalam menjelaskan keadaan ahli kitab, banyak sekali ayat Al Qur’an yang mencela mereka. Akan tetapi Qaradhawi membutakan diri dan mengabaikan ayat-ayat tersebut lalu berkelana mencari-cari dalih yang bisa dipakai untuk mengelabui kaum Muslimin yang awam. Memang dalam Al Qur’an ada ayat yang memuji ahli kitab namun pujian itu tertuju kepada ahli kitab yang telah masuk Islam atau yang konsisten di atas agama Nabinya karena mereka tidak berjumpa dengan masa kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ali Imran : 113-114)

Hanya orang bingung saja yang mengira bahwa ayat ini adalah pujian Allah terhadap ahli kitab walaupun mereka tetap berada di atas agama mereka. Padahal ayat ini turun kepada segolongan ahli kitab yang telah masuk Islam dan setelah masuk Islam mereka dicela oleh oleh orang-orang kafir.

Asbabunnuzul ayat tersebut dijelaskan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Kitab Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzuul sebagai berikut :

Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata : “Setelah Abdullah bin Salam dan Tsa’labah bin Sya’ah serta Asad bin Ubaid dari kalangan masuk Islam, mereka beriman, bersedekah, dan mencintai Islam. Maka pendeta-pendeta yahudi yang masih kafir mengatakan :
‘Tidak ada yang beriman kepada Muhammad dan mengikutinya melainkan dia adalah orang-orang kita yang paling jelek. Seandainya mereka termasuk dari orang-orang pilihan kami maka mereka tidak akan meninggalkan agama nenek moyang.’

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat mengenai hal itu :
Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ali Imran : 113-114) [HR. Ath Thabrani]

Sedangkan azbabun-nuzul versi yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu. Dia berakata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengakhirkan shalat Isya kemudian keluar menuju ke masjid dan manusia sudah menunggu-nunggu untuk shalat.
Beliau bersabda :
“Tiada seorang pun pemeluk agama yang berdzikir kepada Allah pada waktu seperti ini
selain kalian.”
Ibnu Mas’ud berkata : “Lalu turunlah ayat tentang mereka :
‘Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab … .’
Sampai ayat :
‘… Dan apa saja yang kebajikan yang mereka kerjakan maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya dan Allah Maha Mengtahui orang-orang yang bertakwa’.” [HR. Ahmad dalam Kitab Shahiihul Musnad Asbaabin Nuzuul]

Atas dasar inilah maka pujian kepada ahli kitab hanya berlaku khusus bagi yang mempunyai sifat-sifat yang tertera dalam ayat saja.

Syubhat Ketiga :
Qaradhawi berkata : “Al Qur’an tidak memanggil mereka kecuali dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab) dan yaa ayyuhal ladziina uutul kitaaba (wahai orang-orang yang diberi Al Kitab). Dengan lafadh ini Al Qur’an menunjukkan bahwa pada dasarnya agama mereka adalah agama samawi. Maka antara ahli kitab dan kaum Muslimin dijembatani oleh kasih sayang dan kekerabatan. Hal ini tergambar dalam pokok-pokok agama yang satu, semua Nabinya telah diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al Halaalu wal Haraam halaman 327)

Para pembaca yang budiman, lihatlah! Betapa tajamnya pengaburan dan betapa lemahnya istidlal yang ditempuh oleh Qaradhawi. Untuk meluruskannya, saya memiliki beberapa bantahan. Pertama, sesungguhnya panggilan Allah dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab), sama sekali tidak menuntut adanya kecintaan dan kasih sayang kepada mereka. Kedua, sesungguhnya hubungan dan kekerabatan yang disebutkan oleh Qaradhawi telah diputuskan oleh Allah dengan diutusnya Rasulullah dan diwahyukannya Al Qur’an yang me-nasakh (menghapus) seluruh syariat dan agama sebelumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran : 85)

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah : 48)

Imam Asy Syaukani menjelaskan ayat tersebut dalam Kitab Fathul Qadiir: “Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan … .’
Maksudnya adalah dengan apa yang diturunkan kepadamu dalam Al Qur’an karena Al Qur’an mencakup semua syariat Allah dalam kitab-kitab terdahulu. Sedangkan makna kalimat :
Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.’ Adalah hawa nafsu pemeluk agama-agama yang telah lalu. Allah telah menghapus semua agama dengan datangnya Islam. Walaupun seandainya ahli kitab tidak mengubah agama mereka dan mereka tetap berpegang teguh dengan agama lama mereka tapi dengan datangnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan turunnya Al Qur’an serta dihapusnya semua syariat yang lain maka ahli kitab tidak boleh lagi memeluk agama lama mereka. Terlebih lagi jika mereka telah merubah kitab suci dan meninggalkan agama mereka sendiri. Penjelasan ini sejalan dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang pun yang mendengarku dari umat ini, baik yahudi maupun nashrani kemudian mati dan dia tidak beriman dengan risalah yang dibawa olehku melainkan dia termasuk dari penghuni neraka.” (HR. Muslim 2:186)

Ketiga, bahwa panggilan kepada mereka dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab) telah warid (tercantum) dalam Al Qur’an dalam konteks celaan terhadap mereka. Konteks celaan terhadap ahli kitab yang memakai lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab), misalnya : “Hai ahli kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya).” (QS. Ali Imran : 70)

Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?” (QS. Ali Imran : 71)

Keempat, apakah pemahaman Qaradhawi bahwa mencintai ahli kitab atas dasar panggilan Allah wahai ahli kitab ini sesuai dengan pemahaman para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka (para shahabat)? Ternyata tidak! Kalau begitu, di manakah posisi Qaradhawi dari kitab-kitab ulama?

Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS. AlBaqarah : 111)

Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan mengemukakannya kepada Kami.” (QS. Al An’am : 148)

sehingga dapat kamu Katakanlah : “Tuhanku hanya mengaharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)


Syubhat Keempat :
Qaradhawi berkata dalam kitabnya Ghairul Muslimiin fil ‘Aalamil Islami halaman 68 :
Sesungguhnya Islam membolehkan setiap umatnya untuk menikah dengan ahli kitab (yahudi dan nashrani). Kehidupan suami istri harus dibangun di atas sakinah, mawaddah, dan rahmah (ketenangan jiwa, rasa cinta, dan menyayangi), sebagaimana yang ditunjukkan oleh Al Qur’an :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.” (QS. Ar Rum : 21)

Ini menunjukkan bahwa mahabbah (rasa cinta) seorang Muslim terhadap non Muslim itu tidak apa-apa (tidak berdosa). Bagaimana mungkin seorang suami tidak mencintai seorang istrinya yang dari ahli kitab? Bagaimana mungkin seorang anak tidak mencintai kakek dan nenek serta bibinya bila ibunya seorang kafir dzimmi?

Istidlal (pengambilan dalil) yang dilakukan oleh Qaradhawi ini jelas sangat bathil dengan beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama, bahwa para Salaf ridlwanullah ‘alaihim tidak ada yang menjadikan bolehnya seorang Muslim menikahi wanita ahli kitab sebagai dalil untuk mencintai dan menyayangi ahli kitab. Mereka (Salaf) adalah umat yang paling mengetahui istidlal Al Qur’an setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Bahkan tidak ada Imam dan Ahli Fikih yang perkataannya sependapat Qaradhawi ini.

Kedua, bahwa cinta ada dua macam (cinta tabiat dan cinta syar’i). Cinta tabiat adalah rasa cinta yang sudah menjadi tabiat manusia, seperti cinta kepada ayah, anak, saudara, istri, kakek, dan seterusnya. Cinta semacam ini ada pada setiap manusia, baik Mukmin ataupun kafir yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Cinta tabiat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an karena hal itu dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada pamannya:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Qashash : 56)

Kecintaan Rasulullah kepada pamannya ini tidak disyariatkan tapi tabiat asli manusia.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan :
“Dhahir ayat ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi’ ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mencintai Abu Thalib, pamannya. Bagaimana menafsirkan ayat ini? Jawabannya ada beberapa kemungkinan :

Pertama, beliau mencintai Abu Thalib yakni menginginkan hidayahnya.
Kedua, cinta beliau kepada pamannya itu adalah cinta thabi’i (tabiat manusiawi), seperti cinta anak kepada bapaknya walaupun dia kafir.
Ketiga, cinta Nabi kepada pamannya yang kafir itu terjadi sebelum turunnya larangan mencintai orang kafir.

Dari ketiga penafsiran tersebut yang paling mendekati kebenaran adalah yang pertama, yaitu mencintai hidayahnya bukan perasaannya. Hal ini berlaku umum bagi Abu Thalib dan lainnya dan bisa jadi kecintaan di sini cinta tabiat dan yang demikian tidak
bertentangan dengan cinta yang syar’i. (Al Qaulul Mufiid Syarh Kitaabit Tauhid 1:349)

Pembagian rasa cinta menjadi cinta tabiat dan cinta syar’i ini diperkuat oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim pada hadits Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak beriman (dengan sempurna) salah seorang dari kalian hingga saya menjadi orang yang lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.”

Imam Nawawi berkata :
Imam Abu Sulaiman Al Khaththabi berkata : “Dalam hadits tersebut Rasulullah tidak menghendaki rasa cinta yang bersifat tabiat namun beliau menghendaki rasa cinta yang bisa memilih. Karena seseorang mencintai dirinya adalah cinta tabiat dan hal itu tidak ada jalan untuk menolaknya.”

Ibnu Baththal, Qadhi `Iyadh, dan ulama lainnya menjelaskan : “Rasa cinta ada tiga macam, yaitu cinta penghormatan dan pengagungan, seperti cintanya seorang anak kepada ayahnya, cinta karena kasih sayang, seperti mencintai anak, dan cinta karena kecocokan dan kesenangan, seperti cintanya kepada seluruh manusia. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengumpulkan berbagai macam cinta dalam dirinya.” (Syarah Muslim halaman 15 hadits 18/19. Lihat Fathul Baari I hadits 14/15 bab VIII)

Para ulama banyak yang membahas masalah cinta daan macam-macamnya dalam kitab-kitab mereka. Untuk menambah ilmu bacalah kitab-kitab mereka.

Ketiga, ulama yang membolehkan pernikahan seorang Muslim dengan wanita ahli kitab tetap mengharamkan mencintai orang-orang non Muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah : 22)

Ayat-ayat yang senada dengan ayat ini banyak sekali dan sebagian telah penulis sebutkan. Akan tetapi hawa nafsu telah memalingkan Qaradhawi dari ayat-ayat ini. Dia lebih tertarik dengan syubhat-syubhat yang lemah.

Keempat, kalaulah kita terima pendapat Qaradhawi bahwa rasa cinta yang ada di antara seorang Muslim dengan istrinya dari ahli kitab adalah cinta yang syar’i maka dalil dari ayat tersebut menjadi khusus bagi seorang Muslim bersama istrinya saja. Ini hanya sekedar pengandaian saja. Akan tetapi dalil tersebut bersifat umum yang menuntut haramnya rasa cinta syar’i kepada orang-orang kafir semuanya. Kelima, Allah membolehkan seorang Muslim menikah dengan wanita ahli kitab tujuannya agar pernikahan itu bisa menyebabkan pihak wanita mendapat hidayah karena berbagai kelebihan yang Allah berikan kepada lelaki dibandingkan wanitanya, seperti kesempurnaan akal dan kemampuan untuk mempengaruhi dan lain sebagainya. Islam mengharamkan pernikahan wanita Muslimah dengan pria ahli kitab supaya hal itu tidak menyebabkan kepatuhan kepada pria non Muslim dan kemudian meninggalkan agamanya.

Selanjutnya, jika pembaca mengkritisi ucapan Qaradhawi lebih teliti lagi maka akan pembaca ketahui bahwa dia tidak membatasi kecintaan hanya kepada ahli kitab saja. Bahkan dia mengglobalkan kecintaannya kepada semua orang kafir. Inilah kutipan ucapannya :

Hal ini menunjukkan bahwa mahabbah (rasa cinta) seorang Muslim terhadap non Muslim itu tidak apa-apa (tidak berdosa). (Ghairul Muslimiin fil ‘Aalamil Islami halaman 68)

Perhatikan wahai saudaraku, ungkapan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Qaradhawi membawa pemikiran yang busuk dan bathil untuk mengkaburkan Al Wala’ wal Bara’ yang itu merupakan salah satu pokok aqidah Islam.

Syubhat Kelima :
Dalam kitab Al Halaal wal Haraam pada halaman 327, Qaradhawi mengatakan :
Jika seorang Muslim berdebat dengan ahli kitab maka hindarilah perdebatan yang bisa menyinggung perasaan dan menimbulkan permusuhan. Allah berfirman : “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang paling baik.” (QS. Al Ankabut : 46)

Istidlal (pengambilan dalil) ini pun jauh dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu dalam menghukumi firman Allah ini. Sebagai bantahannya kami kemukakan beberapa poin :

Pertama, para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut. Tapi, tak satu pun mufassir yang mendukung pendapat Qaradhawi. Di antara pendapat tersebut adalah :

1. Bahwa ayat tersebut sudah mansukh (dihapus) dengan ayat saif (perintah perang). Ini adalah pendapat Mujahid dan Ibnu ‘Athiyah Al Andalusi. Pendapat para mufassir ini menutup hujjah bagi Qaradhawi untuk membela diri.

2. Makna berdebat dengan ahli kitab melalui cara terbaik adalah mendoakan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla (agar mereka mendapat hidayah) dan menyampaikan argumen, ayat-ayat, dan bukti-bukti dengan harapan mereka mau menyambut Islam dan hijrah ke dalamnya. Berinteraksi kepada mereka harus dengan cara dan ucapan yang lembut saat mengajaknya kepada kebenaran serta menolak kebathilan dengan cara yang paling mudah untuk sampai kepada hal itu.

3. Ada yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah janganlah kalian mendebat orang-orang yang beriman kepada Muhammad dari kalangan ahli kitab, seperti Abdullah bin Salam dan semua yang beriman kepadanya, kecuali dengan cara yang terbaik. Menurut pendapat yang kedua, ayat tersebut termasuk muhkamat (ayat-ayat yang jelas). Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir rahimahullah.

Walaupun ayat tersebut muhkamat namun tidak ada kaitannya dengan pendapat Qaradhawi karena dia menjadikan ayat billatii hiya ahsan (dengan cara yang paling baik) sebagai dalil untuk menghindari hal yang menyinggung perasaan dan menimbulkan permusuhan. Bahkan dari ayat inilah Qaradhawi mensyariatkan perintah untuk mencintai yahudi dan nashrani. Mungkin dia pura-pura tidak tahu tentang maksud ayat billatii hiya ahsan, yakni jalan yang dibangun di atas ilmu dan argumen serta burhan (bukti) yang jelas, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl : 125)

Berdebat dengan ahli kitab atau dengan para pelaku kebathilan dengan tujuan agar mereka mau menerima petunjuk kebenaran dan mengembalikan mereka dari kebathilan tidak menuntut adanya rasa cinta kepada pelaku kebathilan dan kesesatan. Jika tidak dipahami demikian maka harus dikatakan bahwa Musa dan Harun diperintah untuk mencintai Fir’aun ketika Allah berfirman kepada keduanya :
Maka ucapkanlah kepadanya ucapan yang lembut.” (QS. Thaha : 44)
Karena ucapan yang lemah lembut adalah ucapan baik yang didasari dengan ilmu, argumen, dan hikmah.

Kalimat billatii hiya ahsan (dengan cara yang paling baik) mempunyai beberapa makna, di antaranya :

1. Tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Allah. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu.

2. Menahan diri dari (memerangi) mereka setelah mereka memberikan jizyah (pajak). Pengertian ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Zaadul Masiir.

3. Cara yang terbaik adalah dengan Al Qur’an.

Kedua, sesungguhnya berdebat dengan ahli kitab melalui cara terbaik merupakan sebab agar mereka mau menerima Islam. Hal ini jauh dari sikap keras terhadap mereka yang bisa menyebabkan mereka mencela Islam dan orang yang membawanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am : 108)

Saudara pembaca yang budiman, setelah mengetahui pendapat para mufassir tentang ayat yang dikaburkan oleh Qaradhawi, jelaslah bagi kita bahwa tak seorang pun dari kalangan Salafusshalih dan pengikut baik mereka yang sejalan dengan pemikiran Qaradhawi.

Setelah memaparkan berbagai syubhat dan talbis (pemutarbalikan) kebenaran kepada kaum Muslimin, Qaradhawi berusaha mendekatkan kaum Muslimin dengan umat Nashrani. Ia berkata :

Hal ini berlaku untuk ahli kitab secara umum. Sedangkan untuk orang nashara, secara khusus dalam Al Qur’an Allah telah menempatkan mereka pada suatu posisi yang dekat dengan kaum Muslimin. Allah berfirman : “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang nashrani’. Yang demikian ini disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang nashrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al Maidah : 82) [Al Halaal wal Haraam halaman 328]

Syubhat Qaradhawi tersebut bisa penulis luruskan dengan beberapa bantahan berikut :

Pertama, ayat yang dikutip Qaradhawi itu mengabarkan bahwa nashara adalah orang- orang yang mencintai kaum Muslimin karena mereka mengetahui bahwa apa yang ada pada kaum Muslimin adalah kebenaran.

Apakah hal ini mengharuskan seorang Muslim untuk mencintai mereka yang telah mengkultuskan salib, mempertuhankan Nabi Isa, meyakini doktrin bahwa Al Masih adalah anak Allah, serta kesyirikan dan kekufuran besar lainnya. Subhanallah! Ini adalah kedustaan yang besar.

Kedua, ayat tersebut turun kepada Najasyi yang masuk Islam bersama para shahabatnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar Razi (Shahiihul Musnad Min Asbaabin Nuzuul halaman 99)

Ketiga, ayat ini mengisyaratkan kepada keimanan dan keislaman orang yang disebutkan dalam ayat berikutnya :
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi WaSallam).”

Keempat, berbagai kemenangan yang diraih umat Islam di berbagai belahan negeri nashara tidak menunjukkan kedekatan hati antara umat nashara dan kaum Muslimin. Justru hal itu menunjukkan adanya kebencian dan permusuhan yang luar biasa kepada mereka.

Para pembaca yang budiman, jelaslah bagi kita bagaimana sikap pembelaan Yusuf Al Qaradhawi terhadap musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla.



2 komentar:

  1. Assalamu 'alaykum... Akhunal kariim... Di mana ana bisa mendapatkan CD Mimbar Tauhid wal Jihad..??
    (lokasi ana di Bandung)

    BalasHapus
  2. Wa'alaikumussalam... CD nya dalam bahasa Arab ada disitus Mimbar Tauhid Wal Jihad, sepertinya belum ada yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

    BalasHapus