Minggu, 27 Desember 2009

RISALAH TADZKIRAH UNTUK PARA ULAMA DARI ABU ZAID ALI GHUFRON BIN NURHASYIM

RISALAH TADZKIRAH
UNTUK
PARA ULAMA



D
A
R
I


ABU ZAID ALI GHUFRON BIN NURHASYIM
BIN MASYHURI AT-TENJULUNI
@ MUKHLAS


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ



Dari : Abu Zaid Ali Ghufron bin Nurhasyim @ Muklas
Kepada: Al-Mukarramin Para Ulama yang saya hormati lagi cintai, حَفِظَكُمُ اللهُ وَرَعَاكُمْ وَجَعَلَكُمْ مِنْ خِيَارِعِبَادِهِ
(Semoga Allah senantiasa menjaga dan memelihara kalian dan menjadikan kalian termasuk hamba-hamba-Nya yang terpilih).

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ،
أَمَّا بَعْدُ:
Wahai saudaraku para ulama yang saya hormati dan saya cintai …
Kaifa halukum? Bagaimana keadaan kalian? Mudah-mudahan kalian senantiasa dalam keadaan baik dan sehat wal afiat, semakin bertambah ilmu dan taqwa, bertambah yakin dan tawakal, bertambah syukur dan sabar, bertambah zuhud terhadap kehidupan dunia dan itsar, lebih mementingkan kehidupan akhirat. Dan diberi karunia Allah cinta kepada jihad dan mujahidin serta mati syahid fie sabililllah. آمِيْنَ

Saudaraku para ulama - حَيَّاكُمُ اللهُ .
Perkenankanlah saya, melalui surat ini saya akan menyampaikan tadzkirah buat kalian, semoga bermanfaat bagi kita semua dan bagi izzul Islam wal muslimin. Tadzkirah ini saya sampaikan dengan tujuan antara lain :
a. Menunaikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” [QS. Adz-Dzariyat (51): 55].


فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى
“Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat.” [QS. Al-A’la (87): 9].

b. Agar kita tidak termasuk orang-orang yang merugi atau berada dalam kerugian.
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” [QS. Al-‘Ashr (103): 1-3].

c. Lepas tanggung jawab di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, karena telah melaksanakan perintah-Nya untuk memberi peringatan sembari berharap agar yang diberi peringatan bertaqwa.

وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, mengapa kamu menasehati kaum yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang keras? Mereka menjawab,”Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada tuhanmu, dan agar mereka betaqwa.” [QS. Al-A’raf (7): 164].

Adapun tadzkirah yang akan saya sampaikan adalah tentang kedudukan penguasa di negeri ini menurut syariat Islam dan bagaimana menyikapinya. Maudhu’ (tema) ini saya pilih dengan alasan antara lain:
a. Termasuk masalah ushul atau masalah pokok dan prinsip yang wajib diperhatikan dan haram mengabaikanya. [QS. (4):59; (5):57 dll].
b. Mayoritas ulama di negeri ini --kecuali yang dirahmati Allah-- kurang peduli terhadap persoalan ini, tidak sedikit yang memiliki sikap diam, bahkan ada yang menyokong kemaksiatan dan kekufurannya.
c. Baik dan buruknya penguasa bisa membawa dan mempengaruhi bahagia dan sengsaranya rakyat di dunia dan di akhirat. [QS. (14):21; (40):47-48; (33):66-68; (25):27-29].
d. Diantara penyebab utama terjadinya berbagai krisis di negeri ini termasuk ditimpa bermacam-macam musibah adalah karena penguasanya menolak dan enggan berhukum kepada syariat Allah dan mendapat dukungan dan sokongan dari rakyatnya yang fasiq, mereka mewarisi perangai thaghut Fir’aun dan kaumnya. [QS. Az-Zukhruf (43): 54] وَاللهُ الْمُوَفِّقُ

Saudaraku Para Ulama - أَسْعَدَكُمُ اللهُ فِي ا لدَّارَيْنِ (Semoga Allah memberikan kebahagiaan kepada kalian di dunia dan di akhirat).
Adapun target yang saya harapkan dengan tadzkirah ini, saya berdo'a pada Allah Jalla Sya'nuhu dan berharap kepadanya semoga dengan hadirnya tadzkirah ini Allah Jallat Qudratuhu membangkitkan sekelompok ulama di negeri ini yang mau mengkaji secara serius akan status dan kedudukan penguasanya dan sikap yang benar lagi tepat untuk menghadapinya berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah di atas pemahaman ulama salaf, lalu memfatwakan kepada umat dan sekaligus memberikan contoh dan menjadi teladan dalam mengamalkanya. وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ وَعَلَيْهِ التُّكْلاَنُ .

Saudaraku para ulama yang saya kasihi lagi hormati - رَحِمَكُمُ اللهُ
Jika kita tela’ah kitab-kitab ahlul ilmi yang salaf (terdahulu) maupun kontemporer yang membahas tentang siyasah syar’iyyah termasuk masalah penguasa atau pemerintah, kita dapat menyimpulkan bahwa bentuk penguasa itu dibagi menjadi beberapa macam. Di bawah ini, insya Allah akan saya sebutkan satu persatu beserta pengertianya dan cara menyikapinya dengan singkat yakni sebagai berikut:

1. Penguasa atau Pemerintah Muslim yang Adil

Yaitu penguasa yang sah menurut syariat Islam ditinjau dari segala seginya baik dari segi persyaratan maupun sistem pembuatannya (pelantikannya) dan sebagainya, dan dalam menjalankan roda pemerintahanya menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan syariat serta menerapkan hukum pada negeri dan rakyatnya menurut apa yang telah Allah Ta’ala perintahkan dan tentukan dalam selurah segi kehidupan dengan syariat islam.
Rakyat wajib memberikan wala` (loyalitas)nya secara utuh pada penguasa jenis ini, termasuk mendengar dan ta'at (kecuali dalam hal maksiat) dan dilarang memberontaknya. Dalilnya antara lain,
Firman Allah Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
"Wahai orang-orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad SAW) dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa (4): 59)
Penjelasan (مِنْكُمْ)dalam ayat ini maksudnya مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ(di antara orang-orang beriman). Jadi, ulil amri yang diperintahkan Allah Ta’ala untuk di ta'ati adalah ulil amri yang beriman bukan yang kafir. (Majmu' al Fatawa 28/97 atau 28/170).
Hadits Rasulullah n. Diriwayatkan dari Junadah bin Abu Umayyah a dia berkata: Kami masuk pada tempat Ubadah bin Ash-Shamit ketika belaiu dalam keadaan sakit lalu kami katakan "Sampaikanlah hadits kepada kami –ashlahakallah- satu hadits yang Allah akan memberikan manfaat dengannya yang engkau dengar dari Rasullah n maka ia pun berkata:

دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ « إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ ». (صحيح مسلم 42 - 1709)
Rasullah n memanggil kami, lalu membai'at kami. Maka di antara bai'atnya adalah agar kami berbai'at untuk mendengar dan taat di saat kami suka ataupun tidak suka, di saat dalam kemudahan ataupun dalam kesusahaan, dan di saat kami diperlakukan secara tidak adil. Dan agar kami tidak mencabut urusan (kepemimpinan dari orang yang berhak). Beliau berkata: kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki dalil padanya dari Allah. (HR. Imam Muslim dalam shahihnya 42-1709. Lihat ٍShahihu Muslim bisyarhi An-Nawawi 12/2315 cet Darul Aqidah dan dalam Shahih Al-Bukhari, Kitabul Fitan, hadits no 7055, 7056 13/8-9 Cet. Daaru Mishr Liththiba’ah).

Penjelasan: Sabda beliau كُفْرًا بَوَاحًا, maknanya jelas menunjukkan atas kekufuran, artinya perbuatan yang dilakukan penguasa itu merupakan dosa yang mengafirkan. Dan sabdanya عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ , maknanya ada dalil yang syar'i yang jelas bahwa perbuatan yang dilakukan penguasa itu adalah mukaffir (dosa yang mengkafirkan). (Lihat Al-Jami’ fie Thalabil ‘Ilmisy Syarif 8/31). Dan Al-Imam Syaukani berkata: "Sabda Rasullah n, عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ maknanya ada nash dari ayat Al-Qur'an ataupun hadits yang jelas yang tidak mengandung takwil dan tuntutannya bahwasanya tidak boleh keluar memberontak mereka (penguasa) selama perbuatannya mengandung takwil. (Nailul Authar 7/361).
Dalil selebihnya lihat Shahih Al-Bukhari no. 7137, 7144 dan sebagainya, serta Shahih Muslim no. 31-1834, 32-1835, 33-1835, 35-1836, 36-1837, 37-1838, 41-1709 dan lain sebagainya.

2. Penguasa atau Pemerintah Muslim yang Zalim dan Fasiq

Yaitu penguasa yang tidak adil, banyak melakukan dosa dan penyelewengan serta kezaliman, tetapi kesalahan yang dilakukan bukan kekufuran yang nyata atau dosa yang mengkafirkan. Tetap menegakkan ad-dien di atas landasannya, maknanya berhukum dengan syariat Allah dan mengatur rakyat dan negerinya dengan syariat-Nya meskipun banyak terjadi penyelewengan. Al-Imam Al-Hasan Al Bashri berkata: "Mereka mengurusi lima urusan kita: (Shalat) Jumat, (Shalat) Jama'ah, ‘Ied (hari raya), perbatasan (negeri Islam dan negeri kafir-pen), hukum had (hukum pidana dalam syariat islam-pen). Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka itu zalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak. (Mu'amalatul Hukkam hal 7-8). Dikutip dari majalah Asy-Syariah Vol. No. 05/Pebruari 2004/Dzulhijjah 1424 H hal 21 dengan sedikit tambahan dalam kurung, perbatasan dan hukum had.
Dalam menghadapi penguasa jenis ini semula ada perselisihan di kalangan Ahlus Sunnah tentang boleh dan tidaknya untuk memberontak kepadanya, sebagian mengatakan boleh, berdasarkan keumuman dalil amar ma'ruf dan nahi mungkar --pemberontakan jenis inilah yang banyak terjadi pada masa shahabat yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah seperti pemberontakan yang dilakukan Mu’awiyyah bin Abu Sufyan dan para pengikutnya terhadap kepemimpinan Khalifah Rasyid Ali bi Abi Thalib, demikian juga yang dilakukan Umul Mu'minin Aisyah, Thalhah dan Zubair terhadapnya. Pemberontakan Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib terhadap Khalifah Yazid bin Mu’awiyah (61 H), demikian pula yang dilakukan Abdullah bin Handhalah terhadapnya (63 H) dan lain sebagainya masih banyak lagi pemberontakan jenis ini yang dilakukan mereka –رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ-.
Bagi yang ingin mengetahui secara detil dipersilahkan membaca kitab Al-Bidayah wan Nihayah tulisan Al-Imam Ibnu Katsir. Dan sebagai catatan, pemberontakan yang dilakukan golongan Khawarij terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib z dan sebagainya tidak termasuk jenis pemberontakkan di atas, tapi ia termasuk jenis pemberontakan yang batil yang dilarang dalam syariat, dan sejak awal mula tidak ada perselisihan di kalangan sahabat dalam masalah ini. Dan sebagian yang lain berpendapat tidak boleh memberontak penguasa jenis ini berdasarkan dalil yang khusus yang menyuruh bersabar seperti sabda Rasulullah,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ. حديث ابن عباس رضي الله عنهما. أخرجه البخاري و مسلم في صحيحيهما.
"Barang siapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari penguasanya maka bersabarlah, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama'ah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (Hadits Ibnu Abbas z, dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Sahihnya.)
Dan setelah terjadi perselisihan yang lama mengenai boleh dan tidaknya memberontak penguasa yang zalim dan fasiq akhirnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah bersepakat tidak boleh memberontak (Lihat Syarah An-Nawawi Li Shahih Muslim 12/229 dan Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah 2/241).
Ibnu Hajar berkata: "Ibnu Attin talah menukil dari Ad-Dawudi ia berkata: 'Bahwa pegangan para ulama dalam masalah para penguasa yang zalim jika mampu mencopotnya tanpa fitnah dan kezaliman wajib dilakukan, jika tidak mampu maka wajib bersabar. Dan sebagaian ulama berpendapat tidak boleh memilih atau memberikan kepemimpinan kepada orang fasiq (sejak semula). Maka jika terjadi kezaliman sesudah dia adil, mereka berselisih pendapat dalam masalah boleh dan tidaknya memberontaknya. Yang benar adalah dilarang memberontak kecuali kalau dia kufur maka wajib memberontaknya.’” (Fathul Bari juz 13/7-8).

3. Penguasa atau Pemerintah Muslim yang Mengajak pada Bid'ah

Jenis penguasa ini termasuk katagori zalim dan fasik selagi bid'ah yang dilakukannya dan diserukanya tidak sampai mengantarkan dirinya pada kekufuran yang jelas. Sengaja diletakan pada nomor tersendiri agar mendapat perhatian.
Kasus penguasa muslim yang menyeru kepada bid'ah ini terjadi pada masa khilafah Abasiah era pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Mereka menyeru pada i’tiqad bahwa Al-Qur'an adalah mahluk, sedang yang benar menurut As-Sunnah dan menjadi pegangan Ahlus Sunah wal Jamaah Al-Qur'an adalah Kalamullah, bukan makhluk.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal bahwa orang yang mengatakan Al-Qur'an mahluk dia telah kufur. Tetapi beliau tidak mengkafirkan tiga khalifah tersebut dan tidak keluar dari kepemimpinan mereka dan tidak mengajak rakyat untuk memberontak padahal beliau menghadapai bermacam-macam sikasaan. Dan pada saat itu tiada seorang pun ulama yang mewajibkan untuk memberontak kepada para khalifah tersebut. Apa rahasianya? Antara lain:
- Pengkafiran Imam Ahmad terhadap orang yang mengatakan Al-Qur'an mahluk adalah pengkafiran secara mutlaq artinya yang dikafirkan adalah ucapan tersebut bukan pengkafiran secara ta’yin artinya bukan mengkafirkan setiap orang yang mengatakannya.
- Imam Ahmad tidak mengkafirkan para khalifah tersebut meskipun mereka mengatakan kata-kata kufur bahkan beri'tiqad kufur karena pada diri mereka terdapat penghalang pengkafiran yaitu salah takwil. Menganggap bahwa i'tiqad Al-Qur'an sebagai makhluk adalah kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya yang wajib dipegangi dan dipertahankan dan I'tiqad (keyakinan) selainnya harus diperangi dan dienyahkan. Maka sewaktu mereka menyiksa Imam Ahmad ucapan yang sering keluar dari lisan mereka antara lain: Hai musuh Allah! bertobatlah. Sebab mereka menyakini bahwa mereka berada di pihak yang benar yang menolong Allah dan agama-Nya. Nah salah ta’wil seperti inilah yang bisa manghalangi pelaku suatu kekufuran dari pengkafirannya. Sebagian ahlul ilmi menyebut dengan sebutan ta'wil saaigh, jadi bukan sembarang ta'wil dan tidak setiap ta’wil dapat menghalangi pengkafiran terhadap pelaku kekufuran. (Tentang salah ta’wil –insya Allah- akan dibahas lagi berikutnya).
- Kenapa para ulama pada saat itu tidak memberontak dan dan tidak keluar dari kepemimpinan mereka? Sebabnya antara lain karena para khalifah tersebut tetap menegakkan ad-dien di atas dasar-dasarnya dan keadaan mereka persis dengan ucapan Imam Hasan Al-Bashri di atas, bahkan mereka terjun langsung ke medan jihad dan memimpin pertempuran melawan pasukan kuffar salibis dan sebagainya.

Sebagai catatan, pada hari ini ada manusia yang kurang ilmu dan pengalaman menyamakan kedudukan penguasa-penguasa sekuler yang (mengaku—ed) beragama Islam pada masa kini dengan para khalifah tersebut, katanya mereka sama-sama melakukan kekufuran, maka tidak boleh mengkafirkan mereka sebagaimana Imam Ahmad tidak mengkafirkan Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq.
Subhaanallaah (Maha Suci Allah) Dzat Yang membagi kecerdasan otak manusia, bagaimana bisa disamakan antara anjing dan kambing, antara ulat dan belut, antara mujrim dan muslim [QS. Al-Qalam (68): 35-36]. Penguasa yang kini melakukan aneka kekufuran karena menentang Allah dan menyepelekan syariat dan agama-Nya, sedangkan para khalifah dulu itu melakukan satu kekufuran tanpa niat melakukan kekufuran dan tidak mengetahui bahwa yang dilakukan adalah kekufuran, dan melakukannya bukan karena menentang Allah dan memusuhi agama-Nya, namun bermaksud membela Allah dan menolong agama-Nya meskipun keliru dan salah. - وَاللهُ أَعْلَمُ –
(Mengenai penguasa yang menyeru kepada bid’ah bisa dilihat sebagian keterangannya dalam Fathul Bari “Kitabul Ahkam” 13/166 Cet. Daaru Mishr Liththiba’ah dan Shahih Muslim bisyarhi Nawawi “Kitabul Imarah” 12/2316-2317 Cet. Darul Aqidah).

4. Penguasa atau Pemerintah Kafir
Yaitu penguasa yang beragama selain Islam (non muslim) seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha dan sebagainya, atau penguasa murtad yang tadinya muslim lalu melakukan kekafiran yang jelas sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Ubadah bi Ash-Shamit di atas.
Dalam menghadapi penguasa jenis ini wajib atas kaum muslimin --berdasarkan nash dan ijma’—untuk keluar memberontak demi melengserkannya dan menggantinya dengan penguasa muslim yang adil, yang mengatur negari dan rayatnya dengan Islam syariatnya.
Ibnu Hajar berkata: Ringkasnya menurut ijma` bahwasanya penguasa dimakzulkan [dilengserkan] karena melakukan kekafiran, maka wajib atas setiap muslim ikut andil dalam hal itu, maka barangsiapa yang kuat melakukannya meraih pahala dan barangsiapa yang bermudahanah (cari muka dan menjilat) mendapat dosa, dan barangsiapa yang lemah wajib berhijrah dari negeri itu. [Fathul Bari 13/176 dan selebihnya bisa dibaca pada 13/8-13 [cetakan Daaru Mishr Lith Thiba`ah].
Imam An-Nawawi berkata: Qadhi ‘Iyadh berkata: para ulama telah bersepakat [berijma`] bahwa imamah tidak dilantikkan kepada orang kafir, dan bila imam terbukti melakukan kekafiran harus dilengserkan. Qadhi ‘Iyadh juga berkata, "Begitu pula bila imam tidak menegakkan shalat dan tidak menyeru untuk shalat." (Shahihu Muslim bi Syarhi An-Nawwi 12/2316 Cet. Daarul Aqidah).
Perkataan Qadhi ‘Iyadh, "Begitu pula bila imam tidak menegakkan shalat dan tidak menyeru untuk shalat." Merupakan isyarat sabda Nabi n dalam Shahih Muslim 62-1854: “Nanti akan muncul pemimpin, kalian mengenalinya dan mengingkarinya. Maka barangsiapa menjumpainya (dan tidak mengikutinya) sungguh ia telah terlepas (dari dosanya), dan barangsiapa yang mengikarinya maka dia selamat. Namun dosa dan kecelakaan bagi yang meridhainya dan mengikutinya. Para sahabat bertanya: Apakah kita tidak memeranginya? Rasullah n menjawab: “Tidak, selama mereka masih shalat.” Dalam riwayat Muslim yang lain 65-1855 dan 66-1855: “Tidak, selama mereka masih menegakan shalat pada kalian.”
Kesimpulan dari hadits ini, penguasa atau pemimpin yang kedapatan meninggalkan shalat dan tidak menyeru rakyatnya untuk shalat maka dia telah kafir -karena meninggalkan shalat termasuk kekafiran-, maka rakyat wajib keluar memberontaknya untuk melengserkanya. Dan kalaupun penguasa tetap menegakkan shalat tetapi melakukan kekafiran yang lain, maka rakyatpun wajib melengserkannya karena telah kafir dari segi lain bahkan dari segi meninggalkan shalat, berdasarkan Hadits Ubadah bin Ash-Shamit tersebut di atas.
Qadhi Iyadh juga berkata: Seandainya (penguasa atau pemimpin) terbukti melakukan dan merubah syariat atau membuat bid'ah, dia keluar dari wilayah kepemimpinannya, dan gugur ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum muslimin memberontaknya dan melengserkanya serta mengangkat imam yang adil jika memungkinkan, maka jika hal itu tidak terjadi melainkan bagi suatu kelompok maka wajib atas kelompok itu memberontak untuk mencopot penguasa kafir itu. Dan tidak wajib terhadap penguasa mubtadi’ (yang membuat bid'ah) kecuali jika mereka yakin mampu melakukannya, maka jika terbukti lemah tidak wajib melakukannya, dan seorang muslim hendaklah berhijrah dari negerinya ke negeri lainnya, dan lari untuk menyelamatkan agamanya. (Idem 12/2316-2317). Selesai ucapan Qadhi Iyadh.
Menurut Asy-Syaikh Abdul Mun'im Musthafa Halimah dalam bukunya Fashul Kalam fi Mas'alatil Khuruj ‘Alal Hukkam, bahwa pada kondisi seperti ini kaum muslimin harus melakukan tiga tindakan:
- Pertama: Mempersiapkan kekuatan -materi maupun mental- sampai memiliki kemampuan untuk keluar memberontaknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala (QS. Al-Anfal (8): 60). Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur'an 3/1543 berkata, "Maka melakukan persiapan dengan maksimal kemampuan adalah kewajiban yang menyertai kewajiban jihad, nan nash memerintahkan i'dadul quwwah (mempersiapkan kekuatan) dengan berbagai macamnya, jenis-jenisnya, dan sebab-sebabnya.” Kondisi lemah untuk keluar dari pemimpin kafir tidak kemudian diperbolehkan duduk santai meninggalkan persiapan mengumpulkan kekuatan. Namun harus tetap berusaha sesuai kemampuan. Masalah ini dikembalikan pada firman Allah Ta’ala (QS. At-Taghabun (64): 16) “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupan.” Ibnu Taimiyyah berkata dalam fatwanya 28/259: "Dan sebagaimana wajibnya mempersiapkan kekuatan untuk berjihad dengan persiapan kekuatan dan menambat kuda di kala kondisi kalah karena lemah, maka sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa sempurna kecuali dengannya maka sesuatu itu menjadi wajib.
- Kedua: Meninggalkannya dan tidak bekerja bersamanya atau dengannya, yaitu meninggalkan seluruh aktifitas yang dapat memperkuat pemerintahannya. Rasullah n bersabda: "Dengarlah apakah kalian telah mendengar nanti setelahku akan muncul pemimpin yang siapa saja bekerjasama denganya, membenarkan kedustaan mereka, membantu kezaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan termasuk golonganya. Dia tidak akan mendapati telaga haudh. Dan siapa saja yang tidak menyertainya, tidak membantu atas kezalimanya dan tidak membenarkan kedustaanya maka dia berada pada golonganku dan aku bersamanya. Dia akan mendapati telaga haudh.” Serta hadits-hadits lain yang memerintah untuk menghindari dan menjauhi bekerja sama dengan para penguasa thagut.
- Ketiga: Tidak menghormati dan menaruh simpati pada mereka. Rasulullah n bersabda: "Jangan mengatakan pada munafik, tuan kami, karena jika dia menjadi tuan kalian maka Tuhan telah murka pada kalian." Dalam riwayat lain, "Jika seseorang berkata pada munafik, wahai tuan kami artinya Rabb dia Yang Mahasuci telah murka."

Hal itu terhadap munafik yang menampakkan keislaman, lalu bagaimana dengan kaum muslimin yang menanggalkan jihad sehingga memberikan kesempatan bagi orang kafir untuk memerintah dan menjadi tuan bagi mereka …? Tak diragukan lagi, sungguh mereka lebih berhak untuk dimurkai Allah Ta’ala. Bila perkataan seseorang kepada munafik: wahai tuanku, dapat menimbulkan kemurkaan Allah yang Mahasuci lalu apa jadinya bila perkataan itu ditujukan kepada para thaghut dan orang kafir -seperti yang terjadi pada mayoritas manusia- dengan berbagai ungkapan pengagungan, peninggian, pujian dan loyalitas ..?. - وَاللهُ أَعْلَمُ – (Dikutip dari majalah media Islam An-Najah edisi 06/Th. I Muharram 1427 H/Pebruari 2006 dalam rubik Tsaqafah dengan judul “Negara dalam Tinjauan Syar'i, Prespektif Seorang Muslim dalam bernegara hal 19).
Saudaraku Para Ulama yang saya hormati lagi saya cintai -وَفَّقَكُمُ اللهُ وَأَرْشَدَكُمْ- (Semoga Allah memberi taufik-Nya kepada kalian dan memberi petunjuk kepada kalian).
Sekarang yang jadi persoalan dan pertanyaan besar lagi penting bagi kita adalah “Termasuk jenis manakah penguasa dan pemerintah di negara kita Indonesia yang sekarang ini?”. Apakah termasuk jenis yang pertama (penguasa dan pemerintah muslim yang adil) ataukah yang kedua (penguasa dan pemerintah muslim yang zalim dan fasiq), ataukah yang ketiga (penguasa dan pemerintah muslim yang mengajak kepada bid’ah) ataukah yang keempat (penguasa dan pemerintah kafir)?
Persoalan dan pertanyaan besar lagi penting ini harus kita jawab, dan kalian wajib menentukan masuk jenis mana penguasa dan pemerintah negera ini, karena tanpa itu mustahil kalian dapat menyikapinya sesuai dengan tuntutan syariat, maka kalian akan tersesat dan seterusnya kesesatan kalian akan diikuti orang awam, sebab manusia itu mengikuti ulamanya. Maka sikap diam kalian tidak sama nilainya dengan diamnya manusia biasa, misalnya kalian bersikap diam tidak mengecam kekafiran penguasa, maka sikap ini akan mendatangkan kerusakan bagi tiga golongan:
1. Penguasa. Dia akan merasa dirinya benar, katanya, “Kalaulah saya salah apalagi kafir tentu para ulama itu mengecam dan mengingkari saya dan mengkafirkan saya. Dengan demikian dia tidak akan bertobat karena tidak merasa dirinya sesat bahkan kafir.
2. Orang awam. Mereka akan berkata bahwa penguasa itu tidak salah dan tidak kafir dia dalam kebenaran, sebab kalaulah penguasa itu salah apalagi kafir tentu para ulama itu mengecamnya dan tidak akan diam.
3. Para ulama. Dengan sikap diamnya akan rusak agamanya (Dikutip dengan meringkas dan merubah sedikit muatannya dari Talbisu iblis oleh Al-Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi hal 118).

Ini baru diamnya, apa lagi jika mengikuti kekafirannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
وَمَتَى تَرَكَ الْعَالِمُ مَا عَلِمَهُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَاتَّبَعَ حُكْمَ الْحَاكِمِ الْمُخَالِفِ لِحُكْمِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ كَانَ مُرْتَدًّا كَافِرًا يَسْتَحِقُّ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ قَالَ تَعَالَى : { المص } { كِتَابٌ أُنْزِلَ إلَيْكَ فَلَا يَكُنْ فِي صَدْرِكَ حَرَجٌ مِنْهُ لِتُنْذِرَ بِهِ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ } { اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ } الأعراف: 1-3 . وَلَوْ ضُرِبَ وَحُبِسَ وَأُوذِيَ بِأَنْوَاعِ الْأَذَى لِيَدَعَ مَا عَلِمَهُ مِنْ شَرْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ الَّذِي يَجِبُ اتِّبَاعُهُ وَاتَّبَعَ حُكْمَ غَيْرِهِ كَانَ مُسْتَحِقًّا لِعَذَابِ اللَّهِ بَلْ عَلَيْهِ أَنْ يَصْبِرَ وَإِنْ أُوذِيَ فِي اللَّهِ فَهَذِهِ سُنَّةُ اللَّهِ فِي الْأَنْبِيَاءِ وَأَتْبَاعِهِمْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { الم } { أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ } { وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ } العنكبوت: 1-3 وَقَالَ تَعَالَى : { وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ } محمد: 31 وَقَالَ تَعَالَى : { أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ } البقرة: 214 (مجموعة الفتاوى 35/218-219 ط.دار الوفاء 1421هـ-2001م أو طبعة قديمة 35/373-374).
“Dan kapan saja seorang alim meninggalkan apa yang diketahuinya dari kitab Allah dan Rasul-Nya, dan mengikuti hukum penguasa yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya, dia adalah murtad lagi kafir, berhak menerima hukuman di dunia dan di akhirat. Allah Ta’ala berfirman: “Alif laam mim shaad. Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” [QS. Al-A’raf (7): 1-3]. Dan seandainya dia dicambuk, dipenjara dan disiksa dengan berbagai macam siksaan agar meninggalkan yang dia ketahui dari syariat Allah dan Rasul-Nya yang wajib diikutinya dan dia mengikuti selainnya dia berhak menerima azab Allah. Justru seharusnya dia wajib bersabar jika disiksa di jalan Allah karena ini merupakan sunatullah dalam (kehidupan) para nabi dan para pengikut mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” [QS. Al-Ankabut (29): 1-3] dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” [QS. Muhammad (47): 31], dan Allah Ta’ala berfirman: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” [QS. Al-Baqarah (2): 214]. (Majmuatul Fatawa Ibnu Taimiyyah 35/218-219 Cet. Daarul Wafa’ 1421 H – 2001 M atau bias dilihat di cetakan yang lama 35/373 -374).
Selanjutnya mari kita coba menjawab persoalan dan pertanyaan yang besar lagi penting tersebut dan kita berusaha dengan adil tanpa kezaliman mendudukan penguasa dan pemerintah negara ini di atas kedudukan yang sebenarnya menurut syariat Islam.
Bagi seorang alim yang munshif (obyektif) yang senantiasa memperhatikan urusan Islam dan kaum muslimin, Insya Allah sudah tidak asing lagi baginya bahwa penguasa dan pemerintah di negara ini telah melakukan berbagai kekafiran yang besar (kufur akbar). Kekafiran itu ada yang bentuknya ucapan, ada yang berupa perbuatan dan ada pula yang berupa i’tiqad atau keyakinan. Adapun contoh-contohnya sebagai berikut :
1. Menetapkan undang-undang selain hukum Allah. Mereka menyingkirkan syariat Allah Ta’ala dari panggung kehidupan terutama kehidupan bernegara, dan sebagai gantinya mereka menetapakan sendiri UUD dan UU yang mengatur seluruh aspek kehidupan mereka.
2. Mengingkari dan tidak mengakui kelebihan dan kesesuaian syariat Allah Ta’ala dengan perkembangan zaman dan perbedaan waktu. Mereka menuduh syariat Allah Ta’ala syariat kuno, ketiggalan jaman, tidak relevan untuk manusia mellenium ketiga dan segudang lagi tuduhan yang miring yang intinya mengingkari kebaikan syariat Allah Ta’ala.
3. Mengutamakan hukum Thaghut (hukum ciptaan manusia yang bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala) di atas hukum Allah Ta’ala.
4. Mensejajarkan kedudukan hukum Allah Ta’ala dengan hukum positif mereka bahkan menganggap hukum positif mereka lebih baik dan lebih sesuai untuk mengatur negeri dan rakyat mereka dari pada hukum Allah Ta’ala.
5. Tidak suka dan menentang penerapan dan pelaksanaan hukum Allah Ta’ala dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka benci sekali ikut campurnya hukum Allah Ta’ala dalam mengatur kehidupan rakyat dan negara.
6. Mendirikan lembaga-lembaga peradilan (tinggi dan negeri) serta Makamah Agung yang berhukum dan menerapkan segala persoalan dengan berdasar kepada hukum positif yang banyak bertentangan dengan hukum Allah.
7. Menganut faham sekularisme dan memperatekannya dalam kehidupan sehari-hari.
8. Menganut faham demokrasi dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
9. Tidak mengkufuri dan mengingkari thaghut.
10. Mengolok-ngolok Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya dan dienul Islam.
11. Tolong menolong dan bekerja sama dengan orang-orang kafir dalam memerangi Islam dan kaum muslimin.
12. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
13. Menjadikan kaum muslimin yang berusaha menegakan Agama Allah yang sebenarnya sebagaimana tuntunan Allah dan Rasul-Nya sebagai musuhnya bahkan termasuk musuh utama mereka, dan memerangi kaum muslimin karena keimanan mereka.
(Dikutip dan diringkas dari “Surat Ulama Kepada Presiden Republik Indonesia 1428 H/2007 M dan Lampirannya tulisan Luthfi Haidaroh dkk. Disusun dan didistribusikan oleh Umat Islam Surakarta (UIS) dengan sedikit tambahan).

Itulah contoh sebagian kekafiran yang dilakukan para penguasa dan amalan-amalan tersebut telah memenuhi syarat untuk disebut sebagai " كُفْرًا بَوَّاجًا" . Sebagaimana sabda Rasullah n dalam hadits Ubadah Bin Shamit z tersebut, sebab seluruh perbuatan yang dilakukan penguasa itu seluruhnya merupakan dosa yang mengkafirkan. Dan telah memenuhi sabda beliau , "عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ" , sebab seluruhnya ada dalil syar'i yang jelas bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan penguasa tersebut adalah mukaffir (dosa yang mengkafirkan). Dan untuk mengetahui dalil-dalilnya secara rinci dipersilahkan membaca Surat Ulama Kepada Presiden Republik Indonesia tersebut.
Agar masalah ini lebih jelas lagi, disini saya sertakan bahasan tentang takfir (pengkafiran) meskipun secara singkat, yakni sebagai berikut:
Takfir atau pengkafiran adalah termasuk dari bagian syariat Islam yang maha sempurna. Takfir merupakan manhaj salaf yang diintisarikan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka kita wajib memuliakannya dan mendudukan pada kedudukan yang sebenarnya dan haram melecehkannya. Hari ini terdapat manusia yang kurang ilmu dan adab menjadikan takfir sebagai senda gurau sampai muncul istilah paham takfiriy untuk mengejek kelompok yang berani mengkafirkan. وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ وَعَلَيْهِ التُّكْلاَنُ
Dalam menyikapi takfir, manusia terbagi menjadi tiga golongan:
1. Golongan yang bersikap ifrath (berlebih-lebihan) dan melampaui batas seperti khawarij.
2. Golongan yang bersikap tafrith (mengurang-ngurangkan) dan sembrono seperti murji'ah, khususnya ghulatnya (ekstrimnya).
3. Golongan yang bersikap wasath dan i'tidal (pertengahan, tidak ifrath dan tafrith) yakni golongan Ahli Sunnah wal Jamaah.

Sungguh benar ucapan sebagian ulama salaf yang maksudnya: "Allah tidak memerintahkan suatu perintah melainkan syaithan akan menggoda dalam perintah itu dengan dua godaan kepada tafrith maupun kepada ifrat, dan syaithan tidak perduli yang mana yang berhasil dia capai, yang tambah atau yang kurang.” (Madaarijus Saalikin - Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah 2/108 Cet. Darul Fikr).
Contoh ifrathnya golongan khawarij dalam takfir: Mereka mengkafirkan seluruh pelaku dosa, baik yang mukaffir (dosa yang mengkafirkan) seperti syirik, nifak dan riddah, maupun yang ghairu mukaffir (dosa yang tidak mengkafirkan), seperti berzina, mencuri, minum arak dan sebagainya. Sebab menurut paham mereka semua dosa satu martabat.

Contoh tafrithnya golongan murji'ah dalam takfir: Mereka tidak menyandarkan pengkafiran pada ucapan dan perbuatan tapi pada hati saja. Dalam hal ini ada dua golongan murji'ah yang paling penting untuk diketahui:
1. Murji'ah Fuqaha
2. Ghulat Murji'ah (Murjiah yang Extrem).

Murji'ah Fuqaha mengkafirkan dosa mukaffir, misalnya menginjak-injak mus-haf Al-Qur'an, tapi pengkafirannya tidak disandarkan atas perbuatanya namun disandarkan atas hatinya sebab menurutnya orang yang menghina mushaf pasti hatinya kufur.
Adapun ghulat murji'ah tidak mengkafirkan dosa-dosa yang mengkafirkan berapapun banyaknya kecuali disertai adanya juhud (pengingkaran) dan istihlal (menganggap halal) pada diri pelaku tersebut, sedangkan untuk mengetahui adanya juhud dan istihlal pada diri seseorang musykil, maka natijahnya (hasilnya) cuai dalam urusan takfir. Golongan inilah yang hari ini bercokol dimana-mana dan mayoritas dari golongan inilah yang membela penguasa Thaghut pada masa kini.
Maka golongan khawarij dalam masalah takfir telah tersesat sejauh-jauhnya sebab mengkafirkan orang yang sebenarnya menurut syariat tidak kafir seperti pelaku zina selagi ia tidak mengingkari haramnya dan tidak menghalalkanya. Dan begitu juga ghulat murji'ah telah tersesat jauh dalam masalah takfir sebab tidak mengkafirkan manusia yang sebenarnya menurut syariat sudah kafir lagi murtad.
Sedangkan murji'ah fuqaha salahnya tidak begitu parah sebab mereka mengkafirkan pelaku dosa mukaffir sebagaimana ahli sunah mengkafirkanya, mereka hanya menyelisihi dalam menyandarkan pengkafirannya, mereka sandarkan pada hati pelaku dosa tersebut sedang Ahli Sunnah menyandarkan ansich pada perbuatan kufur yang dilakukanya. - وَاللهُ أَعْلَمُ –

Takfir (pengkafiran) dibagi menjadi dua macam:

1. Takfir mutlak: adalah pengkafiran secara umum seperti kata-kata "Barangsiapa yang berkata begini maka sungguh dia telah kafir, dan barangsiapa yang berbuat begitu maka sungguh dia telah kafir". Inilah takfir mutlak, takfir secara umum tanpa mengenakan hukum kufur terhadap orang tertentu. Jadi menjatuhkan hukum kufur terhadap sebab bukan terhadap seseorang sebagai pelaku sebab, dengan kata lain yang dikafirkan adalah perbuatannya bukan pelakunya. Takfir ini tujuan utamanya antara lain adalah mentahdzir dan mewaspadakan kepada umat agar menjauhi dosa-dosa yang bisa mengakibatkan seseorang menjadi menjadi kafir atau murtad. Dan takfir jenis inilah yang memenuhi kitab-kitab ulama salaf sebagai contoh misalnya kitab "Kifayatul Akhyar fie halli Ghaayatil Ikhtishar tulisan Al-‘Allamah Taqiyuddien Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Al-Hisni Ad-Dimasyqi Asy-Syafi'i (W 829 H) termasuk ulama abad 9 H. Beliau dalam membahas masalah riddah (kemurtadan) menampilkan contoh-contoh amalan yang memurtadkan atau mengkafirkan seseorang baik yang bentuknya ucapan, perbuatan maupun keyakinan. Contoh ucapan: Orang yang berkata: “aku tidak takut hari kiamat maka dia telah kafir.” Contoh perbuatan: “orang yang memakai songkok atribut orang majusi maka dia kafir.” Contoh keyakinan (i'tiqad): “orang yang ridho terhadap kekufuran dia telah kafir.” Dan berpuluh lagi contoh-contoh lain, dipersilakan membaca kitab ini [Kifayatul Akhyar Juz 2 hal 191-195 cet. Daarul Kutub Al-Islamiyah 1424 H/2004 M Cetakan pertama). Dari kitab Majmu’ Al-Fatawa tulisan Al-‘Allamah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga dipenuhi takfir jenis ini, silakan membacanya.

2. Takfirul Mu'ayyan adalah pengkafiran terhadap orang tertentu. Adapun kaidahnya secara ringkas sbb: "Dalam hukum-hukum dunia yang berlaku di atas yang lahir atau yang nampak, seseorang dihukumi kafir (dikafirkan) karena ucapan yang mengkafirkan atau perbuatan yang mengkafirkan, yang mana perbuatan atau perkataan itu telah tetap adanya pada orang tersebut menurut syariat, apabila syarat-syarat hukumnya terpenuhi tidak ada penghalang-penghalang hukum pada dirinya. Lalu seorang ‘alim yang pakar hukum syariat mengenakan vonis hukum atas orang itu. (Lihat Al-Jami’ Fie Thalabil ‘Ilmisy Syarif 8/20).

Penjelasan singkat:
0. Pengkafiran terhadap seseorang hanya berdasarkan ucapan atau perbuatan yang mengkafirkan yang dilakukan. Adapun keyakinan yang mengkafirkan yang ada pada diri seseorang bukan wilayah manusia untuk menghukumi atau mengadili karena tidak nampak, hukumnya terserah Allah Ta’ala dan Allah Ta’ala akan mengadili di akhirat, kecuali jika keyakinan tersebut dilahirkan dalam ucapan dan perbuatannya.
1. Yang dimaksud syarat-syarat hukumnya terpenuhi yaitu:
- Adanya dalil syar'i yang menyatakan bahwa telah kafir orang yang mengucapkan ucapan itu atau melakukan perbuatan itu.
- Ucapan dan perbuatan yang dilakukan mesti amalan yang jelas menunjukan kekufuran yakni mengandung manath (gantungan) pengkafiran yang tersebut dalam dalil syar'i. Dua syarat ini persis seperti yang ditunjukkan Sabda Nabi n: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ


3. Tidak ada penghalang-penghalang hukum (مَوَانِعُ الْحُكْمِ) pada dirinya. Maksudnya, orang yang melakukan dosa yang mengkafirkan dengan ucapan atau perbuatan, tidak ada pada dirinya penghalang yang bisa menghalangi jatuhnya hukum kufur atas dirinya. Keterangan ini saya khususkan pada penghalang-penghalang hukum pada diri pelaku untuk meringkas, sebab penghalang terbagi menjadi tiga bagian:
a. Penghalang pada pelaku (مَوَانِعُ فِي الْفَاعِلِ)
b. Penghalang pada perbuatan yakni pada penyebab kufur seperti keadaan perbuatanya tidak jelas akan kufurnya atau dalil syar'inya tidak qath’iyatud dalallah (dalil yang menunjukan atas kekufurannya qath’i).
c. Penghalang pada penetapan (مَوَانِعُ فِي الثُّبُوْتِ), seperti kesaksian terjadinya ucapan atau perbuatan yang mengkafirkan dari seseorang tidak diterima karena yang menjadi saksi tidak diterima persaksiannya lantara anak kecil atau tidak adil.

Menurut saya penghalang b dan c tidak perlu dibahas panjang lebar karena dua penghalang ini saya anggap tidak ada pada kasus yang kita bicarakan. - وَاللهُ أَعْلَمُ –
Adapun penghalang-penghalang hukum dari pengkafiran secara ta’yin terhadap seseorang yang melakukan dosa mukaffir (yang mengkafirkan) ucapan ataupun perbuatan adalah sebagai berikut:
1. Salah yang tidak disengaja, seperti terlepas mengucapkan ucapan kekufuran tanpa sengaja. Dalilnya (QS. Al-Ahzab (33): 5) dan hadits riwayat Buhkari dan Muslim yang meriwayatkan: "Ada seorang lelaki yang berdo'a: (اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِيْ وَ أَنَا رَبُّكَ) (Yaa Allah Engkuaulah hambaku dan aku adalah Rabbmu)", terucap tanpa sengaja karena saking gembiranya.
2. Salah takwil. Maksudnya meletakan dalil syar'i tidak pada tempatnya dengan i'jtihad, atau syubhat (kerancuan paham) yang terbentuk karena tidak memahami apa yang ditunjukan nash (دَلاَلَةُ النَّصِّ). Lalu melakukan kekufuran itu tanpa sengaja berdasarkan dalil yang dia pahami bahwa perbuatan tersebut bukan kekufuran. Maka, salah takwil seperti ini menjadi penghalang dari pengkafirannya. Maka, bila hujjah telah ditegakkan atasnya dan telah diterangkan kesalahannya tapi masih tetap melakukan kekufurannya, maka dia kafir di saat itu. Dalilnya kasus Qudamah bin Mazh'un, dia menganggap khamr halal karena salah dalam memahami (QS. Al-Maidah (5): 93). Setelah diterangkan lalu dia bertobat. Kalau seandainya dia tidak bertobat, dia terkena hukum bunuh sebab kafir murtad karena telah menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah Ta'ala. (Lihat Maj'mu Al-Fatawa Ibnu Taimiyyah 7/610 atau 7/371 Cet. Daar Al-Wafa). Sebagai catatan: Salah ta'wil yang diakui syariat sebagai udzur adalah yang lahir dari memahami dalil syar'i, tapi salah dalam memahaminya. Adapun salah takwil yang dilahirkan dari pikiran semata dan hawa nafsu tanpa disandarkan pada dalil syar'i tidak diakui syariat sebagai uzur dan penghalang pengkafiran. Seperti takwil iblis [QS. Al-A'raf (7): 12] dan takwil-takwil batil yang menggugurkan kewajiban syariat.
3. Terpaksa. Dalilnya (QS. An-Nahl (16): 106). Dan terpaksa atas melakukan kekafiran dianggap sah sebagai penghalang, syaratnya pelaku diancam untuk dibunuh atau dipotong anggota badannya, atau disiksa dengan siksaan yang pedih. Ini pendapat jumhur, dan merupakan pendapat yang paling kuat.

Saudara para ulama yang saya hormati lagi saya kasihi رَحِمَنِيْ وَ رَحِمَكُمُ اللهُ
Setelah saya paparkan masalah takfir khususnya kaidah takfir mu’ayyan, sekarang marilah kita dengan penuh beristi’anah (minta pertolongan) kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala melihat dengan seksama keadaan penguasa di negara ini dan membuat penilaian dengan teliti dan adil tanpa kezaliman: "Apakah mereka telah kafir???”
Ditinjau dari segi syarat-syarat hukumnya telah terpenuhi sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Karena perbuatan yang dilakukan mereka merupakan dosa yang mengkafirkan, dan adanya dalil-dalil syar'i yang jelas yang tidak mengandung takwil bahwa perbuatan yang dilakukan mereka adalah dosa yang mengkafirkan.
Insya Allah untuk yang ini menurut saya kita semua sepakat kecuali ghulat murji'ah karena menurut paham sesat mereka segala kekafiran yang bentuknya ucapan dan perbuatan dianggapnya sebagai (كُفْرٌ دُوْنَ كُفْرٍ) (kufur yang bukan kafir) artinya bukan kufur akbar yang dapat mengkafirkan atau memurtadkan seseorang.
Setelah syarat-syarat hukumnya terpenuhi, mari kita lihat ada dan tidak adanya penghalang-penghalang hukum pengkafiran pada diri mereka.
1. Salah yang tidak disengaja. Penghalang ini jelas tidak ada, karena tiga belas contoh kekafiran yang tertulis di atas seluruhnya dilakukan dengan sengaja. Meskipun tidak sengaja berbuat kekafiran namun dia dalam keadaan sadar (ketika) melakukannya, berbeda dengan keadaan lelaki yang berdo'a "Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu" Ini benar-benar tidak sadar dan tidak sengaja. Misalnya orang yang dalam keadaan sadar mengatakan, "Saya menolak syariat Islam karena primitif tidak sesuai dengan perkembangan zaman." Orang ini meskipun tidak sengaja berbuat kekafiran tapi dia kafir dengan ucapan itu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kesimpulannya, barangsiapa mengucapkan atau melakukan suatu kekafiran maka ia kafir meskipun ia tidak bermaksud untuk menjadi orang kafir, karena tidak ada orang yang bermaksud menjadi kafir kecuali orang yang dikehendaki Allah.” [Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal 177-178].
وَ بِالْجُمْلَةِ فَمَنْ قَالَ أَوْ فَعَلَ مَا هُوَ كُفْرٌ كَفَرَ بِذَلِكَ وَ إِنْ لَمْ يَقْصِدْ أَنْ يَكُوْنَ كَافِرًا إِذْ لاَ يَقْصِدُ الْكُفْرَ أَحَدٌ إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ. الصَّارِمُ الْمَسْلُوْلُ عَلَى شَاتِمِ الرَّسُوْلِ ص177-178
"Beliau berkata lagi: Maka barangsiapa dengan lisannya mengucapkan dengan kata-kata kekafiran dengan sengaja bahwa kata-kata yang diucapakan adalah kata-kata kekafiran, maka ia kafir dengan (ucapan) itu lahir dan batin. [Ash-Sharimul Maslul hal 438 cet. Darul Aqidah Lit-Turats].
فَمَنْ قَالَ بِلِسَانِهِ كَلِمَةَ الْكُفْرِ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ عَامِدًا لَهَا بِأَنَّهَا كَلِمَةُ كُفْرٍ فَإِنَّهُ يَكْفُرُ بِذَلِكَ ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا. الصَّارِمُ الْمَسْلُوْلُ ص 438 ط دار العقيدة للتراث
2. Salah takwil. Menurut saya, penghalang ini pun tidak ada pada diri mereka, sebab mereka bukan salah dalam memahami ayat maupun hadits, tapi sengaja meninggalkannya dan lebih suka mengikuti hawa nafsu dan pikiran mereka. Namun jika seandainya kalian berpendapat bahwa penghalang ini (salah ta'wil) ada pada mereka, maka wajib bagi kalian menyampaikan keterangan yang benar kepada penguasa yang ada agar kembali pada tafsiran yang benar, dan meninggalkan ta'wil yang salah serta meninggalkan kekafiran-kekafirannya. Kalian tidak boleh diam, wajib menyampaikan semampu kalian jika telah disampaikan teryata tidak mau bertaubat, berarti gugurlah penghalang ini.
3. Jahil atau bodoh. Menurut saya penghalang inipun tidak ada ditinjau dari segala segi, sebab mereka orang-orang pintar, cerdik dan pandai, tinggalnya di kota metropolitan bisa mendengar dakwah setiap saat, dan kalau mereka bodoh dan jahil dari kekufuran-kekufuran yang dilakukannya bisa dengan menghilangkan kejahilannya. Kalau misalnya kalian termasuk yang berpendapat bahwa iqamatul hujjah harus disampaikan langsung dengan lisan atau surat kepada mereka, karena tanpa begitu berarti mereka berstatus bodoh dan jahil dikarenakan dakwah belum sampai kepada mereka, maka kalian wajib mendatanginya dan menegakkan hujjah atas mereka. Jika kalian telah melakukan itu dan mereka tidak mau bertaubat, atau tidak mau menjumpai kalian atau enggan mendengar keterangan kalian atau engan membaca surat kalian, maka dengan sendirinya gugurlah penghalang yang ini.
4. Terpaksa. Dengan gamblang penghalang ini tidak ada. Adapun terpaksa melakukan kekufuran dengan alasan karena tekanan dunia internasional, PBB, karena bantuan dan sebagainya, semuanya itu tidak diakui syariat sebagai keterpaksaan. - وَاللهُ أَعْلَمُ –

Saudaraku para ulama yang saya cintai lagi kasihi -وَفَّقَنِيْ وَوَفَّقَكُمُ اللهُ-
Karena ucapan yang mengkafirkan dan perbuatan yang mengkafirkan telah tetap adanya pada diri penguasa dan pemerintah negara Republik Indonesia menurut syariat sebab syarat-syarat hukumnya telah terpenuhi dan tidak ada penghalang-penghalang hukum pada hak mereka dengan kata lain tidak ada penghalang pengkafiran pada diri mereka, maka dengan demikian saya menyatakan bahwasanya penguasa dan pemerintah Republik Indonesia telah kafir. - وَاللهُ الْمُوَفِّقُ- وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ –
Kemudian yang perlu dimaklumi bahwa pengkafiran saya ini di atas manhaj salaf manhaj Ahli Sunnah wal Jamaah dan bukan di atas manhaj sesat golongan khawarij. Oleh karena itu meskipun saya mengkafirkan penguasa dan pemerintah Indonesia, saya tidak mengkafirkan rakyatnya yang muslim, yang muslim tetap muslim, dan saya juga tidak menghalalkan darah rakyat Indonesia, darah seorang muslim di manapun terpelihara, dan saya juga tidak menyatakan masjid-masjidnya menjadi masjid dhiror meskipun negaranya bukan negara Islam dan penguasanya kafir. Masalah ini telah diatur dalam syariat dan telah dibahas dalam kitab-kitab ahlul ilmi dari kalangan Ahli Sunnah wal Jamaah, tidak mungkin saya uraikan satu persatu di dalam risalah ini. Dan keadaan seperti yakni penguasanya kafir dan negaranya bukan negara Islam tetapi rakyatnya mayoritas muslim bukan baru sekarang ini terjadi, keadaan ini telah dialami oleh pendahulu-pendahulu kita dari kaum muslimin, misalnya Mesir pernah sekitar dua ratus tahun menjadi daar ar-riddah (negara murtad) dan penguasa dan pemerintahannya kafir tapi mayoritas penduduknya kaum muslimin, begitu juga sebagian negara yang lain. (Lihat Majmu’ul Fatawa 13/96 Cet. Darul Wafa' atau 13/178 dan Ar-Rasai'ilul Syakhshiyyah hal. 220 Cet. Jami’atul Imam Muhammad bin Sa’ud).
Dengan demikian telah terjawablah persoalan dan pertanyaan yang besar lagi penting di atas bahwasanya penguasa dan pemerintah Republik Indonesia menurut saya adalah termasuk jenis yang keempat, yaitu penguasa dan pemerintah kafir. Maka, bagaimana menyikapinya sesuai dengan tuntunan syariat? Bacalah panduan ringkas di atas dan kajilah kitab-kitab ulama salaf yang membicarakan masalah ini serta tanyalah kepada Ahlul ilmi yang lebih alim dari pada kita. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong kita, dan menunjukan kita kepada jalan yang lurus, serta menjadikan negara kita yang kita cintai ini sebagai negara yang di ridhai Allah, negara yang berhukum dengan syariat Allah, negara yang dipimpin oleh kaum shalihin dan muttaqin, negara yang penduduknya hanya menghambakan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan mendayagunakan segala fasilitas yang ada dalam rangka semata-mata untuk pengabdian kepada-Nya. Negara yang makmur gemah ripah loh jinawi, rakyatnya bisa menyukurinya بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُوْرٌ negeri yang baik (nyaman) sedang Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Pengampun [QS. Saba' (34):15]. آمِيْـنَ- -آمِيْـنَ- آمِيْـنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ يَا مُجِيْبَ السَّائِلِيْنَ -

Saudaraku para ulama yang saya hormati dan cintai أَفْرَغَ اللهُ عَلَيْكُمْ صَبْرًا وَ ثَبَّتَ أَقْدَامَكُمْ وَ نَصَرَكُمْ عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ
(Semoga Allah melimpahkan kesabaran kepada kalian, meneguhkan pendirian kalian dan menolong kalian menghadapi orang-orang kafir).
Selanjutnya, perkenankanlah kepada saya untuk menyampaikan sebagian alasan dalam pentakfiran ini, mengingat pada masa sekarang ini takfir dan mentakfiran terlihat sebagai sesuatu yang aneh dan nyeleneh, sesat dan menyesatkan dan pelaku pentakfiran dianggap sebagai golongan khawarij atau bermanhaj khawarij. Hal ini terjadi karena mayoritas manusia pada masa kini --kecuali yang dirahmati Allah-- memegang i'tiqad murji'ah dalam masalah iman termasuk takfir, mereka menganggap bahwa iman yang ada dalam hati sempurna dengan tashdiq (pembenaran) saja tanpa amalan hati seperti mahabatullah (cinta kepada Allah), takut, tawakal, dan sebagainya. Mereka menyangka bahwa iman yang ada dalam hati telah menjadi sempurna walaupun tanpa perbuatan yang lahir (amalan yang zhahir). Dan dalam hal takfir mereka mengatakan bahwa setiap orang yang dikafirkan Allah dikafirkannya hanya karena hilangnya tashdiq dalam hatinya kepada Allah. (Majmu’ul Fatawa Ibnu Taimiyyah 7/227 cet. Darul Wafa’ atau 7/364 cetakan lama).
Kemudian prinsip takfir golongan murji'ah tersebut disalahpahami oleh sebagian murji'ah hari ini, katanya: "Kita tidak boleh mengkafirkan orang yang dikafirkan Allah --(misalnya orang yang mencela syariat Allah, Allah telah mengafirkannya [QS. At-Taubah (9): 64-65])-- kecuali setelah kita pastikan hilangnya iman atau tashdiq dari hati orang tersebut,” dengan kata lain: kecuali pada diri orang tersebut terdapat juhud dan istihlal, selama dia tidak menentang haramnya dan tidak menghalalkannya.
Maka munculah prinsip sesat lagi menyesatkan, katanya "Manusia apabila telah mengucapkan syahadat dan hatinya membenarkannya, dan dia menyakini dengan pasti dan mengimani haknya seluruhnya, maka dia adalah orang yang beriman (mukmin), walaupun melakukan seluruh kemaksiatan yang lahir maupun yang batin selama tidak disertai juhud dan nukran (menentang atau ingkar). Lihat kitab Mujtama'una Al-Mu'ashir Bainat Takfir Al-Jaair wal Iman Al-haair –tulisan Muhammad bin Ibrahim Syaqrah -- Salah seorang tokoh yang mengaku salafy dari Yordan-- hal 37.
Dengan prinsip bid'ah tersebut maka pengkafiran cara Ahli Sunnah wal Jamaah dengan sendirinya dianggap salah sebab berdasarkan ucapan atau perbuatan yang mengkafirkan sedang menurut ghulat murjiah ini segala maksiat yang lahir maupun batin tidak ada yang membatalkan imam, yang membatalkan adalah juhud dan ingkar.
Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa penguasa-penguasa yang beragama Islam pada masa sekarang ini meskipun melakukan berbagai macam dosa yang lahir maupun yang batin tidak boleh dikafirkan selagi tidak diketahui adanya pengingkaran pada diri mereka atau hilangnya iman dari dirinya. Sedangkan untuk mengetahuinya musykil, maka natijahnya (hasilnya) pemegang mazhab ini tidak akan pernah mentakfir, kalau terpaksa mentakfir hanyalah karena taqlid kepada syaikhnya atau karena ikut pesanan tuannya.
Dan anehnya para pengusung aqidah yang batil ini termasuk manusia yang paling merasa dirinya sebagai Ahli Sunnah wal Jamaah dan bermanhaj salaf dan semua yang menyelisihi kelompoknya dianggap ahlul bid'ah dan yang menyelisihi madzhab takfirnya mereka sebut sebagai golongan takfiriyah dan khawarij. وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ

Sungguh sesuai sekali ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah; kata beliau: "Banyak dari mutaakhirin (orang-orang yang hidup akhir) tidak bisa membedakan antara madzhab salaf dan pendapat golongan murjiah dan jahmiyah karena tercampur yang ini dan yang itu dalam banyak pendapat dari mereka, dari orang yang pada batinnya berpendapat seperti pendapat jahmiyah dan murjiah dalam masalah iman, sedangkan dia pengagung salaf dan ahlul hadits, maka dia menyangka bahwasanya dia menghimpunkan antara keduanya atau menghimpunkan antara ucapan orang-orang yang semisalnya dan ucapan salaf.” (Majmu’ul Fatawa 7/228 cet. Daar Al-Wafa').

Kalau kita mengikuti prinsip takfir (pengkafiran)nya golongan ghulat murjiah di atas maka di dunia ini secara lahir kita tidak akan mendapatkan orang yang murtad atau orang yang kafir setelah beriman kecuali orang yang menukar agamanya secara formal, itupun kalau alasannya karena masalah ekomoni dan masih menyakini Islam satu-satunya agama yang benar dan tidak mengingkari haramnya perbuatannya berarti dia masih disebut mukmin. "إِنَّا لِلَّهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ"

Pemahaman seperti inilah dan yang sejenisnya yang mempengaruhi pikiran manusia pada saat ini sehingga dalam benaknya dan bayangannya seolah-olah kekafiran dan kemurtadan itu mustahil terjadi pada diri seorang muslim yang masih shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Maka keadaan mereka dalam masalah ini berbeda jauh dengan salafnya (pendahulunya).
Sungguh telah terjadi kemurtadan dan manusia murtad pada masa Rasulullah n masih hidup, dan sesudah beliau wafat hampir mayoritas bangsa arab yang telah masuk Islam murtad kecuali penduduk Mekah, Madinah dan Bahrain. Dan diantara sebab murtadnya adalah enggan membayar zakat. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq z sebagai Khalifah Rasyid pertama, manusia yang paling alim dan yang paling mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah setelah Rasulullah n, beliau menyatakan perang terhadap mereka dan memerangi habis-habisan sehinga ribuan yang mati bergelimpangan di pihak mereka, sedang yang tersisa hidup diminta bertaubat, dan diantara taubatnya wajib menyaksikan bahwa yang mati di pihak sahabat n masuk surga sedangkan yang di pihak mereka masuk neraka.
Coba perhatikan Abu Bakar Ash-Shidiq pemimpin salaf mengkafirkan mereka dan memerangi mereka hanya karena enggan menolak bayar zakat saja tanpa embel-embel karena adanya juhud dan istihlal dan tidak ada seorang pun sahabat yang menanyakan kepada mereka apakah kalian tak membayar zakat karena kalian mengingkari kewajibanya? Maka cukup enggannya (menolaknya) saja mereka dikafirkan dan diperangi. Abu Hurairah z dalam meriwayatkan peristiwa ini menggunkan bahasa:
وَ كَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنَ الْعَرَبِ , dan telah kafir orang yang telah kafir dari bangsa Arab. (HR. Bukhari no.6924 dan 6925)

Dan Al-Imam Al-Bukhari memberi judul dua Hadits ini dengan:
"بَابُ قَتْلِ مَنْ أَبَى قَبُوْلَ الْفَرَائِضِ وَمَا نُسِبُوْا إِلَى الرِّدَّةِ" , Bab Membunuh Orang yang Menolak Menerima Perkara-Perkara yang Wajib dan Sesuatu yang Menjadikan Mereka Disebut Orang-orang Murtad. Ibnu Hajar dalam mensyarah ucapan Al-BukhAri paroh pertama dia berkata: “أَيْ جَوَازُ قَتْلِ مَنِ امْتَنَعَ مِنَ الْتِزَامِ الْأَحْكَامِ الْوَاجِبَةِ وَالْعَمَلُ بِهَا” (yaitu dibolehkan membunuh orang yang menolak komitmen kepada hukum-hukum yang wajib dan beramal denganya), dan paroh kedua “أَيْ أُطْلِقَ عَلَيْهِمُ اسْمُ الْمُرْتَدِّيْنَ” , yaitu dikenakan atas mereka sebutan “orang-orang yang murtad" (Silahkan merujuk kepada kitab Fathul Bari Syarah dua hadits tersebut 12/287-393 cet. Daar Mishr Lith Thiba'ah yang telah di tahqiq Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Muhammad Fuad Abdul Baqi').
Dan sebagai catatan perlu dimaklumi bahwa Ibnu Hajar v dalam masalah takfir mengikuti paham murji'ah fuqaha yaitu mengkafirkan orang yang dikafirkan Allah --sebagaimana Ahli Sunnah wal Jamaah-- tapi penyandaran kafirnya pada hilangnya iman dan tashdiq dari hatinya, maka menurut beliau orang menolak kewajiban (seperti zakat dan sebagainya termasuk hukum-hukum yang telah diwajibkan yang lain) dan menolak mengamalkanya maka dia kafir murtad tapi sandaran kafirnya di atas hilangnya iman dan tashdiq dari hati orang yang menolak tersebut. Adapun Ahli Sunnah menyandarkan di atas perbuatan orang tersebut, sebab menurut Ahli Sunnah iman adalah ucapan dan amalan bukan tashdiq saja. - وَاللهُ أَعْلَمُ –
Terpaksa saya ingatkan di sini tentang Ibnu Hajar v sebab banyak manusia yang kurang memahami iman menurut Ahli Sunnah terpengaruh dengan syarah Ibnu Hajar tentang iman dalam Fathul Bari, mereka menyangka pahamnya seperti Imam Bukhari, padahal kalau kita teliti di sana ada perbedaan. Coba perhatikan dalam mensyarah ucapan Imam Bukhari الْإيْمَانُ قَوْلٌ وَ فِعْلٌ وَ يَزِيْدُ وَ يَنْقُصُ (Iman adalah ucapan dan perbuatan, dan bertambah dan berkurang). Dalam mensyarah فِعْلٌ atau عَمَلٌ dia katakan bahwa perbuatan sebagai syarat kesempurnaan iman “الْأعْمَالُ شَرْطٌ فِي كَمَالِهِ” (Lihat Fathul Bahri 1/70 cet. Daar Mishr Liththiba'ah). Sedangkan yang dikehendakinya Iman Bukhari sebagai pembela i'tiqad Ahli Sunnah bahwa amal perbuatan bukan sekadar syarat kesempurnaan tapi termasuk iman sebagaimana قَوْلٌ (ucapan) baik ucapan hati ataupun ucapan lisan, maka فِعْلٌ (perbuatan) ada perbuatan hati dan perbuatan anggota badan, keduanya termasuk iman.
Adapun apakah amal perbuatan itu termasuk syarat sahnya iman atau syarat kesempurnaan iman, dalam hal ini Ahli Sunnah wal Jamaah membagi martabat (tingkatan) iman menjadi tiga tingkatan:
1. Ashlul Iman (pokok Iman).
2. Iman yang wajib.
3. Iman yang mustahab.

Maka amal perbuatan yang termasuk ashlul iman menjadi syarat sahnya iman (misalnya shalat atau meninggalkan syirik), dan yang masuk dalam iman yang wajib termasuk syarat kesempurnaan yang wajib misalnya: amanat atau meninggalkan Mo Limo (jawa: madat/narkoba, mendem/mabuk, medok/zina, main/judi, & maling/mencuri __ed), dan yang masuk dalam iman yang mustahab termasuk syarat kesempurnaan iman yang sunnah (misalnya melaksanakan perkara-perkara yang sunah dan meninggalkan yang makruh dan syubuhat). Lebih detail bisa dirujuk Majmu’ Al-Fatawa 7/387, 224, 221, 321, 387, 10/7dan 12/253-254, 19/157 dst cet. Daar Al-Wafa’).
Adapun golongan khawarij yang ifrath (berlebih-lebihan) dan melampaui batas dalam memahami iman meng-gebyahuyah-kan (secara serampangan menyamaratakan__ed) semua amal perbutan anggota badan, ashlul iman, maupun iman yang wajib; seluruhnya dianggap sebagai syarat sahnya iman, maka dosa besar (kabair) biasa seperti zina, mencuri, minum arak dan sebagainya dianggap imannya tidak sah alias kafir.
Adapun golongan murji'ah yang tafrith (mengurang-ngurangkan) dan sembrono atau cuek dalam memahami iman meng-gebyahuyah-kan semua amal perbuatan anggota badan yang ashlul iman maupun iman yang wajib, seluruhnya dianggapnya sebagai syarat kesempurnaan iman saja, maka segala dosa yang dilakukan anggota badan yang lahir yang mengkafirkan dianggap tidak bisa menghilangkan iman tapi hanyalah menghilangkan kesempurnaannya saja; yang bisa menghilangkan iman hanyalah kekafiran yang ada dalam hati (hilangnya tashdiq).
Sekarang mari kita lihat pemahaman golongan yang paling mengaku sebagai Ahli Sunnah wal Jamaah dan paling merasa mengikuti manhaj salaf, semua kelompok yang tidak sepaham dengan mereka dari dicap sebagai ahli bid’ah yang harus dihijrahi, dan seluruh mujahidin yang sekarang sedang menunaikan kewajiban jihad fi sabilillah dicap sebagai khawarij dan teroris dan sebagai musuh pertamanya. Sementara penguasa yang telah melakukan berbagai kekafiran dengan anggota badan termasuk mulut dan lisannya dianggapnya sebagai manusia yang hanya hilang kesempurnaan imannya, maka status mereka masih mukmin yang wajib ditunaikan dan diberikan hak-hak mereka. Maka seluruh dalil-dalil wa'id (ancaman) terhadap ahlul bidah yang mereka dapati dalam kitab-kitab ahlul ilmi, mereka praktekkan terhadap manusia yang mereka anggap ahlul bidah dan khawarij, sementara dalil-dalil wa'id terhadap pelaku kekafiran yang beraneka ragam yang dilakukan dengan anggota badan termasuk lisan, mereka tahan dengan alasan kekafiran mereka kufrun duna kufrin atau mereka bodoh, salah takwil dan sebagainya, maka status mereka tetap sebagai ulil amri yang wajib dibela dan ditaati. Maka pelaku kekafiran dianggap saudara muslim yang harus dibela, sementara pelaku bid’ah (bid’ah menurut mereka) dianggap bukan sebagai saudara muslim yang wajib dibela lagi bahkan dijdikannya sebagai musuh utamanya. وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ وَعَلَيْهِ التُّكْلاَنُ.
Mereka berkata tentang amal anggota badan: … Namun ada sisi perbuatan yang sangat tipis antara khawarij dan muktazilah dengan ahli sunnah yang perlu untuk dicermati dengan penuh perhatian. Perbedaan itu adalah ahli sunnah yang berkeyakinan bahwa secara global amal anggota badan itu adalah syarat kesempurnaan iman, sedangkan khawarij dan muktazilah mengatakan bahwa amal anggota badan adalah syarat sahnya iman. (Lihat Majalah Asy-Syariah Vol. I / No. 08 / 1425 H / 07 / 2004 M hal 11. Ungkapan ini terdapat dalam majalah yang berjudul “Hujjah lemah paham Takfiriyyah” tulisan Al-Ustadz Qamar Su’aidi Lc selaku pemimpin redaksi, dan penasehatnya adalah Al-Ustadz Muhammad As-Sewed dan Al-Ustadz Luqman Ba’abduh.
Dengan ungkapan tersebut kita bisa mengetahui paham dan keyakinan mereka tentang amal anggota badan hanya sebagai sebagai syarat kesempurnaan iman meskipun di situ dibubuhkan catatan kaki (yang bunyinya: “Namun ada juga beberapa amalan (menurut ahli sunnah) yang merupakan syarat sahnya iman seperti shalat” … (idem).
Catatan kaki tersebut menunjukkan bahwa mereka ragu dengan kaidah yang mereka pegangi dalam kaidah "Amal angota badan hanya sebagai syarat kesempurnaan iman" tapi kok ada yang menjadi syarat sahnya iman, jelas kontradiksi. Dan hal ini juga menunjukkan bahwa mereka bingung dalam hal amal anggota badan, separuh ikut murjiah dan sedikit ikut ahli sunnah dan ungkapan di atas hanya sebagai hasil dari taqlidnya kepada penulis buku "Ziadatul Iman wa Nuqshanuhu" yang salah dalam memahami amal anggota badan.

Nah dari pemahaman yang bingung dan salah inilah antara lain yang menjadikan mereka menyakini, bahwa penguasa-penguasa sekuler yang mengaku beragama Islam yang telah melakukan berbagai kekufuran dengan anggota badannya termasuk mulutnya, mereka tidak kafir sebab yang hilang hanyalah kesempurnaan imannya.
Coba bandingkan dengan kaum murtaddin yang diriwayatkan Imam Bukhari di atas, mereka dikafirkan para sahabat dan diperangi oleh mereka hanya karena menolak satu syariat saja yakni menolak membayar zakat, maka bagaimana pendapat kalian terhadap golongan manusia yang menolak syariat seluruhnya atau hampir keseluruhannya, bahkan tidak hanya sekadar menolak, penolakannya disertai dengan ejekan, olok-olok dan penyepelean. Apa kira-kira vonis yang dijatuhkan oleh Abu Bakar ash-Shidiq z terhadap mereka andaikan beliau hidup sekarang ini!!? Pikirkanlah dengan iman dan akal sehat!.

Ada golongan manusia mengaku bermanhaj salaf yang senantiasa membela mereka dengan alasan bahwa tidak berhukum dengan hukum Allah tidak kafir kufur akbar berdasarkan ucapan Ibnu Abbas z dalam menafsirkan firman Allah l [QS. Al-Maidah (5): 44] وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ tetapi kufrun duna kufrin. Kalau seandainya riwayat ini benar dari Ibnu Abbas z, maka perlu disadari bahwa maksud beliau adalah berhukum dengan selain hukum Allah dalam kasus tertentu. Al-‘Allamah Ibnul Qayyim v membahasakan dengan ungkapan فِي هَذِهِ الْوَاقِعَةِ (dalam kejadian (kasus) ini) (Madarijus Salikin 1/336-337 cet. Darul Fikr), bukan mengganti hukum atau undang-undang seperti yang dilakukan pemerintah sekuler di masa kini. Dan kalau kita terpaksa toleran sedikit menganggap bahwa kafir dan tidaknya berhukum dengan selain hukum Allah itu masalah khilafiyah yang masih diperselisihkan antara ulama, tapi kenapa mereka membutakan pembatal-pembatal lain yang tidak ada perselisihan lagi, misalnya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal baik yang keluar dari mulut-mulut penguasa maupun yang tertulis dalam undang-undang mereka, ataupun yang nampak lahir dalam tindakan mereka, misal lain seperti mengolok-ngolok syariat Allah dan sebagainya dan sebagainya.
Mengolok-mengolok Allah, Rasul-Nya dan ayat-ayat-Nya adalah kafir murtad tidak, ada perselisihan antara ulama dalam masalah ini. Lihat ucapan Ibnu Taimiyyah v , “Setiap kelompok yang menolak komitmen dengan syariat Islam yang jelas yang mutawatir (seperti menolak berjihad terhadap kuffaar dan mengenakan jizyah terhadap Ahli Kitab dan lain sebagainya) wajib diperangi.” (Majmu’ Al-Fatawa 28/274) dan lebih jelas lagi baca kitab tulisan beliau "Ash-Shaarimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul" yang dari awal hingga akhir membahas masalah ini. Kitab ini amat penting untuk kita baca sampai penulisnya mengatakan: "Dan aku telah mengarang kitab yang agung yang aku namakan Ash-Shaarimul Maslul ‘ala Syaatimir Rasul, dan di dalamnya telah aku sebutkan masalah ini yang belum aku ketahui ada seorangpun yang mendahuluinya, demikian juga tentang kaidah-kaidah iman telah aku tulis di dalamnya beberapa pasal, ia termasuk suatu yang paling bermanfaat dalam urusan dien.” (Majmu’ Al-Fatawa 3/173 cet. Dar Al-Wafa 3/277).
Dan bisa juga dibaca dalam kitab: "Asy-Syifa bi Ta’riifi Huquqil Musthafa" tulisan Al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahsyibi (Wafat 544 H) pada Juz Kedua halaman 926 hingga akhir kitab, dan kitab Tabshiratul Hukkaam tulisan Burhanudin bin Farhan Al-Maliki (Wafat 799 H) dalam Bab Ar-Riddah, dan Al-I'lam bi Qawati’il Islam oleh Ibnu Hajar Al-Makki Al-Haitami (Wafat 974 H) yang dicetak di akhir kitabnya Az-Zawajir fie an-Nahyi 'an Iqtirafil Kabaair dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan olok-olokan ini Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ، لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” [QS. At-Taubah (9): 65-66].
Ibnu Katsir v dalam tafsirnya berkata: Firman Allah Ta’ala "Tidak perlu minta maaf karena kamu telah kafir" yakni dengan ucapan yang kamu olok-olokan. [Tafsir Al-Qur'an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir 2/382 cet. Daar Al-Ma’rifah Beirut Libanon cet. kesembilan 1417 H / 1997 M].

Maka orang-orang yang atas mereka ayat ini diturunkan telah kafir disebabkan kata-kata yang telah diucapakkan pada masa Rasullah n masih hidup bahkan berperang bersama-sama beliau.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا ، وَيُمْسِي كَافِرًا ، وَيُمْسِي مُؤْمِنًا ، وَيُصْبِحُ كَافِرًا ، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ


(Dari Abu Hurairah z bahwasanya Rasulullah n bersabda: Bersegeralah kamu beramal (akan terjadi) fitnah-fitnah bagaikan kepingan malam yang gelap gulita, seseorang yang pagi harinya itu mukmin sore harinya kafir, dan pada sore harinya mukmin pagi harinya kafir dia menjual agamanya dengan kenikmatan dunia. (HR. Muslim). Dan bisa dirujuk dalam kitab Riyadush Shalihin oleh Imam Nawawi hal 60 Ihda’ Jaami’ Manshur Asy-Syu'aibi - Jeddah).
Maka seseorang kadang kala bisa menjadi kafir dikarenakan satu kata yang diucapkan meskipun dalam keadaan gurau. Oleh karena itu pensyarah Al-Aqidah ath-Thahawiyyah berkata: Maka dienul Islam adalah sesuatu yang disyariatkan Allah l untuk hamba-hambanya melalui lisan Rasul-rasulnya dan dasar dien ini dan cabang-cabangnya periwayatannya dari Rasul-rasul dalam keadaan jelas dan gamblang yang memungkinkan setiap orang yang berakal sehat, yang fasih maupun yang ‘ajam, yang pintar maupun yang bodoh untuk masuk dalam agama ini dengan waktu yang singkat, dan sesunguhnya bisa terjadi keluar darinya lebih cepat dari pada itu. (Syarhul Aqidah Thahawiyyah hal 585). Maka fikirkanlah kata-kata beliau: "Keluar dari Islam bisa terjadi lebih cepat dari pada itu.”

Oleh karenanya, para fuqaha dalam kitab–kitab fikih mereka membahas apakah ridah (murtad) termasuk perkara yang membatalkan wudhu dan tayamum? Mereka berselisih dalam masalah ini, di antara mereka berpendapat membatalkan kedua-duanya, dan sebagian lain berpendapat membatalkan tayamum dan tidak membatalkan wudhu, dan yang lain lagi berpendapat tidak membatalkan kedua-duanya. Sebagai missal, baca kitab-kitab fikih berikut:
1. Kitab Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab li asy-Syirazi - oleh Al-Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H) - 2 / 5 - 6 cet. Maktabah Al-Irsyad – Jeddah.
2. Al-Mughni oleh Al-Imam Muwaffaquddin Abu Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi ad-Dimasyqi Al-Hambali (w. 682 H) - 1/227 cet. Daarul Hadits Qahirah.
3. Kifayatul Akhyar fi halli Ghaayatil Ikhtishar oleh Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Ad-Dimsyqi Asy-Syafi’i (w. 829 H) - 1/64-65 cet. Daarul Kutub Al-Islamiyyah.
4. Al-Muhalla oleh Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm Al-Andalusi (w. 456 H) -1 / 214-215 cet. Maktabah Daarut Turats - Al-Qahirah.

Perhatian para fukoha itu menunjukkan bahwa seorang bisa jadi sedang berwudhu dan hendak menunaikan shalat lalu melakukan sesuatu yang mengkafirkan dari ucapan atupun perbuatan atau keyakinan atau ragu-ragu, dia menjadi murtad, jika dia bertaubat, wajib memperbarui wudhunya yang telah rusak dan batal karena murtad.
Bahkan Ibnu Qudamah v mengatakan: وَالرِّدَّةُ تُبْطِلُ اْلأَذَانَ إِنْ وُجِدَتْ فِيْ أَثْنَائِهِ (dan riddah membatalkan adzan jika terjadi sewaktu sedang adzan). (Al-Mughni 1/535 cet. Darul Hadits Al-Qahirah) 1425 H / 2004 M - dan bisa dibuka di tempat lain di cetakan lama 1/438, 1/168, 3/52, 8/186 dan 9/564-565)
Inilah sebagian dari contohnya dan sebenarnya masih banyak lagi. Dan dari beberapa contoh itu menjadi jelas bahwa sangat mungkin kemurtadan itu terjadi bahkan begitu cepat terjadinya, tidak sebagaimana yang dibayangkan dan diomongkan sebagian manusia pada hari ini, sampai orang yang sedang wudhu bisa murtad antara wudhu dan shalatnya, orang yang sedang mengumandangkan adzan untuk shalat karena dia mengucapkan lafazh yang mengkafirkan atau melakukan sesuatu perbuatan yang mengkafirkan atau selainnya dari perkara-perkara yang mengkafirkan dia bisa murtad. Maka renungkanlah dan fikirkanlah hal ini. Anda akan mengetahui alangkah tafrith dan jahilnya kebanyakan manusia hari ini, seolah-olah kemurtadan itu termasuk sesuatu yang jauh dan mustahil terjadi.
Kenapa sekarang ini kemurtadan dianggap sesuatu yang jauh terjadi dan mustahil berlaku, begitu juga takfir dan pengkafiran terasa asing dari benak dan pikiran kaum muslimin –kecuali- yang dirahmati Allah? Sebab antara lain disamping mayoritas manusia terjebak mengikuti paham murjiah bahkan ghulatnya. Sebagian dikarenakan kebodohanya, sebagian lain tanpa sadar sama sekali dan sebagian lagi karena melampaui batas dalam menyikapi golongan khawarij sehingga seolah-olah tidak terdapat sedikitpun kebenaran dan kebaikan pada meraka, maka seluruh prinsip mereka diangap bid'ah, padahal ada yang yang menyamai ahlus sunnah wal jamaah yaitu mengkafirkan dengan dosa yang mengkafirkan (mukaffir) ucapan ataupun perbuatan yang menghilangkan ushulul iman (pokok-pokok dasar iman) seperti syirik akbar, kufur akbar dan nifak akbar dan pengkafirannya semata-mata disandarkan atas amalanya yang tidak dilakukan oleh golongan murjiah. Jadi maksud mereka ingin berlepas diri dari manhaj dan i'tiqad khawarij tapi kebabablasan, prinsip ahlus sunnah pun di tolak. وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ
Maka disamping karena berpegang kepada i'tiqad murjiah bahkan ghulatnya sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas yang paling jelas karena pada hari ini tidak ada mahkamah syariat yang mengadili orang yang murtad, sebab hukum Islam atau syariat Islam tidak diberlakukan di kebanyakan negara kaum muslimin pada hari ini, hukum yang berlaku adalah hukum thaghut alias hokum syetan alias hukum jahiliyah, termasuk di negara Indonesia, yang mana hukum syetan warisan penjajah kafir itu menghalalkan riddah (kemurtadan), kemurtadan adalah legal tidak melawan hukum dan tidak melarangnya bahkan dijamin oleh Undang-Undang (lihat UUD 1945 Bab X (Warganegara dan Penduduk) pasal 28-E:
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaannya.

Dan bab XI (Agama) Pasal 29:
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tip penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.

Maka diantara penafsirn sebagian pasal yang sempat saya tulis ini bahwa setiap warga negara yang telah dewasa apapun agama yang dianut orang tuanya atau dianut sebelum dewasa termasuk agama Islam, maka ketika dewasa dia bebas memilih agama yang disukainya dan dijamin undang-undang.
Jadi menurut undang-undang syetan yang berlaku sekarang ini, orang Islam boleh murtad kapan saja dan dijamin oleh undang-undang, tidak ada seorang pun yang berhak menghalang-halanginya dan menuntut setelah kemurtadannya. Agar Anda tidak menganggap saya nyeleneh saya beri contoh kasus yang pernah terjadi di negeri Jiran Malaysia. Cerita singkatnya begini.
Ada seorang gadis muslimah yang pacaran dengan pemuda kafir dan siap untuk dijadikan istri, orang tuanya tidak merestuinya karena haram hukumnya dan biasanya dimurtadkan. Bagi orang Melayu , hal ini sangat sensitif dan dianggap sesuatu yang masih tabu dan memalukan -inilah diantara kelebihan orang Melayu dibandingkan dengan mayoritas muslim Indonesia meskipun dalam hal-hal lain muslim Indonesia banyak kelebihanya, tapi dalam hal kemurtaddan kurang sensitive --kecuali yang dirahmati Allah-- bahkan banyak yang bangga satu keluarganya multi agamanya, katanya "inilah keluaga teladan keluarga yang pancasilais. الْعِيَاذُ بِاللهِ
Pasangan laki-laki dan perempuan itu tidak peduli dengan sikap orang tua gadis yang tidak merestui percintaannya, malah pada suatu hari sengaja menguji dan menantang orang tua tersebut dengan berbuat tidak senonoh, mesum bercumbu rayu di hadapanya. Maka orang tuanya tidak dapat menahan kemarahannya terhadap perbuatan maksiat itu maka dipukulah si laki-laki tersebut dan terjadilah perkelahian seru sampai keduanya terkapar di atas tanah, si perempuan menyaksikan orang tuanya terkapar tidak perduli sama sekali malahan menolong pacarnya yang kafir itu. Singkat ceritanya kasus ini dibawa ke meja hijau dan diadili. Saya tidak pasti, siapa pihak yang menuntut dan melaporkan, dan pada waktu itu si perempuan telah murtad ikut agama si laki-laki, saya pun tidak tahu persisnya awal murtadnya terjadi, sebelum atau sesudah perkelahian tersebut, yang jelas sewaktu pengadilan digelar dia telah murtad.
Dalam pengadilan ini orang tua kecewa berat karena ternyata undang-undang syetan yang berlaku berpihak kepada pasangan kafir dan murtad itu, dan orang tua itu diketawakan oleh pasal-pasal syetan yang sinting tatkala mempersalahkan kemurtadan anaknya sebab menurut undang-undang iblis itu anak dewasa berumur delapan belas tahun bebas menentukan agama yang diinginkanya, maka terpaksa orang tuanya menelan kekalahanya dalam pengadilan ini dan di jebloskan dalam penjara. Peristiwa ini terjadi --seingat saya-- tahun sembilan puluh limaan dan menghebohkan masyarakat Islam di sana, namun terpaksa mereka menelan pil kina karena hukum kafir di negara itu tidak berpihak pada mereka).
Coba perhatikan wahai yang masih ada sisa akal sehat, hukum-hukum thaghut itu membela orang murtad, termasuk yang ada di negara ini. Sedang menurut syariat Islam orang murtad baik murtadnya secara terang-terangan seperti mengganti agama ataupun karena zindiq yang didhahirkan dengan ucapan ataupun perbuatan kekafiran jika enggan bertaubat maka dihukum bunuh, tidak adalagi perselisihan ulama dalam masalah ini. Maka bandingkanlah antara keduanya.
Dan selain penghalalan murtad, masih banyak lagi pasal-pasal yang mengandung syirik akbar dan kufur akbar yang lain. Hukum inilah yang dibela mati-matian oleh penguasa dan tali-barutnya pada masa kini sebab mereka dilantik dengan sumpah agar membela dan menjalankan undang-undang itu. Sedang menurut syariat Islam, membela kekafiran adalah kekafiran, dan membela pembela kekafiran adalah kekafiran.
Maka saya nasihatkan kepada para ulama, khususnya segelintir orang yang mengaku berilmu dari sebagian orang yang mengaku "salafy" yang senantiasa membela para penguasa sekuler, coba pahami betul-betul keadaan mereka, perhatikan segala aktifitasnya, baca pasal demi pasal undang-undang yang mereka bela. Jangan membela manusia yang Anda tidak mengetahui keadaan sebenarnya, hanya karena mendengar pendapat salah seorang ulama bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak kafir akbar, mereka langsung menyimpulkan bahwa para penguasa tetap sebagai ulul amri yang sah yang wajib ditaati, tanpa peduli dengan keadaan mereka, bahkan saya mendengar dari seorang yang bisa dipercayai katanya ada di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ulul amri wajib ditaati meskipun kafir. Sunguh kebodohan telah mencapai puncaknya. Inilah diantara tanda akhir zaman, padahal Allah telah mengikat dengan kalimat "مِنْكُمْ" (dari kamu) [QS. An-Nisa (4): 59], di samping itu Allah Ta’ala jelaskan dalam ayat yang lain (QS. Al-Maidah (5): 106). مِنْكُمْ adalah “مِنَ الْمُوْمِنِبْنَ” karena yang bukan mukmin Allah Ta’ala sebutkan dengan istilah “مِنْ غَيْرِكُمْ” artinya dari selain kamu, maksudnya bukan orang beriman alias kafir baik kafir tulen maupu kafir murtad, bahkan kafir murtad bisa jadi tidak masuk dalam ayat yang kedua ini sebab kekafirannya lebih dahsyat dari kafir tulen, adapun pada ayat pertama sudah jelas tidak masuknya bahkan diperintahkan untuk memeranginya sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. - وَاللهُ أَعْلَمُ –
Maka waspadalh Anda! Apakah anda rela menjadi pembela orang yang membela kekafiran, dan mengikuti hukum penguasa yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya yang denganya Anda akan termasuk dalam golongan manusia yang murtad lagi kafir sebagaimana ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Ataukah Anda siap menjadi pengikut dan penerus Bal'am bin Ba'ura yang diibaratkan seperti anjing karena lidahnya menjulur keluar hingga dadanya disebabkan mulutnya dan lisanya membela penguasa kafir dalam memerangi para mujahidin pimpinam Nabi Musa AS (baca QS. Al-A'raf (7): 175-177) dan Tafsir Ibnu Katsir 2/275-278 cet. Daar Al-Ma’rifah – Beirut - Libanon).
Ataukah Anda menyediakan diri dan mendaftar untuk memasuki dalam golongan manusia perusak agama seperti yang disenandungkan ‘Alim agung kita, Hafizh, dan Mujahid besar kita Abdullah bin Mubarok; kata beliau:
وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّيْنَ إِلاَّ الْمُلُوْكُ *** وَأَحْبَارُ سُوْءٍ وَرُهْبَانُهَا
Dan tiadalah yang merusak agama itu melainkan para raja (penguasa)
dan para ulama suu’ serta para ‘abid (ahli ibadah) yang jahil (bodoh).

Maka sekali lagi saya nasihatkan segeralah bertaubat dengan menghentikan pembelaan-pembelaani yang telah Anda lakukan dengan lisan maupun perbuatan kepada para penguasa yang telah melakukan berbagai kekafiran sebelum ajal menjemputmu. وَاللهُ الْمُوَفِّقُ
Saudaraku Para Ulama yang saya hormati lagi cintai بَارَكَ للهُ فِيْكُمْ (Semoga Allah senantiasa memberkahi (kebaikan-kebaikan) yang ada pada kalian).
Adapun alasan pengkafiran saya terhadap penguasa di negeri ini selain yang telah saya sebutkan di atas dan saya berani menjatuhkan vonis kafir secara ta’yin antara lain sebagai berikut:
1. Saya takut tergolong manusia yang dilaknat Allah dan dilaknat oleh mereka yang melaknat, apabila saya menyembunyikan kebenaran yang saya ketahui dan yakini benarnya berdasarkan dalil-dalil syar’i yang sebagiannya telah saya sebutkan. Bahkan saya meyakini andaikan seluruh ulama Ahli Sunnah wal jamaah yang mu’tabar dalam berbagai madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali dan Zhahiri) lebih khusus lagi para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in رَضِيَ للهُ عَنْهُمْ وَرَحِمَهُمُ اللهُ أَجْمَعِيْنَ hidup pada masa kini, maka mereka akan mengkafirkan para penguasa itu dan memfatwakan untuk memerangi mereka. Hal ini saya simpulkan berdasarkan ucapan-ucapan mereka yang tertoreh dengan tinta emas dalam kitab-kitab salaf. - وَاللهُ أَعْلَمُ –
Karena hari ini --alhamdulillah semata-mata karena pertolongan Allah, ta’yid-Nya (dukungan-Nya) dan karunia-Nya-- saya sudah tidak takut lagi kepada manusia lebih daripada takut saya kepada Allah Rabbul ‘alamin, dan resiko duniawi dalam menegakkan dien Allah kurang saya perhitungkan lagi, alhamdulillah. Maka kalau dalam keadaan seperti ini saya mendiamkan perkara ini apalagi saya tahu bahwa sedikit ulama yang berani menyampaikan masalah ini sehingga menjadi fardhu ‘ain atas saya untuk menyampaikannya. Kalau tidak, jelas saya akan terkena ancaman menyembunyikan kebenaran. عِيَاذًا بِاللهِ
Adapun dahsyatnya ancamannya, buka firman Allah Ta’ala QS. Al-Baqarah (2): 159-162 dan 174-176 dan lain sebagainya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/206-207 dan 212-213) dan silahkan melihat hadits-hadits dan keterangan-keterangan ahli ilmu dalam masalah ini. Sungguh mengerikan ancamannya.
2. Dan saya tidak khawatir dan takut secara berlebih-lebihan tanpa ilmu seperti sikap kebanyakan manusia hari ini termasuk sebagian ulama terhadap ancaman yang terdapat dalam hadits-hadits antara lain Shahih Bukhari no. 6045, 6103, 6104, 6047 dan sebagainya. Yang diantara kandungannya sebagai berikut:
يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلا بِالْفُسُوقِ ، وَ لاَ يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ (5604)
Nabi n bersabda: Tidaklah seseorang mneuduh orang lain fasiq, dan tidak pula menuduh kafir kecuali akan kembali kepadanya, jika yang dituduh keadaannya tidak demikian. (6045).
قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لأَخِيهِ يا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِا أَحَدُهُمَا
Beliau n bersabda: Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya: Hai kafir! Kekafiran itu kembali kepada salah satu dari keduanya. (6104).
Ibnu Hajar v telah mensyarah hadits-hadits ini dalam syarahnya, bagi yang ingin mengetahuinya secara detil, buka Fathul Bari 10/655-660 dan 725-729. dan begitu juga Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim hadits no 111- (60) dan 112- (61). Adapun kesimpulannya bahwa Ahlul ilmi beraneka pendapat dalam memahami hadits tersebut. Ibnu Hajar mentahqiq bahwa konteks hadits ini untuk menghardik orang Islam agar tidak mengatakan kepada saudaranya seperti itu, dan beliau mentarjih bahwa orang yang mengatakan seperti itu kepada saudaranya yang diketahui dirinya Islam dan tidak ada syughat (kesamaran) dalam pengakuannya bahwa dia kafir, maka dia (yang menuduh) kafir dengan itu. (10/650). Menurut Imam Nawawi ada lima penafsiran antara lain: Jika pelaku menghalalkan perbuatan maksiatnya (takfir yang salah) maka ini mengkafirkan dirinya, yang kembali kepada diri yang mengkafirkan –jika ternyata orang itu tidak kafir- adalah maksiat takfirnya bukan kekafirannya. (Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi 2/238 cet. Daar Al-Aqidah). Dari sini dapat disimpulkan bahwa ancaman dalam hadits tersebut bias kufrun duna kufrin dan bias kufur akbar.
Adapun terhadap diri saya –insya Allah- tidak termasuk yang terkena kedua ancaman tersebut. Sebab Imam Bukhari telah memberi judul untuk hadits no. 6104 sebagai berikut:
(73) بَابُ مَنْ أَكْفَرَ أَخَاهُ بِغَيْرِ تَأْوِيْلٍ فَهُوَ كَمَا قَالَ
“Bab Orang yang Mengkafirkan Saudaranya dengan Tanpa Takwil Maka Dia Sebagaimana Ucapannya.” Kata Ibnu Hajar dalam syarahnya: “Demikianlah pengikut muthlaqul khabar (hadits yang konteksnya umum) yakni apabila pengkafiran itu dilakukan dengan tanpa takwil dari yang mengatakannya.” (Idem 10/726).
Meskipun ucapan Imam Bukhari bukan hadits tapi saya yakin beliau termasuk ulama yang paling memahami maksud hadits, dengan demikian –insya Allah- yang beliau katakan tidak jauh dari kebenaran, dengan demikian menjadi jelas, bahwa pengkafiran yang saya lakukan terhadap para penguasa yang telah melakukan berbagai macam kekafiran tidak termasuk dalam konteks hadits tersebut karena saya lakukan dengan takwil.
Pengkafiran yang saya lakukan denga takwil ini bukan muhdats (bid’ah), manhaj ini telah ditempuh para ulama lain, contohnya:
- Abu Bakar Ash-Shiddiq z telah mengkafirkan golongan yang menolak membayar zakat.
- Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Katsir telah mengkafirkan penguasa Tartar yang mengaku bergama Islam karena tidak berhukum dengan hukum Allah (berhukum dengan Ilyasiq).
- Ibnu Taymiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ulama Maghribi mengkafirkan penguasa Daulah Fathimiyah (Bani ‘Ubaid) Mesir.
- Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan Daulah Utsmaniyyah Turki pada akhir-akhir kekuasaannya setelah mengganti hukum hudud syar’i dengan hukum pidana impor dari Prancis. ….Dsb

3. Kalau saya tidak mengkafirkan sedangkan saya telah mengetahui dengan yakin bahwa mereka kafir maka saya khawatir dan takut termasuk golongan manusia yang tidak mengkafirkan kaum musyrikin, atau ragu-ragu akan kekafiran mereka. Para penguasa tersebut termasuk musyrik bahkan menobatkan diri mereka sebagai sekutu Allah dalam masalah hukum. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab v: Pembatal-pembatal Islam ada sepuluh, antara lain:
مَنْ لَمْ يُكَفِّرْ الْمُشْرِكِيْنَ أَوْ شَكَّ فِيْ كُفْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ كَفَرَ إِجْمَاعًا.
“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu-ragu akan kekafiran mereka, atau membenarkan mahzab mereka, dia kafir menurut ijma’. (Lihat Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fil Masaail Al-Ashriyyah min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram oleh: Dr. Khalid bin Abdur Rahman Al-Juraisi hal 60 cet. th 1428H / 2007M).


Wahai para ulama yang saya sayangi أُحِبُّكُمْ فِي اللهِ
Sebelum saya tutup risalah ini mari kita renungkan hadits berikut:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - (سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَرَجُلٌ قَامَ إِلىَ إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ) (رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَ هُوَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ).
Rasulullah n bersabda, “Pemimpin para syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seorang yang berdiri di hadapan penguasa yang jaair (jahat) untuk beramar ma’ruf nahi mungkar, kemudian para penguasa itu membunuhnya (HR. Al-Hakim. Ini hadits hasan). [Bisa di baca dalam buku ‘Kado Istimewa untuk Sang Mujahid terjemahan buku Ittihaafu Al-‘Ibaad fie Fadhaaili Al-Jihaad tulisan Asy-Syaikh Abdullah Azzam hal. 33 Bab Penghulu (Pemimpin) Para Syuhada’ Cet. Pustaka Al-Alaq - Solo).
Akhirnya saya berdo’a semoga Allah Jalla Jalaaluhu Al-‘Aliim Al-Khabiir memberikan taufik-Nya kepada penulisan risalah ini dan meridhainya. آمِيْنَ.
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ (هود: 88). وَجَزَاكُمُ اللهُ عَنِ اْلإِسْلاَمِ وَ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرَ الْجَزَاءِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
أَخُوْكُمُ الْعَبْدُ الْفَقِيْرُ إِلَى رَحْمَةِ اللهِ وَعَفْوِهِ وَغُفْرَانِهِ
(Abu Zaid Ali Ghufran bin Nurhasyim Al-Tenjuluni @ Mukhlas)
LP Nusakambangan 19/04/1429H / 26/04/2008M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar