Minggu, 27 Desember 2009

FATWA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH TENTANG KEHARUSAN MEMBUNUH PENDETA

Beliau ditanya tentang para rahib (pendeta) yang terlibat urusan duniawi dengan manusia. Mereka berniaga, bercocok tanam…serta perkara-perkara lainnya yang dilakukan oleh manusia yanga ada pada mereka saat ini. …


Jawaban:

Alhamdulillah, para rahib (pendeta) yang dipertentangankan oleh para ulama’ perihal membunuh mereka dan mengambil jizyah dari mereka adalah mereka yang tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari Kholifah Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash Shiddiq Rodhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Yazid bin Abi Sofyan tatkala mengutusnya sebagai Amir dalam penaklukan Syam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepadanya: “Dan engkau akan dapati beberapa kaum yang telah mengucilkan diri mereka di biara-biara, maka biarkanlah mereka…dan akan engkau dapati pula beberapa kaum yang membelah dari tengah kepala mereka, maka pancunglah mereka dengan pedang”. Hal itu sebab Allah Ta’ala berfirman: “Maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya agar mereka berhenti” (QS At Taubah: )

Akan tetapi DILARANGnya membunuh mereka, sebab mereka adalah kaum yang telah MEMUTUSKAN DIRI DARI MANUSIA, MEMENJARAKAN DIRI MEREKA DI BIARA-BIARA. Seorang mereka disebut Habiis (orang yang memenjara diri). Mereka sama sekali tidak menyokong pemeluk agamanya dalam perkara yang menimbulkan madhorot atas kaum muslimin dan tidak pula membaur dengan dunia mereka. Akan tetapi salah seorang mereka mencukupkan diri dengan bekalan hidup ala kadarnya. Maka para ulama’ berselisih perihal membunuh mereka sebagaimana perselisihan mereka perihal membunuh orang yang tidak dapat membahayakan kaum muslimin baik dengan tangan maupun lisannya, seperti orang buta, sakit menahun, lanjut usia dan semisalnya seperti wanita dan anak-anak.

Jumhur menyatakan: TIDAK BOLEH dibunuh kecuali yang termasuk menyokong mereka dalam perang secara umum. Kalau tidak (termasuk yang menyokong, pent-) berarti seperti wanita dan anak-anak. Diantara ulama ada yang menyatakan: bahkan sekedar kekufuran sudah membolehkan untuk dibunuh. Adapun dikecualikannya wanita dan anak-anak hanyalah lantaran mereka sebagai harta. Berdasar ini terbangun perkara pengambilan jizyah.

Adapun rahib yang menyokong pemeluk agamanya dengan tangan dan lisannya seperti ia punya ide yang mereka jadikan rujukan dalam perang, atau semacam provokator maka orang ini diBUNUH menurut kesepakatan ULAMA jika dapat dikuasai, dan diambil Jizyah darinya sekalipun dia mengucilkan diri di tempat ibadahnya. Lantas bagaimana halnya dengan mereka (PARA PENDETA) yang telah SAMA DENGAN ORANG ORANG NASHARA UMUMNYA DALAM CARA HIDUP, MEMBAUR DENGAN MANUSIA, MENGUMPULKAN KEKAYAAN DENGAN PERNIAGAAN, COCOK TANAM, PRODUKSI, MENGAMBIL BIARAWATI UNTUK BERHUBUNGAN DENGAN ORANG LAIN. Para rahib/pendeta itu punya perbedaan dengan selain mereka lantaran kekufuran mereka yang lebih keras yang menjadikan mereka sebagai AIMMATUL KUFRI (pemimpin-pemimpin kekufuran) seperti melakukan ritual ibadah dengan barang-barang najis, meninggalkan nikah, daging dan pakaian yang itu merupakan syiar kafir. Apalagi merekalah yang menegakkan agama Nasrani dengan tipu daya-tipu daya bathil mereka yang dibuat kitab-kitab karangan dengan ritual-ritual peribadatan rusak, menerima nadzar dan wakaf mereka.

Rahib menurut mereka syaratnya hanyalah meninggalkan NIKAH. Meskipun demikian ini orang orang Nashrani membolehkan mereka (rahib) untuk menjadi Pastor, pendeta, dan bentuk pemimpin pemimpin kekufuran lainnya yang dapat menyodorkan perintah dan larangan. Mereka juga berhak mencari kekayaan sebagaimana orang Nashrani lain seperti itu. Maka pendeta pendeta itu TIDAK DIPERSELISIHKAN oleh para Ulama bahwa merekalah kalangan Nashrani yang LEBIH DAHULU BERHAK UNTUK DIBUNUH ketika berlaku hukum Harby. Dan diambil Jizyah ketika ia menyerahkan diri (kepada Daulah Islamiyah). Mereka termasuk dari jenis DEDENGKOT dedengkot kafir yang dinyatakan oleh Abu Bakar As-Shidiq Radhiyallahu ‘anhu dengan menyertir Firman Allah ta’ala: “Maka perangilah dedengkot dedengkot kafir”. Hal itu lebih dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firmanNya: “Sesungguhnya kebanyakan dari orang alim dan rahib rahib memakan harta manusia dengan cara bathil dan MENGHALANGI DARI JALAN ALLAH”. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka mengambil orang orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan tuhan selain Allah dan juga Masih bin Maryam. Mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah satu Ilah. Tidak ada Ilah berhak disembah selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan”.

Maka adakah seorang Ulama yang berkata: “Sesungguhnya Dedengkot dedengkot kafir yang menghalangi kalangan awamnya dari Jalan Allah, memakan harta manusia dengan cara Bathil dan rela dijadikan tuhan selain Allah bahwa mereka tidak boleh dibunuh dan tidak boleh diambil Jizyah dari mereka. Padahal Jizyah tersebut diambil dari kalangan awam yang relatif lebih sedikit bahayanya terhadap Diin dibanding mereka dan relatif lebih sedikit hartanya”. PERKATAAN INI TIDAK MUNGKIN DILONTARKAN OLEH ORANG YANG MASIH SADAR APA YANG DIKATAKANNYA.

Hanyasanya memang terjadi Syubhat disebabkan keumuman dan maksud ganda pada lafal “rahib”. Dan telah kami jelaskan bahwa atsar yang tersebut statusnya MUQAYYAD (terikat dengan syarat) lagi terkhususkan. Yang itu menjelaskan hukum marfu’ padanya. Para Ulama bersepakat bahwa alasan larangan (membunuh rahib) adalah sebagaimana yang kami jelaskan.


Diterjemahkan dari: MAJMU’ FATAWA JUZ XXVIII/659-662

Tidak ada komentar:

Posting Komentar