Selasa, 29 Desember 2009

Tidak Berhukum Dengan Al Qur’an dan Sunnah Merupakan Kafir Akbar



Telah menjadi ijma' ulama bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah atau agama Islam. Ibnu Katsir berkata setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tartar:

''Barang siapa meninggalkan syari’at yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah mansukh atau dihapus oleh Islam, maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma' kaum muslimin.''

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ''Sudah menjadi pengetahuan bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang memperbolehkan mengikuti selain dinul Islam atau mengikuti syari’at (perundang -undangan) selain syari’at nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam maka ia telah kafir seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al Kitab dan mengkafiri sebagian lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, ''Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan para Rasul-Nya dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada Allah dan para rasul-Nya ..." {QS. An Nisa' :150}.

Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa," Manusia kapan saja menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati kehalalannya atau merubah syari’at Allah yang telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepakatan ulama."

Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati? Berapa banyak mereka mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati? Orang yang melihat kondisi mereka akan mengerti betul akan hal ini. Insya Allah.

Syaikh Syanqithi dalam Adhwaul Bayan dalam menafsirkan firman Allah, "Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik." Ini adalah sumpah Allah Ta'ala, Ia bersumpah bahwa setiap orang yang mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya telah musyrik dengan kesyirikan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma' kaum muslimin."

Abdul Qadir Audah mengatakan, "Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mujtahidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta dan bahwasanya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati seperti zina, minuman keras, membolehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan Allah berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari penguasa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin."

Demikianlah…nash-nash Al Qur'an yang tegas disertai ijma' yang telah disebutkan menjelaskan dengan penjelasan yang paling gamblang bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada selain syari’at Allah adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas bahwa berhukum dengan selain hukum Allah adalah kafir duna kafir (kafir asghar) tidak berlaku atas masalah ini.

Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha' (menetapkan vonis atas sebuah kasus), jadi kafir asghar terjadi pada menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuhkan dengan tetap mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum Allah atas syari’at Allah dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka selain syari’at Islam.


Fatwa para ulama kontemporer

1.Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau Tahkimul Qawanin, "Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan bahasa arab yang jelas dalam memutuskan perkara di antara manusia dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang firman Allah:

"…Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir…" [Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5].

Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama, "Pengadilan-pengadilan tandingan ini, sekarang ini banyak sekali terdapat di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa saja. Masyarakat bergantian saling berhukum kepadanya. Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al-Qur'an dan As-Sunah, dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al-Qur'an dan As-Sunah yang lebih berat dari penentangan mereka seperti ini dan pembatal syahadat "Muhammad adalah utusan Allah" mana lagi yang lebih besar dari hal ini?"

2.Syaikh Ahmad Syakir mengomentari perkataan Ibnu Katsir tentang Ilyasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar sebagaimana telah dinukil di depan, "Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang kuat dari Al Hafidz Ibnu Katsir pada abad kedelapan hijriyah terhadap undang-undang postif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan? Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad empat belas hijriyah? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi ; hukum lyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat Islam dan segera hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariah Islam ini, sebuah hukum yang paling menyerupai Ilyasiq yang ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya…. Sesungguhnya urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong, yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang mengaku dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau mengakuinya. Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas dirinya sendiri."

Beliau juga mengatakan: “UUD yang ditetapkan musuh-musuh Islam dan mereka wajibkan atas kaum muslimin.. pada hakekatnya tak lain adalah agama baru, mereka membuatnya sebagai ganti dari agama kaum muslimin yang bersih dan mulia, karena mereka telah mewajibkan kaum muslimin mentaati UUD tersebut, mereka menanamkan dalam hati kaum muslimin rasa cinta kepada UU tersebut, mensakralkannya dan fanatisme dengannya sampai akhirnya terbiasa dikatakan melalui lisan dan tulisan kalimat-kalimat " Pensakralan UUD", Kewibawaan lembaga peradilan " dan kalimat-kalimat semisal. Lalu mereka menyebut UD dan aturan-aturan ini dengan kata "fiqih dan faqih" "tasyri' dan musyari' " dan kalimat-kalimat semisal yang dipakai ulama Islam untuk syariah Islam dan para ulama syariah."

3.Syaikh Muhammad Amien Asy Syinqithi dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah, Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan." QS. Al Kahfi :26] dan setelah menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa menetapkan undang-undang bagi selain Allah adalah kekafiran, beliau berkata, "Dengan nash-nash samawi yang kami sebutkan ini sangat jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum positif yang ditetapkan oleh setan melalui lisan wali-wali-Nya, menyelisihi apa yang Allah syari’atkan melalui lisan Rasul-Nya. Tak ada seorangpun yang meragukan kekafiran dan kesyirikannya, kecuali orang-orang yang telah Allah hapuskan bashirahnya dan Allah padamkan cahaya wahyu atas diri mereka."

"Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tak ada perbedaan antara keduanya. Orang ang mengikuti UU selain UU Allah dan tasyri' selain tasyri' Allah adalah seperti orang yang menyembah berhala dan sujud kepada berhala, antara keduanya sama sekali tidak ada perbedaan dari satu sisi sekalipun,. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Allah."

4.Syaikh Shalih bin Ibrahim Al Bulaihi dalam hasyiyah beliau atas Zadul Mustaqni', yang terkenal dengan nama Al Salsabil fi Ma'rifati Dalil, mengatakan, "…Berhukum dengan hukum-hukum positif yang menyelisihi syari’at Islam adalah sebuah penyelewengan, kekafiran, kerusakan dan kedzaliman bagi para hamba. Tak akan ada keamanan dan hak-hak yang terlindungi, kecuali dengan dipraktekkannya syariah Islam secara keseluruhannya ; aqidahnya, ibadahnya, hukum-hukumnya, akhlaknya dan aturan-aturannya.

Berhukum dengan selain hukum Allah berarti berhukum dengan hukum buatan manusia untuk manusia sepertinya, berarti berhukum dengan hukum-hukum thaghut…tak ada bedanya antara ahwal sakhsiah (masalah nikah,cerai, ruju'--pent) dengan hukum-hukum bagi individu dan bersama… barang siapa membeda-bedakan hukum antara ketiga hal ini, berarti ia seorang atheis, zindiq dan kafir kepada Allah Yang Maha Agung."

5.Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam risalah beliau "Naqdu Al Qaumiyah Al 'Arabiyah" (Kritik atas nasionalisme Arab) mengatakan, "Alasan keempat yang menegaskan batilnya seruan nasionalisme arab: seruan kepada nasionalisme arab dan bergabung di sekitar bendera nasionalisme arab pasti akan mengakibatkan masyarakat menolak hukum Al Qur'an. Sebabnya karena orang-orang nasionalis non muslim tidak akan pernah ridha bila Al Qur'an dijadikan undang-undang. Hal ini memaksa para pemimpin nasionalisme untuk menetapkan hukum-hukum positif yang menyelisihi hukum Al Qur'an . Hukum positif tersebut menyamakan kedudukan seluruh anggota masyarakat nasionalis di hadapan hukum. Hal ini telah sering ditegaskan oleh mereka. Ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata dan jelas-jelas murtad."

6.Syaikh Abdullah bin Humaid mengatakan, "Siapa menetapkan undang-undang umum yang diwajibkan atas rakyat, yang bertentangan dengan hukum Allah ; berarti telah keluar dari millah dan kafir."

7.Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi dalam komentar beliau atas Fathul Majid mengatakan, "Kesimpulan yang diambil dari perkataan ulama salaf bahwa thaghut adalah setiap hal yang memalingkan hamba dan menghalanginya dari beribadah kepada Allah, memurnikan dien dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya…

Tidak diragukan lagi, termasuk dalam kategori thaghut adalah berhukum dengan hukum-hukum asing di luar syari’at Islam, dan hukum-hukum positif lainnya yang dtetapkan oleh manusia untuk mengatur masalah darah, kemaluan dan harta, untuk menihilkan syari’at Allah berupa penegakan hudud, pengharaman riba, zina, minuman keras dan lain sebagainya. Hukum-hukum positif ini menghalalkannya dan mempergunakan kekuatannya untuk mempraktekkannya. Hukum dan undang-undang positif ini sendiri adalah thaghut, sebagaimana orang-orang yang menetapkan dan melariskannya juga merupakan thaghut…"

Beliau juga menyatakan dalam Fathul Majid saat mengomentari perkataan Ibnu katsir tentang Ilyasiq, "Yang seperti ini dan bahkan lebih buruk lagi adalah orang yang menjadikan hukum Perancis sebagai hukum yang mengatur darah, kemaluan dan harta manusia, mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasulullah. Tak diragukan lagi, orang ini telah kafir dan murtad jika terus berbuat seperti itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan Allah. Nama apapun yang ia sandang dan amalan lahir apapun yang ia kerjakan baik itu sholat, shiyam dan sebagainya, sama sekali tak bermanfaat baginya…".

8.Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, "Barang siapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah karena menganggap hukum Allah itu sepele, atau meremehkannya, atau meyakini bahwa selain hukum Allah lebih baik dan bermanfaat bagi manusia, maka ia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari milah. Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang menetapkan untuk rakyatnya perundang-undangan yang menyelisihi syari’at Islam, supaya menjadi sistem perundang-undangan negara. Mereka tidak menetapkan perundang-undangan yang menyelisihi syari’at Islam kecuali karena mereka meyakini bahwa perundang-undangan tersebut lebih baik dan bermanfaat bagi rakyat. Sudah menjadi aksioma akal dan pembawaan fitrah, manusia tak akan berpaling dari sebuah sistem kepada sistem lain kecuali karena ia meyakini kelebihan sistem yang ia anut dan kelemahan sistem yang ia tinggalkan."

9.Syaikh Abu Shuhaib Abdul Aziz bin Shuhaib Al Maliki sendiri telah mengumpulkan fatwa lebih dari 200 ulama salaf dan kontemporer yang menyatakan murtadnya pemerintahan yang menetapkan undang-undang positif sebagai pengganti dari syariah Islam, dalam buku beliau Aqwaalu Aimmah wa Du’at fi Bayaani Riddati Man Baddala Syariah Ninal Hukkam Ath Thughat.

Sumber : Indonesiaku Sayang, Indonesiaku Malang, Buku 1, Usyaqul Huur

Fatwa Syaikh Hamud Bin Uqola tentang Kekafiran Penguasa dan Pembuat Undang-Undang Positif


Fadhilah Syaikh Hamud bin Abdullah Uqala Asy-Syua'ibi Hafizhahullah
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu.

Pada masa sekarang ini, di dunia Islam, baik itu di Arab maupun selainnya telah banyak orang yang bersandar kepada hukum positif, sebagai pengganti dari hukum atau syari'at Allah, bagaimanakah hukum bagi para penguasa seperti itu? Kami memohon jawaban jawaban yang memuaskan dengan dalil-dalil syar'iyah dari Al-Qur'an dan As-sunnah dan pendapat-pendapat para ulama.

Jawab: 


Segala puji bagi Allah,shalawat dan salam atas seutama-utama para Nabi dan Rasul, nabi kita Muhammad s.a.w, dan para sahabatnya, semuanya…amien.

Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wa-Ta'ala, ketika mengutus nabi-Nya Muhammad s.a.w, dengan membawa dien yang lurus ini, yang mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, padahal manusia di waktu itu berada dalam kegelapan berupa kejahilan dan kesesatan,mereka tenggelam dalam lautan Khurafat dan taqlid membabi buta, yang semua itu merupakan warisan dari nenek-moyang terdahulu, dalam seluruh urusan mereka, dalam masalah aqidah dan ibadah, dan keputusan dan mahkamah, maka semua itu didasarkan atas kesyirikan terhadap Allah Subhaanahu Wa-Ta'ala. Mereka menjadikan pohon-pohon dan bebatuan, malaikat, jin dan manusia, serta yang lainnya sebagai tandingan selain Allah. Manusia di kala itu mendekatkan diri kepada apa yang telah disebutkan tadi dengan perbuatan yang perbuatan tersebut tidak patut dilakukan kepada selain Allah, misalnya penyembelihan, nadzar dan lainnya.

Adapun mengenai hukum-hukum dan ketetapan, maka tidak kurang kesesatan dan kerusakan mereka dari kesesatan dalam beribadah. Mereka mempercayakan urusan mereka kepada Thaghut-thagut, dukun-dukun dan tukang ramal. Mereka menjadikan semua itu sebagai tempat berwali sesama manusia, dalam seluruh masalah yang timbul di antara mereka, baik dalam masalah harta benda,darah,masalah seksual dan selainnya.
Mereka mengisi setiap aspek kehidupannya dengan hukum-hukum para thaghut itu. Jika suatu hukum telah ditetapkan,maka hukum itu tidak terbantahkan, berlaku mutlak, tidak berlaku kritik, tidak peduli apakah yang menetapkan itu jahat lagi Zhalim. Ketika Allah mengutus Muhammad s.a.w dengan membawa syari'at yang suci ini, maka syari'at tersebut menghapuskan adat kaum musyrikin,taqlid dan segala bentuk penetapan hukum. Jadilah ibadah hanya ditujukan kepada Allah s.w.t semata-mata, hukum-hukum dan ketetapan dibatasi hanya kepada Syari'at Allah:
Firman Allah:
"Sesungguhnya hukum itu milik Allah, Dia memerintakan agar kamu tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya (Ayat). Firman-Nya :"sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah" menunjukkan pembatasan hukum hanya kepada syariat Allah, dan firman-Nya :"Dan Janganlah kamu beribadah kecuali hanya kepada-Nya" menunjukkan bahwa Allah s.w.t membatasi Ibadah yang dilakukan oleh manusia hanya kepada Allah s.w.t saja, dengan sebaik-baik cara pembatasan, ini merupakan an-nafyu (peniadaan) dan Al-itsna (pengecualian), maksudnya: Dilarang beribadah, kecuali hanya kepada Allah.

Sesungguhnya mereka yang mempelajari Kitabullah, akan mendapati banyak ayat yang menunjukkan wajibnya berhukum kepada apa yang Allah turunkan, yang merupakan syari'at yang suci, kepada Nabi Muhammad s.a.w:
1.Firman Allah, artinya : "Dan barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir"

Ayat suci ini merupakan nash tentang kafirnya barangsiapa berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya kepada selainnya.

Orang-orang bodoh dari kalangan murjiah modern memalingkan pengertian ayat tentang kafirnya penguasa (hakim) yang menghukumi dengan hukum selain apa yang diturunkan oleh Allah ini, mereka mengatakan: Ayat ini diturunkan kepada Yahudi, hukum dalam ayat itu tidak mencakup diri kita.

Ini menunjukkan kejahilan mereka dengan kaedah usul, yang diletakkan oleh para ulama tafsir, ulama hadits dan ulama ushul fiqih, yaitu, bahwa 'Al-Ibrah Bi-'Umuumil Lafzhi, Laa Bikhushuusis Sabab" ( Pengambilan pelajaran/ibrah itu berdasarkan keumuman lafal, bukan berdasarkan sebab khusus turunnya ayat), jika suatu hukum telah turun dengan sebab tertentu, maka ayat itu tidak hanya terbatas terhadap sebab turunnya, bahkan ayat tersebut meliputi dan mencakup terhadap siapa saja yang termasuk dalam kata 'Barangsiapa'. Maka kata 'Barangsiapa' dalam ayat tersebut dalam sighah (bentuk) umum, sehingga hukumnya tidak terbatas pada sebab turunnya ayat berkenaan, kecuali jika ada keterangan lain dari syari'at yang menerangkan kekhususan ayat tersebut. Misalnya dalam sabda Rasulullah s.a.w, ketika salah seorang sahabat radhiyallaahu 'anhu bertanya: Wahai rasulullah, sesungguhnya aku lebih suka berqurban dengan anak kambing betina daripada anak kambing jantan, bolehkah begitu wahai Rasulullah? Lalu beliau s.a.w menjawab: dibolehkan hanya untukmu, akan tetapi tidak boleh untuk seseorangpun setelah kamu"

Dan mereka (yaitu Murji-ah) berkata pula: "Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.anhuma, bahwasanya ia ditanya tentang tafsir ayat : "Dan barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang yang kafir", lalu ibnu Abbas berkata: Kufrun Duuna Kufrin, dan dalam riwayat lain: bukan kafir sebagaimana mereka maksudkan.

Jawaban untuk masalah ini ialah kami katakan bahwa: Hisyam bin Hujair, meriwayatkan atsar ini dari Thaawus dari Ibnu Abbas. Pembicaraan tentang ini terjadi sebelum adanya imam-imam hadits seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma'in selain mereka berdua. Terdapat riwayat lain yang bertentangan dengan hadits dari Thawus ini, dimana riwayat tersebut lebih kuat, yang datang dari Abdullah bin Thawus. Ia (Abdullah bin Thawus) meriwayatkan dari ayahnya (dari Thawus) bahwa Ibnu Abbas, ketika ditanya tentang tafsir ini Ia menjawab: yang dimaksud adalah kafir!.

2- Firman Allah: "Maka demi Rabb (Tuhan) mu, tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus hukum terhadap masalah yang ada di antara mereka, kemudian tidak terdapat dalam hati mereka keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka berserah diri sepenuh-penuh penyerahan" ( An-nisa:65)

Ayat ini menjelaskan tentang tidak adanya Iman terhadap siapa yang tidak menghukumi dengan syariat Allah, karena Allah bersumpah di dalamnya, bahwa seseorang tidak ada imannya sampai di dalam dirinya terdapat Tiga sifat sebagai berikut:
1. Berhukum kepada syari'at Allah.
2. Tidak terdapat rasa berat dalam dirinya dalam hal tersebut, bahkan ia ridha dengan hukum Allah.
3. Ia berserah diri sepenuhnya kepada hukum Allah dan ridha dengannya.

Kaum Murjiah itu, disamping memalingkan pengertian ayat tentang kafirnya penguasa yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, mereka juga memalingkan ayat yang menunjukkan tidak adanya Iman bagi mereka yang tidak berhukum dengan selain hukum Allah. Mereka katakan: yang dimaksud penafian (peniadaan) iman dalam ayat tersebut adalah tidak adanya kesempurnaan Iman, bukan peniadaan dalam arti yang sebenarnya. Orang-orang bodoh itu tidak mengerti bahwa asal kalimat dalam bahasa Arab itu adalah arti yang sebenarnya, tidak dapat dipalingkan kepada pengertian Majaaz (kiasan), kecuali jika ada dalil lain yang wajib memalingkan dari pengertian asal yang jelas kepada pengertian yang lain. Maka dalam konteks ayat diatas, dalil apa, dan qariinah (dalil pembanding) apa yang mengharuskan memalingkan arti asal ini yang menyebutkan tiadanya Iman kepada 'tiadanya kesempurnaan Iman' ?

3.Firman Allah : "Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang menyangka bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhukum kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut. Syaitan hendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh. Dan jika dikatakan kepada mereka marilah berhukum kepada apa yang Allah turunkan dan kepada Rasulullah, maka kalian lihat orang-orang munafiq itu menghalangi manusia dengan sekuat-kuatnya dari mendekati kamu " (An-Nisa (4):60-61)

Ayat yang mulia ini menerangkan bahwa barangsiapa berhakim kepada Thaaghuut, atau menghukumi dengan hukum thaghut, maka telah hilang iman dari dirinya, dengan dalil firman Allah "Mereka menyangka beriman", artinya jika mereka masih terhitung sebagai orang-orang beriman, tentulah tidak disebutkan "mereka menyangka mereka beriman", ketika Allah menggambarkan mereka dengan kalimat "Mereka menyangka mereka beriman", berarti menunjukkan bahwa keimanan mereka terhadap Allah telah hilang dalam arti yang sebenarnya. Sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala "Padahal mereka telah diperintahkan untuk mengkafiri (mengingkari)nya. Dan syaitan hendak menyesatkan mereka dengan penyesatan yang jauh",ini pun merupakan dalil bahwa iman telah hilang dari diri mereka. Akan semakin jelas kafirnya orang yang berhukum kepada Thaghut, atau menghukumi dengan hukum thagut dengan memahami sebab turunnya ayat tersebut; para mufasirin menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah, bahwa suatu ketika terjadi sengketa antara Yahudi dan non Yahudi. Yahudi itu berkata: "Kita angkat masalah ini kepada Rasulullah" tapi yang bukan Yahudi itu malah berkata: "Kita adukan saja masalah ini kepada Ka'ab Al-Asyraf Al-Yahuudi", maka turunlah ayat ini.

Asy-Sya'abi berkata, terdapat sengketa antara seorang dari kalangan munafiqin dan seorang Yahudi, si Yahudi ini berkata; Kita angkat masalah ini kepada Nabi Muhammad, karena dia tahu bahwa Nabi Muhammad s.a.w tidak mungkin menerima risywah (suap),tapi si munafiqin malah berkata: "Kita berhukum saja kepada Yahudi, karena dia tahu bahwa Yahudi mau menerima suap, lalu mereka berdua sepakat untuk mendatangi seorang dukun di Juhainah, dan mereka berdua berhukum kepadanya, lalu turunlah ayat.."Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menyangka…". Atsar ini datang dari Asy-Sya'bi, jikalaupun di dalamnya terdapat kelemahan, akan tetapi syahid (saksi) yang berbeda-beda yang memperkuat kedudukannya. Diantara kesaksian hadits yang menyebabkan turunnya ayat ini ialah bahwa Umar bin Khaththab r.a membunuh lelaki yang tidak ridha dengan keputusan Nabi Muhammad s.a.w. Jikalah orang itu tidak murtad, tentu saja Umar bin Khaththab r.a tidak membunuhnya.

Sebagaimana diriwayatkan dari Urwah bin Zubair, bahwa dia berkata: Dua orang lelaki bersengketa dan mengangkat masalah mereka kepada Rasulullah s.a.w.Lalu beliau memenangkan perkara salah satu diantara mereka. Lelaki yang kalah dalam perkara itu berkata : "Kami adukan masalah ini kepada Umar r.a, lalu Rasulullah s.a.w bersabda: "Ya. Berangkatlah kalian kepada Umar" keduanya lalu berangkat dan mendatangi Umar. Lelaki yang menang dalam perkara itu berkata: "Wahai Ibnul Khaththab; Sesungguhnya Rasulullah s.a.w memenangkan perkaraku, tapi dia ini (lawan perkaranya) berkata: 'kita adukan saja masalah in kepada anda" Lalu rasulullah mengembalikan perkara ini kepada anda, Umar lalu bertanya kepada lelaki yang kalah berperkara : "Apa betul demikian?", "Ya', jawab lelaki itu. Umar berkata: "Tetaplah kalian di tempat masing-masing, sampai aku kembali dan menetapkan urusan kalian berdua" Ia lalu keluar dengan membawa pedang terhunus, dan memenggal orang yang berkata :"Kita adukan saja kepada Umar"

Jalan cerita yang berbeda dalam kisah diatas tidak mempengaruhi kepastian hal tersebut, karena berbilangnya riwayat mengenai itu. Sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala : Dan apabila dikatakan kepada mereka ;"Marilah kepada apa yang Allah turunkan dan kepada Rasul, kalian akan lihat orang-orang Munafiq itu menghalangi manusia dengan sekuat-kuat halangan dari padamu" menunjukkan bahwa orang-orang yang menghalangi dari hukum Allah dan Rasul-Nya dan berpaling daripadanya lalu berhukum dengan hukum selainnya, maka dia adalah Munafiq, dan munafiq -dalam konteks ini- adalah kafir.

Sebagaimana orang yang berhukum kepada undang-undang positif adalah kafir, seperti telah disebutkan terdahulu, maka mereka yang membuat undang-undang dan menetapkan dengannya adalah termasuk kafir juga. Karena dengan pembuatan syari'at dan penetapan undang-undang untuk manusia, berarti dia telah menjadi sekutu bagi Allah S.W.T dalam masalah pensyariatan. Firman Allah: Apakah mereka memiliki tandingan-tandingan yang membuat undang-undang buat mereka dalam masalah dien (agama) dengan apa yang tidak mendapat izin dari Allah?". Firman Allah yang lainnya: "Dan tidaklah ia patut memiliki satupun sekutu dalam masalah hukum". Firman Allah yang lainnya: "Mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Arbab (tuhan-tuhan) selain Allah" Ketika Adi bin Hatim mendengar ayat ini, ia berkata : 'Ya Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah mereka" Rasulullah s.a.w lalu menjawab: "Bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan lalu kamupun ikut mengharamkannya, dan bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan lalu kamupun ikut menghalalkannya?" "Betul", jawa Adi bin Hatim, lalu Rasulullah s.a.w bersabda: "Itulah bentuk penyembahan/peribadatan mereka"

Teranglah dari ayat suci dan hadits tentang Adi bin Hatim, bahwa At-Tahlil (penghalalan) dan At-Tahrim (pengharaman) dan tasyri' (pensyariatan) adalah merupakan kekhususan bagi Allah s.w.t, maka barangsiapa menghalalkan atau mengharamkan atau mensyariatkan apa-apa yang menyalahi syari'at Allah, berarti dia telah menjadi sekutu bagi Allah dalam kekhususannya .

Dari ayat-ayat terdahulu dan komentar kami tentangnya, jelaslah bahwa barangsiapa yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan dan berpaling dari syari'at Allah dan hukum-Nya, maka dia kafir terhadap Allah yang Maha Agung, dia telah keluar dari Islam. Demikian juga orang-orang yang semisal itu, yang membuat UU positif bagi manusia, karena sesungguhnya jika dia tidak ridha terhadapnya tentulah dia tidak akan berhukum dengannya. Banyak dari kalangan penguasa yang memiliki 'kepentingan' tertentu yang 'menomorsekiankan' hukum Allah dan berusaha merubah hukum,atau malah membuangnya.

Jika kita katakan bahwa mereka ,para penguasa itu ,tidak membuat hukum dan tidak membuat syari'at untuk bangsa mereka, lalu siapakah yang menetapkan kewajiban kepada rakyat supaya komitmen dengan hukum tersebut dan sekaligus mengenakan sanksi terhadap orang yang menyelisihinya?

Ini tidak jauh berbeda, persis sebagaimana keadaan Tartar, dimana Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim rahimahumaallaahu menukil ijma' bahwa mereka adalah kafir. Bangsa Tartar tidak membuat dan menetapkan syari'at Ilyasiq, tetapi yang membuatnya adalah salah seorang dari penguasa mereka, yaitu Jengis Khan, maka keadaan penguasa hari ini, sama dengan keadaan penguasa di masa Tartar.

Karena itu, semakin jelas bahwa pelaksana hukum selain apa yang Allah turunkan menjadi kafir dengan sebab:
1. Sebab pertama, dari sisi tasyri' (pensyariatan), jika dia membuat syari'at.
2. Kedua, dari segi hukum, jika dia berhukum.
Diatas telah disebutkan nash-nash yang menunjukkan kafirnya orang yang menghukumi dengan undang-undang positif (undang-undang buatan manusia). Sekarang akan saya sebutkan pendapat para ulama tentang kafirnya orang-orang yang menghukumi dengan uu positif:

Pertama: Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Fatawa 3/267
Ketika seseorang menghalalkan apa yang menurut Ijma adalah haram, dan sebaliknya mengharamkan apa yang menurut ijma adalah halal, atau mengganti syari'at yang telah ijma' akan kebenarannya, maka orang tersebut telah kafir berdasarkan kesepakatan para fuqaha (ahli fiqih)

Dia berkata pula dalam Al-Fatawa 35/372:
Ketika seorang alim meninggalkan apa yang telah diketahuinya dari kitabullah dan sunnah rasul-Nya dan mengikuti hukum penguasa yang menyalahi hukum Allah dan rasul-Nya, maka ketika itulah dia murtad dan kafir, ia layak dihukum di dunia dan akhirat.

Kedua : Ibnu Katsir berkata dalam Al-Bidayah wan-Nihayah 13/119:
Barangsiapa meninggalkan syariat yang telah mantap yang diturunkan kepada nabi Muhammad, penutup para nabi, alaihis Sholaatu was Salaam, dan berhukum kepada selainnya, yaitu syari'at yang telah terhapus (hukum kafir), maka dia kafir. Lalu bagaimana dengan orang yang berhukum kepada hukum Ilyasiq dan lebih mendahulukannya daripada hukum Islam? Barangsiapa melakukan hal tersebut, maka dia telah kafir berdasarkan Ijma' kaum Muslimin.

Ketiga : Berkata syaikh kami, Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi rahimahullah, setelah ia menyebut nash-nash yang menunjukkan kafirnya orang-orang yang menghukumi dengan hukum buatan manusia (hukum positif):

Dengan nash-nash samawiyah (yang diturunkan dari langit, Alqur'an) yang telah kita sebutkan, akan nampak sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti undang-undang buatan manusia yang telah disyariatkan oleh Syaitan di atas lidah-lidah wali-wali syaitan, yang semua itu menyelisihi apa yang telah disyariatkan oleh Allah Jalla Wa Alaa' di atas lisan Rasul-Nya ShallaLlaahu 'Alaihi Wasallam, maka tidak diragukan lagi tentang kekafiran dan kesyirikan mereka,(hal ini dapat diketahui oleh semua orang) kecuali bagi orang yang telah Allah tutup dan butakan penglihatannya dari melihat cahaya wahyu.

Keempat : Syaikh kammi, Muhammad bin Ibrahim Aalu Syaikh dalam komentarnya terhadap firman Allah: "Maka demi Rabbmu, tidak beriman…" (An-Nisa:65), ia berkata: Allah S.W.T telah menganggap tidak ada iman bagi siapa yang tidak berhukum kepada Nabi s.a.w dalam masalah yang timbul diantara mereka, ini suatu penafian muakkad (tegas) dengan mengulangi aadatun nafiy dengan sumpah. Demikian yang dikatakan olehnya rahimahullah, dalam ta'liqnya mengenai ayat ini.

Saya sendiri menghadiri halaqahnya, rahimahullah, selama bertahun-tahun. Saya mendengarnya berkali-kali, lebih dari sekali, ia sangat menekankan benar masalah ini, beliau menjelaskan tentang kafirnya siapa yang berhukum kepada selain syariat Allah, sebagaimana ia jelaskan dalam risalah Tahkiimul Qawaaniin .

Kelima : Syaikh kami, syaikh Abdul Azin bin Bazz Rahimahullah, dalam risalahnya : Naqadah Al-Qaumiyah Al-Arabiyah hal 39 menyebutkan tentang siapa yang menjadikan hukum yang menyelisihi Al-Qur'an ,maka ini adalah kerusakan yang besar, dan merupakan kekafiran yang nyata, murtad secara terang-terangan, sebagaimana firman Allah: ""Maka demi Rabb (Tuhan) mu, tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus hukum terhadap masalah yang ada di antara mereka, kemudian tidak terdapat dalam hati mereka keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka berserah diri sepenuh-penuh penyerahan" ( An-nisa:65) dan firman Allah: 'Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin..sampai kepada kata-kata: dan setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dan tidak menyerahkan urusan kepada hukum Allah, maka negara tersebut adalah negara Jahiliyah, Kafir, Zhalim fasiq sesuai dengan nash ayat muhkamat (tegas) ini, wajib bagi orang Islam untuk membencinya dan memusuhiny Karena Allah, dan haram bagi kaum Muslimin memberikan wala (lebih luas dari sekedar loyalitas) dan menyukainya, sampai negeri itu beriman kepada Allah Yang Maha Esa, dan berhukum dengan syariat-Nya. Selesai

Apa yang telah saya sebutkan dari nash-nash dan pendapat para ulama, cukup kiranya untuk menjelaskan bahwa melaksanakan hukum positif adalah kafir. Dan menetapkan uu positif sebagai hukum adalah kafir kepada Allah Yang Maha Agung. Sekiranya saya nukil lagi pendapat-pendapat para ulama ummat ini dan imam-imamnya dalam bab ini, niscaya akan panjang lagi pembicaraannya. Semoga jawaban ini mencukupi bagi penanya. Dan shalawat ata nabi kita Muhammad dan keluarganya, dan sahabatnya semua.
Didiktekan oleh A.Hamud Bin Uqala Asy-Syu'aibi.
10/2/1422 H

Senin, 28 Desember 2009

E-book

Abdul Mun'im Musthofa Halimah (Abu Bashir At-Tarthusi):
  • Tiada Khilafah Tanpa Tauhid & Jihad
  • Melawan Penguasa murtad


  • Abdul Qadir Bin Abdul Aziz:
  • Al-Umdah [I'daad & 'Adaalah]
  • Hukum berkaitan dengan negara
  • Hukum-ahlu-dzimah
  • Iman dan Kufur
  • Jihad melawan penguasa
  • Mendudukkan aqidah dan jihad
  • Kedudukan Tauhid & Jihad
  • Terorisme Adalah Ajaran Islam
  • Wajib untuk berhukum kepada syariat


  • Abu Muhammad 'Ashim al-Maqdisy:
  • Membongkar Syubhat-syubhat Murji'ah Gaya Baru
  • Mewaspadai Sikap Ekstrim dalam Mengkafirkan Bagian 1
  • Mewaspadai Sikap Ekstrim dalam Mengkafirkan Bagian 2
  • Mewaspadai Sikap Ekstrim dalam Mengkafirkan Bagian 3
  • Mewaspadai Sikap Ekstrim dalam Mengkafirkan Bagian Penutup
  • AGAMA DEMOKRASI
  • DAKWAH “SALAFY” DAKWAH MURJI'AH (MEMBONGKAR KEBOHONGAN ALI HASAN AL KADZDZAB)
  • Kepada Mereka Yang Buron dan Tertawan
  • Ketika Mashlahat Dakwat Dipertuhankan
  • Pengadilan Bagi Thoghut
  • Dialog Dengan Tentara Thoghut
  • Wawancara dengan Majalah Nidaaul Islam
  • Inilah Manhaj Kami
  • Seruan Memerangi Madkholiyah
  • KEMAMPUAN MUTLAK SNIPER

    BERIKUT BEBERAPA KEMAMPUAN POKOK YANG HARUS DIMILIKI SEORANG SNIPER.


    Kemampuan Taktik dan Kamuflase

    Sniper maupun tim sniper harus punya taktik .Dimedan terbuka harus pandai menyusup secara perlahan agar tidak ketahuan.Gerakan yang terlalu lambat akan menyebabkan waktu terbuang banyak.maka dari itu ia harus punya taktik jitu.Sniper harus bisa memastikan jarak tembak terhadap sasaran secara akurat,yaitu sekali tembak langsung mati.yang pasti ia harus pandai berkamuflase.

    Kemampuan Menembak

    Seorang sniper harus bisa memilih wilayah target.Biasanya sniper akan menembak sasaran kepala dalam jarak paling jauh 600 M,tapi tergantung jenis senjata juga.sedangkan untuk sasaran dada masih dapat diincar dalan jarak 600 hingga 1300 M.Pemilihan ini sangat penting supaya target langsung mati..Setelah menembak,biasanya sniper memastikan korban melakui scope.setelah penembakan adalah masa-masa rawan bagi sniper.karena bisa jadi musuh mengetahui arah datangnya temakan,kemudian mereka akan mengirim tembakan balasan yang bahkan lebih besar kearah sniper cs,seperti rpg,canon atau roket.


    Kemampuan Bertahan

    Dalam posisi bertahan (Defensif),biasanya sniper ditempatkan digaris depan seperti didalam parit,lubang galian,diatas pohon atau apa saja.Tugas mereka bukan untuk menghabisi semua pasukan musuh yang datang bergerombol.Tapi untuk memberikan laporan secara akurat jepada pasukan belakang.Mereka juga diberi tugas untuk membantai secara rapi tim pengintai milik musuh yang menyusup satu persatu.entah mereka mamakai kendaraan atau tidak.Bisa jadi malah sniper bertemu sniper.

    Kemampuan Berburu

    sniper atau tim sniper harus punya kemampuan stalk yang baik.setelah peta disusun ia adalah orang yang bertugas melakukan melakuakan stalk dan scan dimedan sehingga dapat dipastikan benar-benar aman.Dalam melaksanakan tugas ini sniper terkadang dituntut merangkap secara tiarap.Tetapi ia juga tidak harus menjelaskan dimana posisinya berada kepada pasukan.sniper harus bisa mengukur .dengan mengangkat kepala ketika merangkak,apakah akan diketahui musuh atau tidak.sala srdikit saja berondongan senapan mesin musuh menyambutnya.

    Kemampuan Seleksi Sasaran

    Sniper dan timnya harus punya seleksi taeget tembak.Yang utama merka cari adalah komandan musuh.apalagi dalam perang ala kafir,yang namanya komandan atau jendral atau pemimpin sangat berpengaruh terhadap prajurit.Sehingga apabila sniper mujahid berhasil menghabisi pemimpin kafir ,hal ini dapat membuat mental prajurit down.itulah sasalah satu ciri perang ala kafir,berbeda dengan islam.islam berperang todak terpengaruh oleh figur,tanah air,bangsa,tapi ia berperang untuk meninggikan kalimat ALLOH.

    Disinilah sniper harus punya pengetahuan yang sangat dalam agar bisa memebedakan mana komandan mana prajurit.Apabila berhasil memebunuh pemimpin efeknya sangat besar.berabeda dengan membunuh prajurit yang hal ini bisa tergantikan oleh pasukan lain.Target kedua yaitu operator radio.target ini penting karena ia bisa dengan cepat mengirim berita keatasannya atau kemarkas komando ditempat lain.setelah dua target diatas barulah menghabisi pasukan yang bersenjatakan senapan berat.seperti operator rudl anti tank dan lainnya.

    Perencanaan

    Tim sniper harus punya perencanaan sebelum melaksanakan operasi.Idealnya sniper bekerja dua orang.satu sebagai penembak(gunner),dan satu lagi sebagai observer (pengamat,pemantau).Keduanya bisa bertukar peran.biasanya sebelum action mereka briefing dulu.perencanaan sangat penting karena menyangakut banyak hal.sniper harus bisa mendekati wilayah musuh sekaligus melindungi pasukan yang lain.

    Kemamapuan Memilih Tempat

    Tim sniper harus memilki kemamapuan untuk bisa memilih tempat yang baik untuk digunakan menembak.Tempat tersebut harus mempunyai keleluasaan untuk menembak dan tanpa diketahui musuh.selain itu tempat tersebut bisa melindungi dirinya dari temabakan musuh.memilih lensa binokular adalah salah satu cara yang dipilih sniper dalam tugas ini.Tempat yang dipilih harus benar-benar menguntungkan.Karena tidak menutup kemungkinan dia akan berdiam lama disitu.mungkin berjam-jam,atau seharian penuh.Sniper juga harus mampu memilih tem[at cadangan dimana dalam kondisi terdesak dia harus segera pindah tempat.

    Tambahan:
    1.Target Utama Bagian Dada dan Perut:
    Bagian dada dan perut memiliki wilayah penting dimana faktor kehidupan sngat dipengaruhi olehnya.Yaitu jantung,paru-oaru dan ginjal.menembak jantung misalnya,bila tepat tinggal menuggu beberapa detik aja,paling cuman 10-15 detik musuh udah terkapar tak bernyawa.Sementara bagian kerongkongan juga punya titik mematikan bila ditembak peluru.

    2.Target Bagian Kepala:
    Kepala merupakan bagian tubuh yang melindungi salah satu bagian kepala,yakni Otak.Namun demikian menembak bagian kapala tanpa pengetahuan yang baik hanya akan memprlambat kematian atau bahkan sis-sia tidak kena sasaran.Maka apabila posisi terget Menghadap kearah sniper,tembak aja bagian antara hidung dan bibir,itu adalah tempat batang otak (Brain Stem).Jika sasaran posisinya membelakangi Sniper,maka bidik aja bagian kepala belakang,perbatasan antara kepala dengan leher naik sedikit.Kemudian jika sasaran dalam posisi menyamping,tembak aja bagian wilayah syaraf motoriknya,letaknya sedikit diatas daun telinga.

    3.Akurasi Tembakan:
    Tepat sasaran menembak pada bagian yang mematikan adalah kemampuan tembak sniper yang paling diutamakan.Untuk mencapai tingkatan ini sniper dilatih secara khusus melalui berbagai latihan penembakan menggunakan macam-macam bentuk sasaran.

    Istilah yang Digunakan dalam Per-Silah-an

    PENGENALAN BEBERAPA ISTILAH
    YANG BIASA DIGUNAKAN DALAM PENGGUNAAN PERSENJATAAN


    01 Action - Kata ini dipakai untuk menjelaskan menaknisme penembakan seperti single action, double action, daouble action only. Dalam arti lain, loading dan unloading

    02 Automatic - Kata untuk menjelaskan cara kerja senjata yang menggunakan tenaga yang diproduksi dari pembakaran amunisi dan terus berkelanjutan selama trigger di tekan dan amunisi masih tersedia di tempatnya (magasen)

    03 Barrel - Tabung senjata yang berfungsi menuntun proyektil agar melesat sesuai arah target, maka semakin panjang barrel maka semakin akurat lesatan proyektil. Biasanya senjata yang ber-barrel panjang adalah senapan sniper

    04 Balistic - Studi untuk mempelajari bagaimana proyektil meluncur

    05 Bore - bagian dalam dari laras

    06 Bullet - Merup[akan proyektil yang ditekan ke bagian atas dari tabung peluru.

    07 Caliber - Menunjukkan diameter dalam laras. Khusus arteleri dan senjata AL, diameter menunjukkan panjang laras yang sering beragam. Contoh: Kaliber 5 inci 38, akan menggunakan larang sepanjang 190 inci. Kadang juga berarti sinonim dari peluru.

    08 Carbine - Harfiahnya dipahami senapan laras pendek. Biasanya panjang laras 22 inci atau lebih pendek. Namun jangan disalah artikan dengan versi karabin M1 Garand yang desain dan amunisi yang digunakan jelas beda.

    09 Cartride - gampangnya disebut peluru. Baik di senapan, carbine, pistol dan revolver, peluru terbagi atas empat bagian : tabung peluru, primer, mesiu dan proyektil.

    10 Chamber - Bagian laras untuk menampung peluru. Chamber merupakan ruang perlintasan peluru saat di tembakkan .

    11 Double Action only - Cukup sekali kokang, senjata akan bias terus menerus ditembakkan. Antara tembakan, pelatuk akan tertahan, tidak \ terkunci.

    12 Hammer - Cara kerjanya persis seperti palu. Sesaat setelah petembak menaruk trigger, hammer akan mendorong firing pin untuk selanjutnya menekan primer. Dalam hitungan begitu cepat, terjadilah ledakan yang mendorong proyektil lepas dari selongsong.

    13 Handgun - Senjata yang didesain hanya untuk pengoperasian satu tangan seperti pistol dan revolver.

    14 Magazine - Alat untuk menumpuk peluru sebelum secara mekanik masuk kedalam chamber. Bentuknya bias fix atau bisa dilepas. Walau tidak tepat kadang disebut clip.

    15 Magnum - Dari bahasa latin yang berarti ?more?. Kata ini dipakai untuk menjelaskan peluru berkecepatan tinggi jika dibandingkan dengan yang sejenisnya yang memiliki diameter serupa. Seperti .357 Magnum lebih cepat dari .38 Special.

    16 Muzzle - Bagian depan tempat proyektil keluar

    17 Parabellum - Bahasa latin yang berarti for war. Namun sebenarnya adalah peluru 9X9 mm yang didesain George Luger dan diadaptasi oleh AD Jerman pada 1908.

    18 Primer - Merupakan bagian tengah peluru yang berbentuk lingkaran kecil. Bagian inilah yang ditekan firing pin hingga menimbulkan pembakaran. Kecepatan membakar sekitar 0.001-0.002 detik.

    19 Single Action - Mengokang secara manual setiap sebelum menembak. Dalam pengertian pistol semiotomatis, berarti senjata harus dikokang sebelum penembakan pertama. Selanjutnya sejata mengokang mandiri, seperti Colt M 1911A1 dan Browning HP

    20 Semiautomatic - Penjelasan untuk senjata yang menggunakan tenaga yang dihasilkan ketika senjata ditembakkan untuk menggerakkan mekanisme untuk penembakan selanjutnya, sejauh masih ada peluru. Senjata semiautomatis hanya akan bekerja jika trigger dipicu.

    21 Sniping - Istilah militer untuk menembak target spesifik pada jarak jauh sekitar 400 ? 1.000 m

    22 Trigger Weight - Perhitungan untuk mengukur sensitifitas trigger saat dikokang. Berat trigger senjata militer bias mencapai 3,5 kg



    * Sumber : Majalah Angkasa, Edisi Koleksi Angkasa, Judul ? PISTOLS, RIFLES & MACHINE GUNS?

    Belajar dari Jenderal Khaththab Rahimahullah

    1. Jenderal Khaththab rahimahullah yakin bahwa kemenangan di dalam pertempuran yang sengit melawan Rusia sesungguhnya terjadi karena karunia dan taufik Allah swt, dengan kekuatan iman dan yakin

    Faktor keteguhan dan kemenangan kita menghadapi tentara yang besar ini tidak lain adalah karunia Allah swt, itu yang pertama. Kemudian kedua, yaitu risalah yang benar, yang diemban oleh para mujahidin dalam rangka membela dan mempertahankan aqidah dan tanah mereka sampai terlepas dari belenggu Rusia yang sebentar lagi akan hancur.

    Khaththab rahimahullah berkata, "Adapun tentang senjata, kami hanya memiliki senjata iman dan tawakkal kepada Allah swt semata, itu yang pertama. Kemudian yang kedua adalah senjata Rusia yang kami rampas dalam pertempuran melawan kekuatan militer Rusia. Rasulullah saw bersabda:
    "Dan Dia (Allah swt) telah menjadikan rejekiku berada di bawah naungan tombakku."


    2. Perang Gerilya

    Jenderal Khaththab rahimahullah dan rekan2nya mengambil pelajaran, bahwa faktor terpenting untuk unggul dan dapat mengacaukan musuh yaitu ketiadaan basis tetap mujahidin di Chechnya. Oleh kerena itu, mereka selalu menjadi kelompok2 kecil yang selalu berpindah2. Mereka pindah dari satu tempat menuju tempat lain, dari satu kota ke kota lain, demikian juga dari desa menuju gunung sesuai dengan perkembangan situasi pertempuran.

    Pada awal pertempuran, mujahidin selalu menjaga distrik2 penting yang mereka kuasai dan menahan serangan musuh selama berminggu2. Sebab, menjaga wiayah itu memerlukan keteguhan hati. Namun, tatkala serangan musuh kian dahsyat dan membabi buta, ditambah lagi dengan bahaya yang mengancam kaum muslimin, muncullah perubahan dalam strategi perang mujahidin. Dimana mereka turun dari distrik2 yang mereka jaga, kemudian memulai strategi perang gerilya.

    Syarat terpenting dari strategi ini yaitu tidak berdiam di tempat tertentu dan mempertahankannya dengan kekuatan.

    Jenderal Khaththab berkata: "Saya ingin sekali menjelaskan persoalan yang banyak dilupakan oleh para ahli strategi perang saat ini. Yaitu bahwa jatuhnya kota2 di Chechnya atau bahkan ibukotanya bukan berarti kekalahan di pihak mujahidin dan tidak pula sebagai sebuah kemenangan bagi tentara Rusia. Menurut saya, jatuhnya kota2 itu ke tangan mereka akan menjadi beban berat bagi mereka. Selanjutnya mereka akan terfokus kepada strategi perang dari ovensif kepada devensif dan mempertahankan daerah yang sudah ditaklukkan.
    Bagi orang yang mengikuti perkembangan peristiwa perang pertama, dia akan tahu, jatuhnya daerah2 kekuasaan tidak berarti merupakan kekalahan bagi mujahidin dan bukan pula kemenangan untuk musuh mereka. Peristiwa perang pertama Chechnya, hampir seluruh wilayah jatuh ketangan tentara Rusia. Meskipun demikian, mereka tidak mampu bertahan dihadapan kekuatan mujahidin lebih dari 20 bulan. Apalagi dalam pertempuran kali ini (perang Chechnya 2), kondisi mujahidin lebih kuat dibandingkan kondisi sebelumnya. Demikian juga dengan kondisi kekuatan Rusia lebih lemah dari perang yang sebelumnya. Kita berharap kepada Allah swt semoga Dia mengokohkan kita dengan pertolongan-Nya dan mengalahkan musuh kita, sesungguhnya Dia Maha Kuasa. Seberapapun ukuran materi dan kekuatan militer tidak mungkin bisa kami jadikan sebagai andalan. Kami hanya mengandalkan takdir Rabb semesta alam dan kasih sayang-Nya kepada kami."

    Jenderal Khaththab rahimahullah menperingatkan tentara Rusia yang kewalahan menghadapi taktik perang ini, hingga mereka menyerang mujahidin dengan membabi buta dan terkesan ngawur. Dia berkata, "Saya ingin sekali menjelaskan persoalan yang krusial sehubungan dengan strategi perang tentara Rusia. Kekuatan tentara Rusia yang masuk di Negara Chechnya lebih dari 50 ribu pasukan sampai hampir mendekati 200 ribu tentara. Jumlah yang sangat besar menghadapi kekuatan mujahidin yang sangat sedikit ini.
    Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, hal itu memaksa mereka untuk mengambil strategi perang terbuka. Dengan kekuatan sebesar ini, Rusia dipaksa harus menggunakan strategi perang yang diyakini dapat menghindarkan dari kekalahan seperti yang dialami pada perang pertamanya. Saat itu, mereka mengandalkan serangan jarak jauh, sebagaimana yang dilakukan kekuatan Negara Atlantik di Yugoslavia, dan mencoba menghindari perang jarak dekat melawan mujahidin. Strategi ini adalah strategi buruk. Kami tidak seperti pemerintah Yugoslavia yang mengandalkan kontur geografis dan tempat2 strategis untuk melancarkan perang. Namun, kami (mujahidin Chechnya) menjadikan Allah swt sebagai sandaran pertama kami didalam mengatur pertempuran. Kemudian kami memiliki taktik lain yang tidak mengandalkan sarana alat perang, kondisi geografis, atau satu medan tempur tertentu.p erhitungan keliru inilah yang dijadikan sandaran pasukan Rusia didalam mementukan strategi perang sehingga perang menjadi sangat sulit dan melelahkan bagi mereka. Sekarang, Rusia terpaksa mengambil keputusan untuk mengerahkan pasukan infantri dan berperang secara terbuka di berbagai medan pertempuran sebagai taktik perang mereka. Oleh karena itu, Rusia membayangkan terjadinya kekalahan dengan jumlah korban tentara tewas dalam jumlah besar."


    3. Seranglah musuhmu sebelum mereka menyerangmu

    Jenderal Khaththab rahimahullah bukanlah komandan yang berpijak kepada siasat yang reaktif (menunggu untuk membalas). Dia selalu mengulangi perkataannya, "Seranglah musuhmu sebelum kalian diserang, kita tidak mau menunggu sampai kita diserbu kemudian menjerit seperti jaritan wanita. Akan tetapi, kapan saja kita mencium rencana musuh akan menyerbu, kita harus menghentikan mereka hingga hilang keberanian mereka untuk merampas negeri kaum muslimin."

    Oleh karena itu, da sangata marah ketika sebagian orang2 yang shalih mencela tindakannya menyerbu Dagestan hingga menyulut terjadinya perang Chechnya kedua. Bahkan sebagian menuduh tindakannya tergesa2 dan membahayakan kaum muslimin. Dia berlepas diri dari tuduhan ini, karena dia tahu bahwa sebenarnya Rusia memang telah bertekad kuat untuk menyerbu negeri Chechnya untuk kedua kalinya. Hal ini diketahui dari banyaknya mata2 yang mereka tebar. Dermikian juga tindakan mereka melakukan bom bunuh dri di Moskow dan beberaa faktor lain yang menyebabkan Rusia memberikan lampu hijau untuk mnyerbu Chechnya untuk kedua kalinya. Khaththab ingin menjadikan Chechnya dan Dagestan satu negara sebagaimana semula, agar dapat bergerak lebih luas dalam memerangi musuh. Dan juga agar dapat memobilisasi kaum muslimin dalam jumlah yang lebih besar untuk memerangi musuh.

    Sungguh kebenaran pendapat Khaththab terbukti setelah beberapa bulan kemudian. Tentara Rusia mengerahkan kekuatan besarnya menyerbu Chechnya dibawah panji2 "Perang Melawan Teroris". Hingga Khaththab rahimahullah pernah berkata, "Sampai kapan kita duduk menunggu musuh padahal kita adalah para da'i? Padahal kita tahu bahwa musuh tengah mempersiapkan kekuatan untuk melumatkan dan menghancurkan kita. Namun kita hanya berdiri diatas mimbar-mimbar mengadu dan mengeluhkan kehormatan yang dinodai, jiwa2 yang melayang, dan negeri2 islam yang dirampas hilang."


    4. Khaththab rahimahullah mengerti bahwa kekalahan Rusia tidak akan terjadi dalam segi militer - dalam pengertian konvensional

    Jenderal Khaththab mengerti bahwa kekalahan Rusia tidak akan terjadi dalam segi militer -- dalam pengetian konvensional, yaitu terjadi peertempuran antara tentara Chechnya dan Rusia yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dan pasukan Rusia akan mundur karena tentaranya sudah tidak mampu.

    Akan tetapi, kemenangan atas Rusia akan terjadi -Insya Allah- dengan memanfaatkan titik lemah mereka yang paling utama, yaitu ketidakmampuan memikul beban berat kerugian SDM, terlebih dalam waktu yang begitu panjang. Walaupun backing militer dan kemampuan mereka untuk mengganti berbagai kerugian sangat kuat.

    Jenderal Khaththab rahimahullah berkata, "Semua tahu, Rusia telah mempersiapkan segala sesuatu untuk melancarkan perang ini. Kami dianggap seperti sekelompok kecil kawanan perampok. Namun, ternyata Rusia terlebih dahulu menyerang kami layaknya dalam kondisi perang melawan pasukan elit. Mereka mengerahkan seluruh peralatan perang yang mereka miliki. Akan tetapi Insya Allah, mereka tidak mungkin memenangkan perang ini. Selama dua tahun yang silam, mereka belum mampu melakukan apa2 melawan kami. Hari ini Rusia telah mengerti dengan baik bahwa menyelesaikan masalah dengan cara militer tidak akan membantunya sama sekali. Umat ini telah memberontak melawan Rusia. Kami tahu dan yakin, apa jalan keluar yang harus kami tempuh ketika menghadapi pertempuran ini. Kami -hari ini- lebih kuat dari yang dahulu. Setiap hari kami mampu menghancurkan banyak kekuatan tentara musuh beserta arsitekturnya. Namun demikian, Rusia masih saja berusaha menyembunyikan kerugian yang dialaminya. Mereka hanya menyatakan satu tentara yang tewas dan sebagian lagi terluka. Kami telah memenangkan pertempuran ini. Namun, Rusia selalu mengingkarinya. Kelak mereka pasti akan mengakui tindakan apa yang lebih baik mereka lakukan."

    5. Jenderal Khaththab meyakini urgensi media informasi dalam jihad

    Beliau berkata, "Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan kita untuk berjihad memerangi orang2 kafir dan membunuh mereka seperti mereka memerangi dan membunuh kita. Lihatlah, mereka memerangi kita dengan propaganda dan sarana media informasi. Maka kita harus memerangi meereka juga dengan sarana media informasi kita."

    Oleh karena itu, beliau selalu mendokumentasikan setiap operasi militernya. Beliau memiliki ratusan video di Afghanistan, Tajikistan, dan Chechnya. Beliau beralasan bahwa dengan berbicara saja tidak cukup untuk mematahkan pengakuan2 bohong yang dilakukan media informasi musuh. Akan tetapi, kita harus perkuat kata2 ini dengan bukti. Caranya adalah dengan menampilkan film2 dokumenter guna membantah pengakuan bohong mereka.


    6. Jenderal Khaththab rahimahullah adalah seorang da'i

    Jenderal Khaththab rahimahullah memiliki manhaj dan aqidah salaf. Hal ini dijelaskan didalam rekaman2 dan kajian2 umum. Akan tetapi beliau tidak memiliki fanatisme terhadap golongannya. Allah swt telah mencatatnya sebagai sosok yang diterima oleh semua kalangan umat islam tanpa terkecuali, beliau memberi nasehat kepada mereka dan menerima nasehat dari mereka. Beliau memiliki hubungan yang kuat dengan para masayikh (para guru dan pengajar) mujahidin, seperti Syaikh Hamud bin 'Uqla rahimahullah. Mereka menjadi referensinya di dalam persoalan2 jihad, ilmu dan dakwah. Oleh karena itu tidak kita temukan didalam kelompoknya yang berjihad di Chechnya sebuah kebid'ah-an atau penyimpangan aqidah. Kelompok sufi merasa kehilangan akal dan merasa khawatir dengan kekuatannya, sehingga mereka memilih untuk bekerja sama membantu Rusia dalam membendung pemikiran beliau yang mulai menyebar dan mempengaruhi banyak orang.

    Khaththab menilai, Chechnya merupakan negeri yang subur untuk membina dakwah. Maka dia mulai melakukan aktivitas dakwah untuk membentuk basis2 dakwah dan jihad berdasarkan garis haluan yang shahih. Kemudian beliau mendirikan "Ma'had Al-Qauqaz li I'dad Ad-Du'at". Setiap personal harus bergabung didalamnya sebelum dia diterima di dalam kancah jihad dan wajib mengikuti pembekalan ilmu secara intensif selama dua bulan. Personal yang ingin mengikuti pembekalan ilmu dan jihad semakin bertambah hingga mencapai 400 siswa. Kondisi ini membuat Rusia marah besar. Selanjutnya, beliau terus mengembangkan upayanya lagi dan mendirikan sekolah untuk menghafal Al Qur'an. Beliau menyusun banyak program, diantaranya: pembekalan para da'i, kajian tematik di berbagai kota, kajian materi2 pokok dan program khusus untuk meningkatkan kualitas para da'i. Dia pernah mengungkapkan, "Kami menyaksikan pengaruh yang signifikan dari kegiatan ini dalam aspek pengorbanan dan kegigihan para mujahidin."

    Dengan kegiatan ini jihad Chechnya bisa menjadi contoh. Tidak ada perselisihan, perpecahan, dan saling mencela. Seluruhnya bersatu di bawah satu pimpinan. Merekapun mengangkat seorang mufti agar mereka tidak melakukan pelanggaran, dia adalah Abu Umar As-Saif.

    Jenderal Khaththab rahimahullah menyeru manusia secara bertahap.
    Beliau pernah bertempur di Afghanistan. Dan kita belum pernah mendengar dia terlibat konflik dengan seorang Afghan pun karena perbedaan aqidah, meskipun disana banyak berkembang pemikiran2 tasawuf. Kemudian beliau bertempur di Tajikistan di bawah komando Abdullah Nuri, meskipun dia termasuk salah satu pemimpin aliran tasawuf disana, hanya saja manusia lebih menggantungkan diri kepada Khaththab hingga muncul kedengkian dalam hati sebagian kaum munafiqin, seperti komandan Ridhwan yang disebut oleh Khaththab sebagai "pemimpin perang yang busuk".

    Ketika sampai di Chechnya, beliau mengajak masyarakat untuk shalat, membayar zakat, dan membaca Al-Qur'an. Beliau tidak pernah mengajak mereka kepada masalah2 aqidah. Setelah beliau menjadi tokoh dan dicintai oleh seluruh manusia, beliaupun mendirikan pesantren2 yang mengajarkan aqidah yng benar.

    Pada masa awal jihadnya, Khaththab sangat berhati2 dan melarang sahabat2nya melibatkan diri dalam masalah yang akan membangkitkan emosi masyarakat seluruh wilayah. Apabila beliau mendapati seseorang yang mau menerima kebaikan, barulah beliau mengajaknya kepada aqidah salaf. Oleh karena itu beliau melarang teman2nya pergi kepasar2 dan masuk keperkampungan di negeri tersebut, sebab aliran tasawuf sangat kuat. Dia khawatir nanti para tokoh sufi memprovokasi manusia untuk melawan mereka.

    Sedangkan untuk kebutuhan mujahidin, salah seorang diberi tugas untuk pergi ke pasar dua hari sekali saja. Bahkan beliau sendiri selama hidupnya belum pernah pergi ke Grozny sebagaimana yang pernah dia katakan kecuali hanya sekali saja, setelah didesak oleh para komandan Chechnya untuk menghadiri pesta perkawinan sebagai wujud rasa hormat kepadanya.

    Meskipun usaha keras para tokoh sufi untuk membangkitkan amarah masyarakat, namun setiap usaha mereka selalu gagal. Mereka menyebut Khaththab sebagai wahhabi, yang hukumnya lebih kafir daripada yahudi dan nasrani. Mereka menuduh bahwa jihadnya pada masa kekuasaan Dudayev adalah batil, sebab perang yang dilakukan Dudayev adalah membela negeri saja. Khaththab mengikuti jihad ini dibawah panji2 Jauhar Dudayev, selaku mantan kepala negara Chechnya. Akan tetapi saat itu, Khaththab rahimahullah memiliki program khusus untuk kepentingan kelompoknya.

    Pada awal perjalanan jihadnya di Chechnya, sebagian para da'i enggan bergabung bersamanya. Mereka berkomentar, "Bagaimana mungkin engkau berperang bersama orang2 sufi dan haluliyah (meyakini bahwa Allah swt dapat menitis ke dalam makhluk)." Maka Khaththab berkata kepada mereka, "Mereka terlalu dini untuk divonis sebagai orang kafir dan atheis, maka kalian jangan terlalu gegabah."

    Akhirnya beliau mampu menarik hati mereka sebagaimana kebiasaan beliau saat beretorika membujuk orang lain. Sampai sahabatnya berkata, "Seandainya Khaththab mengatakan segelas susu adalah air, kami pasti akan membenarkannya." Inilah anugerah Allah swt yang dilimpahkan kepadanya.


    7. Khaththab, antara sikap tangkas dan tekad kuat

    Anda pasti akan terkesima tatkala menyaksikan film dokumenter yang menayangkan pribadi Khaththab didalamnya. Para tentaranya begitu cinta dan sangat menggantungkan diri kepadanya. Anda akan terkagum2 melihat begitu berwibawa dan diseganinya beliau saat berinteraksi dengan sesamanya. Khaththab sangat rendah hati ketika anda melihatnya tengah bergurau dengan mereka. Dia bergurau dengan lisan, tangan, bahkan dengan kakinya. Disana anda dapat menyaksikan suasana riang tanpa beban, sikap lapang dada, dan akhlak yang baik.

    Adapun sikap teguh dan tekad kuat yang dia miliki, dia pernah menuturkan kisahnya, "Ketika saya datang ke Chechnya, saya bergabung bersama pasukan yang terdiri dari 90 prajurit, semuanya adalah murid Syaikh Fathi Asy-Syisyani hafizhahullah. Kemudian saya mengurangi 15 tentara kemudian 15 tentara lagi sesudahnya, sehingga yang tersisa bersamaku berjumlah 60 tentara. Kemudian beberapa rekan mengingatkanku agar berhati2 terhadap pemecatan ini, sebab orang2 Chechnya memiliki sifat fanatik kepada kelompoknya, apabila sebagian saja pergi, maka kemungkinan besar yang lain akan mengikutinya. Di suatu hari kami semua tidur. Dipagi harinya ternyata kelompok jaga juga ikut tidur bersama kami. Kemudian saya lupakan sejenak persoalan jaga, malam itu udara sangat dingin. Saya pun memerintahkan mereka untuk melepas sepatu, kemudian menyuruh mereka berjalan kearah sungai. Padahal saat itu kondisi rumput terasa sangat dingin seperti pohon kurma yang basah. Kemudian mereka berjalan dengan kondisi sangat kritis akibat cuaca yang sangat dingin. Ketika kami sampai ditepi sungai, saya perintahkan mereka mencelupkan kaki mereka kedalam air sungai sebagai latihan untuk mereka. Setelah beberapa lama kemudian saya perintahkan mereka keluar dari sungai. Akibatnya kaki mereka membeku sampai ada sebagian dari mereka jatuh karena lelah dan rasa sakit. Tiba2 terdengar suara teriakan tertuju padaku, rupanya mereka protes dan mengancam akan meninggalkanku. Saya berkata kepada mereka, "Aku tidak keberatan, meski tak seorangpun mau bergabung bersama saya." Padahal dalam hati, saya khawatir mereka benar2 meninggalkan saya dan diikuti hilangnya impian saya untuk membebaskan negeri tersebut. Akan tetapi Allah swt memberikan kemudahan, mereka tetap berjumlah 60 tentara. Kemudian mereka mengambil kesimpulan untuk mengadakan daurah ilmiah selama 25 hari. Saat ini mereka telah menjadi para komandan peleton dan menjadi pasukan elit."

    Dari buku "Khaththab Sang Panglima" tulisan Abu Anas Ath-Thaifi (salah seorang anggota pasukan jenderal Khaththab rahimahullah)



    Adu Piawai Loloskan Diri Dari Jebakan



    Apa yang harus dilakukan ketika seseorang dalam pengawasan ketat harus ditemui, padahal si pengawas sedang merencanakan jebakan bagi orang yang akan menemuinya. Tak mudah untuk menyiasatinya, tapi dengan kepiawaian, jebakan bisa ditaklukan. Atau Dalam kehidupan sehari-hari, tak banyak orang yang tahu bahwa ada sisi kehidupan keras yang harus dilakoni anak manusia, baik sendiri atau berkelompok.

    Bagi manusia dengan keseharian seperti ini, maka maut seolah tak mau beranjak jauh darinya. Ada kalanya, seorang anak manusia dihadapkan pada kondisi, di mana ia harus menemui seseorang yang menjadi kunci utama penyelesaian masalah.

    Di sisi lain, ia sendiri menjadi buruan pihak keamanan karena tuduhan yang belum tentu benar. Menjadi target buruan pihak keamanan, tentu akan mengakibatkan menjadi orang yang selalu dalam bidikan menakutkan. Selain dilakukan pengejaran terhadapnya, tak lupa pula disiapkan beragam jebakan untuk membekuknya.

    Menemui seseorang yang merupakan kunci penyelesaian masalah tak mudah pula dilakukan. Apalagi jika pihak keamanan menjadikan orang tersebut sebagai umpan di dalam jebakan.

    Seandainya orang yang akan ditemui berada pada salah satu kamar hotel, sementara orang tersebut diawasi selama 24 jam oleh sebuah tim kecil, maka tentu itu sangat menyulitkan. Kamera dan peralatan penyadapan lainnya telah mengelilingi orang yang akan ditemui.

    Jika seseorang datang begitu saja untuk menjumpai orang di hotel tadi, maka dengan mudah ia akan dijadikan bulan-bulanan tim pengintai yang melakukan pengawasan. Sementara untuk melakukan pengawasa via telepon, maka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbicara dan ini mempunyai resiko diketahui posisi tempat ia berada.

    Bila keadaan seperti diatas dijumpai. Lalu bagaimana seseorang bisa menembus pagar betis pengawalan dan jebakan seperti itu?

    Situasi ini tentu menuntut ketelitian tinggi, karena kesalahan kecil saja akan membuat semuanya berantakan.


    PERSIAPAN

    Guna menembus berikade seperti di atas, maka melakukan pengamatan adalah pekerjaan awal yang harus dilakukan. Memperoleh informasi sedetail mungkin tentang berapa orang yang melakukan pengawalan, jenis kendaraan yang digunakan serta dimana kendaraan tersebut diparkir adalah sesuatu yang wajib diketahui.

    Biasanya, dalam keadaan di atas, kendaraan tim pengawal di parkir terpisah, ini dilakukan agar tak memancing perhatian. Tak hanya itu, kendaraan yang diparkir terpisah lebih bisa diandalkan untuk digunakan jika pada salah satu tempat ada hambatan.

    Jika perlu, patut pula untuk menguji bagaimana reaksi tim pengawal ketika orang yang ingin ditemui dihubungi via telepon hotel bahwa seseorang akan menemuinya. Dari reaksi itu maka, bisa diketahui kesiap siagaan tim pengawal.

    Untuk mengetahui persis reaksi tersebut, tak perlu lagi memasuki hotel. Pegamatan cukup dilakukan dari luar. Biasanya, pengawal akan sangat cekatan dan segera mengambil posisi di depan hotel dengan mata jelalatan mengawasi setiap orang yang hilir mudik.

    Bukan hanya di depan hotel, lapis kedua pengawal biasanya akan beraksi di lobi hotel, yakni dengan mengamati setiap pengunjung hotel yang baru datang. Apa yang dilakukan pengawal tentu dengan sangat samar, namun bagi orang terlatih dapat dengan mudah mengetahui apa yang sedang dilakukan pengawal.

    Berdasarkan pengamatan dan menguji reaksi tim pengawal, paling tidak bisa diketahui bahwa pada telepon dilakukan penyadapan, jenis kendaraan yang digunakan dan dimana kendaraan tersebut diparkir, serta bagaimana reaksi pengawal.


    STRATEGI JITU

    Setelah melakukan pengamatan dan mengetahui reaksi tim pengawal, kini saatnya untuk menyusun strategi. Strategi operasi harus memungkinkan bisa bertemu dengan orang yang dikehendaki meski mendapat pengawasan ketat.

    Menghadapi kondisi seperti itu, maka ide dasarnya adalah bertemu dengan orang yang dikehendaki ditempat lain di luar hotel adalah yang paling memungkinkan. Agar tim pengawas tidak bisa membuntuti bahkan melakukan penangkapan, maka laju pengawal harus dihentikan.

    Selanjutnya yang diperlukan adalah peralatan guna mendukung suksesnya operasi ketika misi itu dijalankan. Ada banyak peralatan yang bisa digunakan untuk membuat mobil pengawal tak berkutik saat akan melakukan pengejaran.

    Untuk mewujudkan hal itu, maka sebelumnya harus dipasang bahan peledak berdaya ledak kecil dengan pemancar guna mematikan mobil saat digunakan. Namun, hal tersebut hanya bisa dilakukan pada kendaraan yang diparkir di tempat sepi. Jika mobil pengawas diparkir di tempat ramai, maka harus dipikirkan cara lain.

    Ketika saatnya tiba, maka pelaksana operasi harus berada sangat dekat dengan hotel. Dari sana ia bisa menghubungi orang di dalam hotel sesingkat mungkin untuk bertemu di suatu tempat sekarang.

    Selanjutnya, secepatnya ia harus menuju resepsionis hotel untuk mengabarkan ada sekelompok orang mencurigakan dengan senjata di dalam mobil yang parkir di dekat hotel. Ia menyarankan pula agar si resepsionis segera menghubungi polisi terdekat.
    Mobil di dekat hotel yang dimaksud adalah mobil yang diparkir di tempat ramai yang belum ?dikerjai? agar bisa dihentikan ketika akan digunakan.

    Ketika orang yang akan ditemui keluar dari tempat parkir hotel, maka kita dapat segera menemuinya dan memasuki mobilnya. Sementara pengawal yang akan mengikuti dengan mobil di tempat parkir sepi akan mengalami kemogokan.

    Di tempat parkir lain, mobil pengawal di tempat ramai akan dihambat pihak kepolisian yang segera datang ketempat tujuan merespon telepon resepsionis hotel. Bisa dipastikan polisi tersebut akan melakukan pemeriksaan dan interogasi. Meski tim pengawal berasal dari kepolisian juga, namun butuh waktu bagi pengawal untuk meyakinkan polisi yang mendatanginya. Ketika masalah antar polisi tersebut terselesaikan, buruan dan orang yang telah ditemuinya telah hilang entah ke mana.

    Minggu, 27 Desember 2009

    Fatwa Kafirnya Yusuf Qardhawi oleh Syaikh Abu Bashir

    FATWA PENGKAFIRAN SYAIKH YUSUF Qardhawi
    Mufti: Abu Bashir Ath Thurthusi


    Penanya:
    Apakah wajib bagi saya, menyebarkan apa yang saya beragama dengannya kepada Allah yaitu mengkafirkan para thaghut secara mu’ayyan (orang per orang), seperti para thaghut Arab dan beberapa Syaikh; seperti Syaikh al Qardhawi?

    Jawab:
    Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
    Ya, wajib bagimu menyebarkan kekafiran orang yang kamu sebutkan dari kalangan para thaghut, karena kejahatan kekafiran mereka tidak hanya terbatas pada diri mereka sendiri. Tetapi menyebar kepada seluruh umat ini. Karena itu kekafiran mereka harus dibongkar dan orang awam harus diingatkan agar mewaspadai mereka, kekafirannya dan kejahatannya. Ini termasuk makna dan konsekwensi kufur (mengingkari) kepada thaghut, yang diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya.

    ******


    Penanya:

    Assalamu’alaikum …
    Syaikh kami yang mulia;

    Sebagian para ikhwah menukilkan jawaban Anda tentang pertanyaan no. 57 di Milist Hizb Islami. Di dalamnya Anda mewajibkan bagi orang yang beragama kepada Allah agar kufur kepada para thaghut secara perorangan, yaitu dengan mengkafirkan mereka dan mengumumkan keberlepasan dirinya dari mereka di hadapan masyarakat luas.

    Pertanyaan nomor tersebut berisi permasalahan pengkafiran Qardhawi, akan tetapi Anda wahai Syaikh kami yang mulia, tidak menyinggung si penanya mengenai masalah ini. Bahkan Anda menyarankannya untuk mengkafirkan orang yang disebutkan dalam pertanyaannya dengan perkataan Anda: (Ya, wajib bagimu menyebarkan kekafiran orang yang kamu sebutkan dari kalangan para thaghut) dan Anda menyebutkan jawaban Anda secara umum mencakup semua yang disebutkan dalam pertanyaan tanpa ada pengecualian terhadap Qardhawi. Hal ini menjadikan sebagian ikhwah peserta milist Salafiyyun menganggap Qaradhawi sebagai seorang thaghut. Lalu mereka mengumumkan keberlepasan diri mereka darinya, mengkafirkannya dan menebutkan sebab-sebab kekafirannya dari beberapa sumber. Mereka mengatakan: termasuk kufur kepada thaghut adalah mengumumkan keberlepasan dirinya dari thaghut tersebut berdasarkan jawaban Anda –semoga Allah selalu menjaga Anda.

    Kami sangat berkeinginan wahai Syaikh kami yang mulia, meminta kejelasan kepada Anda secara pribadi, apakah pernyataan Anda termasuk pernyataan yang mutasyabih (tidak jelas) atau justru sebaliknya, ajakan terang-terangan bagi orang yang beragama kepada Allah untuk kufur kepada Qardhawi dan menganggapnya sebagai seorang thaghut yang harus dikafirkan? Hal ini melihat diskusi yang semakin tajam antara orang-orang yang berpendapat bahwa Anda berlepas dari perkataan ini dan antara orang-orang yang berpendapat bahwa perkataan itu memang perkataan Anda.
    Semoga Allah membalas Anda dengan balasan kebaikan.


    Jawaban:
    Wassalamu’alaikum …
    Bismillah …
    Saudara kami yang mulia … wa’alaikum salam …, selanjutnya;
    Perlu diketahui wahai saudaraku, saya –bagi-Nya lah segala puji- bukan termasuk orang yang menganggap ringan urusan agama; sehingga terjun dalam urusan yang tidak selayaknya dan tidak boleh diterjuni. Semua orang mengenal kami termasuk orang yang paling ketat mentakwilkan dan memberi udzur (maaf) terhadap orang-orang yang terlanjur berbuat salah dan tergelincir, khususnya jika mereka termasuk ahli ilmu (ulama).

    Akan tetapi orang yang disebutkan dan ditanyakan tersebut, tidak meninggalkan kami ruang untuk mentakwilkan atau untuk mengudzur. Dia telah melecehkan Allah di hadapan masyarakat luas sedang dia berada dia atas mimbar pada hari ketika memuji-muji pemilihan umum yahudi di Palestina.

    Sebelum itu, dia menolong para berhala patung yang disembah selain Allah di Afghanistan.

    Membolehkan warga muslim Amerika, ikut serta bersama pasukan Amerika Kafir, memerangi kaum muslimin dan para putera mereka di Afghanistan.

    Berpendapat demokrasi dengan maknanya yang syirik dan permisivisme, sebagaimana bantahan kami kepadanya dalam kitab kami “Hukmul Islam fid Dimukratiyyah” `Hukum Islam mengenai Demokrasi`. Ditambah lagi, persaudaraanya dengan orang-orang Kristen dan Syi’ah Rafidlah, yang diumumkannya dalam setiap kesempatan.

    Di samping pujiannya dan loyalitasnya terhadap banyak para thaghut hukum dan kafir zaman sekarang.

    Demikian juga keganjilan-keganjilan ijtihad fikihnya yang lebih mendekati kepada penghalalan sesuatu yang haram daripada hanya sekedar ijtihad fikih.

    Semua itu benar-benar nyata pada diri orang ini dengan pasti dan meyakinkan. Sampai saat ini kami belum mengetahui dia bertaubat atau taraju’ (kembali kepada kebenaran) dari permasalahan-permasalahan yang sudah disebutkan. Bahkan sudah maklum keterlaluannya tersebut semakin menjadi-jadi.

    Karena itu wajib mengatakan mengenai kekafirannya menurut syariat. Menelanjanginya dan menelanjangi kebatilannya supaya diwaspadai orang-orang. Ini pendapatku mengenai orang ini dan saya tidak mewajibkan orang lain dengan pendapatku ini.

    Wallahu Ta’ala A’lam.
    Alih bahasa: Abu Syakir
    Sumber: CD Mimbar Tauhid wal Jihad

    ***

    Sikap Syar’i terhadap Qaradhawi
    Mufti: Abu Bashir Ath Thurthusi

    Ada pertanyaan yang sering menggangguku sajak lama, yaitu seputar Syaikh Yusuf al Qaradhawi, tulisan-tulisannya, pemikiran-pemikirannya dan manhajnya. Di mana saya pada awal proses menuntut ilmu, membaca sebagian kitabnya dan tertarik dengannya. Pada waktu itu arah pemikiran saya masih ikhwani. Akan tetapi setelah beberapa tahun berselang, wawasan dan pengetahuanku bertambah. Saya banyak membaca kitab-kitab salaf, saya menemukan barang saya yang hilang, Allah menunjukkan kepadaku manhaj yang saya pandang benar dan keyakinan yang benar yang bisa menyelamatkan. Selama saya membuka-buka wabsite-website “Tauhid wal Jihad” di internet, saya mengenal lebih banyak dan lebih banyak lagi tentang “Firqah Najiyyah” `Golongan Selamat` dan “Ma’alim Thaifah Manshurah” `Rambu-Rambu Golongan Yang Selalu Mendapat Pertolongan`. Sehingga saya semakin cinta kepadanya dan semakin erat berpegang teguh dengannya. Setiap saya membaca tulisan Syaikh al Qaradhawi, saya semakin tahu seberapa jauh kesalahan-kesalahannya. Khususnya mengenai pemahaman “Demokrasi”, kebebasan dan sikapnya terhadap para penguasa dan para thaghut …dst. Namun, dari sisi lain, sebagian orang menuduhnya dengan tuduhan yang sangat keji seperti al Kalbawi, al Jarbawi, kaset dengan judul Bantahan untuk membuat diam al Kalb al ‘Awi yang dipanggil al Qaradhawi, al Qardawi, Yang sesat menyesatkan, seorang alim yang sesat yang termasuk para penyeru ke pintu-pintu neraka jahannam … dst.

    Pertanyaan saya:
    Jika memang Syaikh telah bersalah, apakah layak bagi Ahli Sunah wal Jama’ah dan Salafi Palsu maupun Salafi Asli untuk mencela dan mencercanya daripada menghadapinya dan menjelaskan kesalahanya dengan metode ilmiah yang indah dan jauh dari tuduhan dan celaan …?!

    Pertanyaan Kedua:
    Bagaimana sikap kita sebagai kaum muslimin terhadap Syaikh ini, apakah kita menganggapnya sebagai seorang alim (berilmu) yang perkataanya bisa diambil dan ditolak. Ataukah justru sebaliknya dia seorang yang sesat, ahli bid’ah. Dan apakah kebid’ahannya sampai kepada tingkat yang bisa menjadikannya fasik atau kafir?

    Pertanyaan Ketiga:
    Jika para rasionalis dan ahli hadits telah berbeda pendapat semenjak dahulu dan mereka membolehkan perbedaan pendapat ini dan mereka masih bersaudara dan saling mencintai, mengapa kita pada hari ini melarangnya dan sebagian kita menghormati sebagian yang lain selama syariat yang lurus mengakui itu sebagaimana dalam hadits bani quraizhah atau ada ghuluw (berlebih-lebihan), tasyaddud (terlalu ketat) dan sikap ekstrim sebagaimana kata mereka …dan terakhir kami mengharap dari Anda wahai Syaikh agar Anda mengatakan kepada kami perkataan yang tuntas mengenai orang ini supaya kami bersikap jelas terhadap urusan kami.

    Semoga Allah memberi keberkahan kapada Anda dan membalas balasan kebaikan dari kami.


    Jawaban:

    Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
    Kami tidak memandang bolehnya melontarkan ungkapan-ungkapan keji yang barusan disebutkan dalam pertanyaan baik terhadap Qaradhawi maupun yang lain …karena seorang muslim tidak selayaknya menjadi tukang melaknat, tukang mencela atau tukang ngomong keji …Seorang muslim harus menjaga diri dari itu semua. Akan tetapi ini tidak menghalangi membawa istilah dan hukum syar’i yang memang berhak disandang Qaradhawi atau pun yang lainnya berupa penjatuhan vonis fasik, sesat atau kafir dan lontaran-lontaran syar’i yang sejenisnya … Jika memang dalam diri orang tersebut ada perilaku yang mendorong menyandangkan hukum-hukum ini atau sebagiannya kepadanya.

    Adapun pertanyaan Anda mengenai diri Qaradhawi:
    Saya katakan: Orang ini memiliki awal yang bagus dan banyak karya ilmiyah bermanfaat di awal perjalanan hidupnya dalam bidang dakwah dan ilmiyah … Akan tetapi saya meyakini selanjutnya dia merubah dan mengganti … dan menyimpang jauh yang kami tidak menemukannya di awal masa menuntut ilmu … dan perjuangannya demi agama ini … Yang menjadi pedoman adalah akhir hidupnya dan dengan apa seseorang mengakhiri hidupnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Janganlah kalian heran dengan amal seseorang sampai kalian melihat dengan apa ia mengakhiri hidupnya, seseorang beramal shalih beberapa waktu dari umurnya atau sejenak dari umurnya yang seandainya dia mati di atas amalan itu niscaya dia masuk surga, kemudian berubah melakukan amal buruk …” Kami memohon kepada Allah l keteguhan dan husnul khotimah (akhir hidup yang baik).


    Jika kalian bertanya: mana sisi perubahan dan penggantian pada orang ini …?!

    Saya katakan: perubahan dan penggantian yang dia lakukan dari banyak sisi, di antaranya:

    • Dari sisi kedekatannya dengan para thaghut hukum yang zhalim, pujian kebaikannya kepada mereka, dan pembelaanya dengan mendebat orang-orang yang menentangnya …Ini sudah terkenal dan masyhur darinya, setiap orang yang mengenal sedikit tentang orang ini pasti mengetahuinya!

    • Dari sisi pendapatnya mengenai demokrasi berikut maknanya yang kufur dan syirik … melariskannya …, pendapatnya mengenai bebasnya mendirikan partai sekuler murtad dan mendukungnya untuk menguasai negara dan masyarakat, seandainya sudah terpilih dengan suara terbanyak …Kami telah membantahnya dalam kitab kami “Hukmul Islam fid Dimukratiyyah wat Ta’addudiyyah al Hizbiyyah” dalam lebih dari 80 halaman …Kalian bisa melihatnya …dan untuk mengetahui lebih banyak tentang orang ini dalam masalah tersebut!

    • Dari sisi pujian kebaikannya kepada Syi’ah Rafidlah …dan anggapannya yang terlalu meyepelekan perbedaan Ahli Sunah dengan mereka …serta masuk dalam loyalotas kepada mereka …Meskipun banyak ulama yang mengumumkan kekafiran mereka yang sangat nyata berkaitan dengan Qur`an, Sunah dan para sahabat Nabi …Dan berkaitan dengan masalah lain!

    • Dari sisi usahanya menolong para berhala patung yang disembah selain Allah di Afghanistan … demi memenuhi keinginan dan perintah para thaghut hukum yang mengutusnya untuk tugas yang sangat kotor tersebut …Yang itu menjadi lembaran hitam dalam kehidupan orang ini yang tidak diketahui darinya menampakkannya kecuali penyesalan, tangisan dan taubat di hadapan masyarakat luas terhadap kejahatan kedua tangannya!

    • Dari sisi pelecehannya terhadap Sang Pencipta? Ketika berada di atas mimbar pada hari Jum`at, dia mengatakan dengan penuh kesadaran setelah pujian kebaikannya terhadap demokrasi Israel terlaknat: “Seandainya Allah menawarkan diri-Nya kepada orang-orang niscaya Dia tidak akan mengambil prosentase ini”; yaitu prosentase yang diambil para penguasa Arab yaitu 99,99% …!!

    Ketika perkatannya ini disodorkan kepada Syaikh Ibnu Utsaimin, beliau berkata: Ini suatu kemurtadan …karena mengandung pelecehan dan mengangkat makhluk di atas derajat Sang Pencipta!...Wajib untuk dimintai tobat –dengan mengumumkan tobatnya di atas mimbar yang sama ketika dia mengatakan perkataan kekafiran tersebut- jika tidak bertobat, dibunuh sebagai orang murtad …Syaikh berkata benar dan saya setuju dengan perkataan beliau.

    • Dari sisi penghalalan sesuatu yang haram, yang keharamannya sudah diketahui dari agama Allah dengan pasti:

    Sebagaimana penghalalannya bagi seorang perempuan boleh menyanyi diatas panggung denga diiringi alat musik …., beberapa urusan muamalah dan jual beli yang diharamkan …sebagaimana dalam buletin yang terbit dari Dewan Fatwa dan Riset Eropa tang dipimpin oleh Qaradhawi sendiri. Yang tersebut dalam buletin sebagai ringkasan beberapa wasiat yang dalam Mu`tamarnya yang Kedua di Irlandia menghasilkan: Dewan membolehkan menjual khamr dan daging babi di toko-toko milik kaum muslimin jika memang harus menjualnya. Dewan mensyaratkan prosentase barang yang diharamkan tersebut sedikit dibanding jumlah total barang dagangan lain … Dewan mengharamkan menjual khamr di restoran-restoran karena prosentasinya menguasai prosentase barang dagangan secara keseluruhan …Dewan membolehkan membeli rumah dan mobil melalui perantara bank dan membayar dengan cara kredit …Dewan membolehkan keikutsertaan lelaki dan perempuan dalam satu tempat selama dalam bingkai kaidah syariat semisal majelis ilmu, ceramah, study, kegiatan kemasyarakatan dan lainnya …Dewan membolehkan masuknya wanita dan lelaki dari satu pintu ruang pertemuan dan majelis-majelis, dewan memandang hal itu tidak mengapa, menganggap istilah “ikhthilath” `campu baur lelaki dan perempuan` istilah susupan dalam istilah islami … Dewan membolehkan memakan makanan mengandung sedikit unsur kimia dari bahan-bahan yang diharamkan seperti daging babi dan lemaknya, dengan syarat prosentasenya tidak lebih dari 1% …Dewan memperketat, kaum muslimin wajib menghormati undang-undang negara tempat mereka tinggal …Dewan membolehkan ikut serta dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum dalam rangka memilih wakil-wakil rakyat di negara-negara barat karena dapat mewujudkan kemaslahatan bagi kaum muslimin …!!!!

    Saya katakan: Kebatilan yang sangat jelas ini …yang mengandung penghalalan yang sangat jelas terhadap sesuatu yang diharamkan Allah l berdasarkan nash dan ijma’ … yaitu sebagian wasiat-wasiat isi buletin …Yang semuanya diterbitkan dengan nama Qaradhawi dan setelah mendapat tanda tangan darinya serta dibolehkan olehnya …Karena sebab itulah isi buletinnya menjadi laris dipraktekan di banyak negara khususnya negara-negara Eropa … la haula wala quwwata illa billah (tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)!!
    Karena melihat berbagai sisi tersebut serta sisi yang lain, maka kami katakan orang ini telah merubah dan mengganti …, menghalalkan apa yang diharamakan Allah …, dan jatuh dalam kekafiran yang nyata … Dan saya memandang tidak ada satu pun penghalang kekafirang yang bisa menghalanginya dari jatuhnya vonis kafir kepada dirinya kecuali tobat nasuha dan dilakukan di hadapan masyarakat luas dari semua kekafiran yang telah disebutkan, yang memang benar-benar terbukti atas orang ini … Wallahu Ta’ala A’lam.

    Vonis hukum dari kami ini terhadap orang ini tidak keluar melalui metode orang-orang yang ngawur …atau Ahli Takfir ekstrim …Tidak …Tetapi keluar setelah perenungan dan pengamatan lama mengenai seluruh penghalang takfir, hal-hal yang mengharuskannya dan berbagai konsekwensinya …Dan setelah sabar berdiam dalam waktu lama karena kami khawatir terjatuh dalam dosa karenanya … Khususnya karena bencana yang ditimbulkan orang ini semakin meluas, menyebar dan berbahaya …Dan banyaknya pertanyaan mengenai dirinya: sikap-sikapnya, lontaran-lontarannya yang sangat jelas dan ijtihad-ijtihad fikihnya …Maka kami berkesimpulan untuk menjelaskan hukum syar’i –mengenai orang ini- yang kami yakini …Meskipun hukum ini bisa jadi tidak memuaskan sebagian orang yang tidak mengetahui apa-apa kecuali hanya fanatisme terhadap nama orang ini, pribadinya dan berbagai gelarnya …Dan Allah l Yang Mencukupi kami dan Dia sebaik-baik Penolong.


    Jika kalian bertanya: Mengapa harus di hadapan masyarakat luas …?!

    Saya jawab: Karena dia mengumumkan kekafirannya …dan mengatakan kalimat kekafiran di hadapan masyarakat luas …Maka dia harus bertobat dan menjelaskan tobatnya kepada orang-orang di hadapan masyarakat luas …Agar kami bisa menahan diri dari mengkafirkannya dan memurtadkannya …Sebagaimana firman Allah swt:
    Kecuali mereka yang telah taubat dan Mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka terhadap mereka Itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah [2]: 160)

    Adapun pertanyaan Anda berkaitan dengan kemungkinan tetap adanya rasa kasih sayang dan cinta sesama kaum muslimin meskipun adanya perbedaan pendapat?

    Saya jawab: Ini memang ada dan wajib hukumnya … Yaitu ketika perbedaan pendapatnya dalam koridor “ikhtilaf tanawwu’” `perbedaan berkaitan dengan variasi sesuatu yang memang boleh dilakukan dengan berbagai variasi yang dibolehkan` …Atau apabila termasuk dalam permasalahan dalil-dalil dan kaidah-kadah syariat yang memang mengandung multi interpretasi … Jenis perbedaan pendapat seperti ini memang tidak selayaknya merusak rasa kasih sayang yang harus terwujud antar sesama ikhwan (saudara).

    Adapun, apabila perbedaan dan perselisihan pendapat itu terjadi dalam masalah pokok dan nilai-nilai pasti yang sudah umum berlaku (tsawabit ‘amah) …: dalam tauhid …, dalam masalah kekafiran dan keimanan …, dalam masalah penghalalan sesuatu yang diharamkan …, dalam masalah pengharaman sesuatu yang dihalalkan …Yang semua itu termasuk dalam sesuatu yang sudah diketahui dalam agama Allah secara pasti …Maka jenis perselisihan pendapat seperti ini tidak mungkin didiamkan atau tidak mungkin menyisakan rasa kasih sayang dan saling menghormati antara kedua belah pihak …Sebagaimana perselisihan pendapat jenis pertama …Bukti-bukti mengenai hal itu banyak terdapat dalam sunah dan sirah para salaf, bahkan lebih banyak banyak lagi kalau mau menghitungnya yang khusus berkaitan tema ini …

    Wallahu A’lam.
    Alih bahasa: Abu Syakir
    Sumber: CD Mimbar Tauhid wal Jihad


    Sekitar Fatwa Qaradhawi Mengenai Bolehnya Berperang Bersama Pasukan Salibis
    Mufti: Abu Bashir Al Thurthusi

    Pertanyaan:
    Wahai Syaikh kami barangkali Anda telah mendengar fatwa Qaradhawi mengenai bolehnya kaum muslimin Amerika ikut berperang bersama tentara Amerika melawan kaum muslimin di Afghanistan …Apa pendapat Anda mengenai hal itu …? Apa yang Anda nasihatkan bagi kaum muslimin terhadap saudara-saudara mereka di Afghanistan …? Semoga Allah membalas Anda kebaikan.

    Jawaban:
    Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
    Sebenarnya tidak aneh ada beberapa fatwa ganjil seperti ini dari orang yang sesat menyesatkan ini –yang sudah maklum kebatilannya menurut agama secara pasti- …Akan tetapi yang lebih aneh lagi, sampai saat ini masih ada sejumlah kaum muslimin yang mendengarkannya …menganggap fatwanya (sebagai kebenaran) …dan saling berdebat untuk membelanya!

    Adapun mengenai fatwa orang ini yang barusan disebutkan jelas sekali kebatilannya …Ini tidak ada kesamaran lagi di dalamnya, hal itu dari beberapa sisi berikut ini:

    • Dalam fatwa tersebut di atas, ia lebih memilih loyalitas atas dasar nasionalisme …loyalitas terhadap kewarga negaraan daripada loyalitas terhadap aqidah dan agama …Lebih mendahulukan yang pertama daripada yang kedua …Dan ini adalah sebuah kekafiran, karena menabrak puluhan nash dalil yang mewajibkan mengikat loyalitas (wala`) dan bara` (berlepas diri) di antara kaum muslimin di atas dasar afiliasi terhadap aqudah dan agama …dan kaum muslimin bagaikan satu tangan menghadapi selain mereka meskipin saling berjauhan dan dipisahkan oleh berbagai negara …atau bermacam-macam kewarga negaraan, bahasa dan ras …! Itu adalah sebuah kekafiran karena mendasarkan wala` dan bara`kepada tanah air atau negara …dan karena tanah air itu sendiri selain Allah swt …!

    • dalam fatwanya, ia telah menghalalkan dan membolehkan apa yang diharamkan Allah Ta’ala –yang termasuk perkara maklum dari agama secara pasti …dimana ia telah membolehkan membantu kaum musyrikin yang jahat lagi melampaui batas dan ikut serta berperang bersama mereka melawan kaum muslimin karena alasan-alasan lemah jahiliyah yang tidak dianggap dalam agama kita yang lurus …Yaitu alasan karena afiliasi kepada tanah air dan kewarga negaraan! Ia tidak hanya sekedar membantu …bahkan menghalalkan membantu kaum musyrikin dalam melawan kaum muslimin… dan ini sebuah kekafiran yang lebih berbahaya dan jahat …karena terdapat kekafiran dari dua sisi: sisi membantu kaum musyrikin… dan sisi menghalalkan membantu kaum musyrikin dalam melawan kaum muslimin…!

    • Kebimbangan dan keterombang-ambingan dirinya dalam menyikapi masalah ini secara khusus …Dari satu sisi ia menganjurkan kaum muslimin membantu kaum muslimin yang ada di Afghanistan …dan meminta mereka supaya jangan membantu Amerika dalam permusuhannya kepada Afghanistan … Namun dari sisi yang lain membolehakan kaum muslimin Amerika –jumlahnya ribuan, berdasarkan afiliasi mereka kepada tanah air- ikut serta berperang bersama dan di samping tentara Amerika yang telah memerangi dan melanggar kehormatan kaum muslimin dan anak-anak mereka di Afghanistan…! Dengan sikapnya tersebut ia di satu sisi membenci orang yang melawan dan mengharamkan penyerangan dan pelanggaran Amerika …Namun di sisi lain membenci orang yang menguatkan pelanggaran Amerika …Ia tidak bersama golongan yang pertama juga tidak bersama golongan yang kedua…Minimal ia bisa dikatakan sebagai seorang Zindiq dan Munafiq …dan bimbang, sebagaimana firman Allah swt: “Mereka dalam Keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (QS. An Nisa [4]: 143).

    Adapun kewajiban kaum muslimin terhadap saudara-saudara mereka di Afghanistan …Menurut saya:
    Agar tetap bisa merealisasikan seluruh nash-nash syar’i yang berkaitan dengan masalah ini, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin di muka bumi ini –semuanya tergantung kondisi, kemampuan dan kebisaannya- untuk memberikan pertolongan, bantuan dan pembelaan kepada saudara-saudara mereka kaum muslimin di Afghanistan …sebagaimana juga wajib bagi mereka membalaskan untuk saudara-saudara mereka kezhaliman permusuhan Amerika dan para sekutunya dengan seluruh sarana yang disyariatkan …-semuanya tergantung kemampuan, kekuasaan, dan tempatnya- …Ini adalah suatu kewajiban yang tidak seorangpun yang dibedakan di dalamnya … itu suatu yang sudah sangat jelas tidak ada kesamaran sedikit pun di dalamnya …Dan tidak diperselisihkan lagi bagi dua orang yang termasuk ulama mu’tabar (kapabel/diakui).

    Sebagai tambahan dari Mimbar Tauhid wal Jihad (http://www.tawhed.ws): Fatwa Qaradhawi yang memuat tanda tangannya dan tanda tangan Thariq al Basyari, Haitsam al Khayyath, Muhammad Salim al ’Awa dan Fahmi Huwaidi. Dipublikasikan oleh Fahmi Huwaidi pada pendapat mingguannya (tajuk rencana) dalam surat kabar “Asy Syarqul Awsath” tertanggal 8 Oktober 2001, teks fatwanya adalah sebagai berikut:

    Pertanyaan penanya memaparkan persoalan yang sangat rumit dan kondisi yang sangat sensitif, yang sedang dihadapi saudara-saudara kami tentara muslim dalam pasukan Amerika dan dalam pasukan-pasukan lainnya yang bisa jadi mempunyai kondisi yang serupa.

    Menjadi kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, menjadi satu tangan dalam menghadapi orang-orang yang melakukan aksi teror (menakut-nakuti) dan menghalalkan darah orang-orang yang tidak ikut berperang tanpa sebab syar’i. Karena Islam mengharamkan darah dan harta benda seorang muslim dengan pengharaman yang pasti dan jelas sampai hari kiamat. Karena Allah SWT berfirman:

    Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (QS. Al Maidah [5]: 32). Siapa saja yang menyelisihi dalil-dalil syar’i yang menunjukkan akan hal itu maka ia adalah orang yang telah bermaksiat, berhak mendapat hukuman sesuai dengan jenis maksiatnya dan kadar kerusakan serta perusakan sebagai akibat dari perbuatan maksiatnya.

    Wajib bagi saudara-saudara kita para tentara muslim dalam pasukan Amerika, menjadikan sikap mereka ini –dan dasar agamanya- sikap yang sudah dikenal teman-teman dan para pemimpin mereka dan agar mengutarakannya dengan terang-terangan dan jangan menyembunyikannya, ketika dengan sikap demikian ia telah ikut menyampaikan salah satu bagian penting dari hakikat ajaran Islam, yang telah lama dikaburkan gambarannya oleh banyak media massa atau diperlihatkan tidak sesuai dengan hakikat aslinya.

    Seandainya peristiwa-peristiwa terorisme yang terjadi di Amerika/United States of America (USA) disikapi sesuai dengan dalil-dalil syar’i dan kaidah-kaidah fiqih, maka hukum yang pas terhadap peristiwa-peristiwa tersebut adalah hukum kejahatan perampokan yang tercantum dalam surat Al Maidah ayat 33 – 34.

    Karena itu, kami memandang sangat perlu mencari pelaku sebenarnya kejahatan-kejahatan tersebut dan orang-orang yang ikut serta di dalamnya dari sisi pemberian semangat, pendanaan dan pemberian bantuan, dan mengajukannya kebenaran pengadilan yang obyektif, yang bisa menjatuhkan hukuman yang pantas dan membuat jera mereka dan orang-orang semacam mereka dari kalangan orang-orang yang menganggap remeh kehidupan orang-orang tidak berdosa dan harta benda mereka serta orang-orang yang melakukan teror bagi keamanan orang-orang tidak berdosa tersebut.

    Ikut serta dalam program itu dengan segala cara yang memungkinkan, sebagai perwujudan firman Allah SWT:
    Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah.” (QS. Al Maidah [5]: 2).
    Semua itu merupakan kewajiban kaum muslimin.

    Akan tetapi kesulitan yang menimpa para tentara muslim dalam memerangi kaum muslimin yang lain. Sumber kesulitan itu adalah dalam perang tersebut sangat sulit –atau mungkin mustahil- membedakan antara pelaku kejahatan sebenarnya yang menjadi target serangan, dan antara orang-orang yang tidak berdosa berkaitan dengan apa yang sedang terjadi. Sumber yang lain adalah ada hadits Nabi yang shahih mengatakan: Apabila dua muslim saling berhadapan dengan membawa pedang masing-masing, lalu yang satu membunuh yang temannya tersebut, maka si pembunh dan terbunuh sama-sama masuk neraka. Rasulullah SAW ditanya: Ini untuk si pembunuh kami setuju, lalu bagimana dengan si terbunuh kenapa juga masuk neraka? Beliau menjawab: Karena ia telah berniat ingin membunuh temannya tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim).

    Kenyataannya, hadits mulia tersebut mencakup keadaan yang seorang muslim masih mampu menguasai dirinya sehingga ia bisa bangkit ikut berperang atau bisa tidak ikut berperang. Sebaliknya hadits tersebut tidak mencakup keadaan yang seorang muslim menjadi seorang warga negara sekaligus seorang tentara reguler bagi sebuah negara, yang otomatis ia berkomitmen terhadap seluruh perintah yang ditujukan kepadanya, kalau tidak berkomitmen maka loyalitasnya kepada negaranya perlu diragukan dan bisa merakibatkan banyak bahaya bagi dirinya atas perbuatannya tersebut.

    Setelah itu menjadi jelas kesulitan yang disebabkan nash hadits shahih tersebut, bisa jadi ia tidak ada, dan bisa jadi dimaafkan di samping bahaya umum yang mengancam seluruh pasukan muslim dalam pasukan Amerika, bahkan di seluruh wilayah negara Amerika secara umum, jika loyalitas mereka kepada negara yang mereka menjadi warga negaranya menjadi diragukan. Padahal negara masih memberi kesempatan mereka menikmati hak kewarga negaraannya sehingga wajib baginya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara.

    Adapun kesulitan yang disebabkan karena perang yang di dalamnya tidak bisa membedakan target serangan, maka wajib bagi seorang muslim berniat dalam keikut sertaannya dalam perang tersebut demi menegakkan kebenaran dan memusnahkan kebatilan. Dan perbuatannya diniatkan juga untuk ditujukan menghalangi tindak kezhaliman terhadap orang-orang yang tidak berdosa atau menangkap para pelaku kezhaliman tersebut untuk diajukan ke pengadilan. Selain tujuan-tujuan tersebut, keikut sertaannya dalam perang akan menimbulkan problema pribadi, karena ia sendiri tidak bisa menghalangi dan merealisasikannya. Padahal Allah Ta’ala tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya dan sudah menjadi ketetapan menurut para pakar fiqih, setiap kewajiban yang tidak mampu dilakukannya sementara kewajiban itu tidak gugur darinya maka ia tidak dibebankan untuk menunaikannya. Tetapi seorang tentara muslim Amerika dalam kondisi seperti ini merupakan bagian dari keseluruhan kaum muslimin Amerika, yang seandainya ia keluar dari ketaatannya kepada para komandannya akan mengakibatkan bahaya bagi dirinya dan jamaah kaum muslimin di negaranya, yang bahaya tersebut lebih besar dibanding bahaya yang diakibatkan apabila ia ikut serta dengan perang.

    Sedangkan kaidah-kaidah syar’i menetapkan “apabila ada dua bahaya maka harus dilanggar yang paling ringan”, apabila keengganan kaum muslimin Amerika untuk ikut serta dalam perang dalam barisan pasukan mereka akan mengakibatkan bahaya seluruh kaum muslimin di negara mereka –padahal mereka berjumlah jutaan- sementara pada saat yang sama perang tersebut juga akan menyebabkan kesulitan atau gangguan rohani dan psikologis maka “bahaya khusus harus ditanggung/dilanggar demi menghindari bahaya yang umum/merata” sebagaimana ditetapkan kaidah fiqih yang lain.

    Apabila tentara muslim dalam pasukan Amerika mampu mengajukan permohonan hanya sekedar membantu –untuk sementara waktu dalam perang yang hampir terjadi- di barisan belakang untuk bekerja sekedar membantu mempersiapkan ransum jatah makanan bagi tentara di barisan depan dan pekerjaan yang serupa –sebagaimana ada dalam pertanyaan- tanpa menyebabkan kesulitan dan bahaya bagi dirinya dan kaum muslimin Amerika lainnya maka tidak mengapa bagi mereka untuk mengajukan permohonan tersebut. Namun apabila permohonannya tersebut menyebabkan bahaya dan kesulitan yang nampak dalam loyalitas mereka yang diragukan, akan mendapat pesangkaan buruk, yuduhan batil, mengganggu masa depan pekerjaannya, atau membuat keraguan mengenai rasa nasionalismenya dan bahaya serupa lainnya maka ketika itu ia tidak boleh mengajukan permohonan itu.

    Ringkasnya, tidak mengapa –insya Allah- bagi tentara muslim untuk ikut serta berperang dalam perpempuran yang potensial akan menghadapi orang-orang yang “dikira” melakukan tindak terorisme atau orang-orang yang menampung para pelaku tindak terorisme dan yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk berlatih dan bertolak dari negara mereka, dengan selalu menjaga niat yang benar sesuai penjelasan kami di atas, demi untuk menghindari syubhat apa pun yang kadang bisa mengenai mereka dalam loyalitas mereka terhadap tanah air mereka dan demi mencegah bahaya yang kemungkinan besar terjadi serta karena mengamalkan kaidah-kaidah syar’i yang menyatakan bahwa kedaruratan bisa membolehkan untuk melakukan hal yang diharamkan dan yang kaidah-kaidah syar’i yang mewajibkan melanggar bahaya yang lebih ringan untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Wallahu Ta’ala A’lam wa Ahkam.

    Alih bahasa: Abu Syakir

    Sumber: Idem

    ***********

    Dakwah untuk mencintai ahli kitab bukan hanya dilakukan oleh Qaradhawi saja tapi juga dipropagandakan oleh para dai ikhwanul muslimin lainnya. Sebagaimana pengakuan yang dituangkan dalam berbagai buku, wawancara, dan ceramahnya secara terang-terangan. Untuk menggiring simpati kaum awam yang jahil dan taklid buta, Qaradhawi memoles dakwah yang bathil ini dengan berbagai syubhat :

    Syubhat Pertama :

    Qaradhawi berdalil dengan firman Allah :

    “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah :8)

    Di sini Qaradhawi telah berpaling dan pura-pura tidak tahu terhadap penjelasan Ahli Tafsir tentang makna ayat ini. Untuk menyanggah istidlal (pengambilan dalil) yang keliru ini, penulis mempunyai beberapa bantahan.

    Pertama, dalam ayat ini terdapat petunjuk untuk berbuat kebaikan kepada orang-orang yang tersirat di dalamnya. Ada perbedaan antara al birr (kebaikan) dengan al mawaddah (kecintaan) yang diserukan oleh Qaradhawi. Al Mawaddah adalah al hubb (rasa cinta) sebagaimana yang tertera dalam Lisaanul ‘Arab (I:247) dan Al Qaamuus serta buku-buku bahasa Arab lainnya. Sedangkan al birr bermakna ash shillah (penghubung), tidak durhaka serta berbuat ihsan (kebajikan) sebagaimana yang termaktub dalam Lisaanul ‘Arab (I:371) dan Al Qaamuus.

    Berbuat kebaikan kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi Islam dan dalam rangka mendakwahi mereka ke dalam Islam adalah perkara yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, berbuat kebaikan dan kebajikan kepada kafir tidak menuntut adanya rasa kecintaan dan kasih sayang kepada mereka. Inilah yang dipahami oleh para ulama Salafus Shalih terdahulu dan kemudian, antara lain :

    1. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.

    Beliau berkata : “Sesungguhnya al birr (berbuat kebaikan), ash shillah (menghubungkan), dan al ihsan (berbuat kebajikan) tidak menuntut adanya sikap saling mencintai dan saling menyayangi karena hal ini terlarang dalam Al Qur’an :

    ‘Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun
    keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai- sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.’ (QS. Al Mujadilah :22)

    Sesungguhnya ayat ini berlaku umum baik untuk semua yang memerangi maupun yang tidak memerangi. Wallahu A’lam.” [Al Fath 5:276 pada hadits nomor 2620]

    2. Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.

    Beliau telah menjelaskan : “Sesungguhnya di awal surat ini—yakni surat Al Mumtahanah—Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang umat Islam menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih. Allah telah memutuskan cinta kasih antara Muslim dan kafir. Sebagian kaum Muslimin merasa bingung dan menganggap bahwa berbuat baik kepada orang kafir termasuk bagian dari loyalitas dan kecintaan kepada mereka. Maka Allah menjelaskan bahwa hal itu tidak termasuk loyalitas yang terlarang karena Allah tidak melarang berbuat baik kepada mereka. Bahkan Allah telah menuliskan kebaikan ada pada setiap sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Adapun yang terlarang adalah ber-wala’ (setia) kepada orang kafir dan mencintai mereka.” (Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I:301 bab Hukmu Awqafihim wa Waqful Muslim ‘Alaihim)

    3. Imam Syaukani rahimahullah. Beliau menyatakan tentang bolehnya menerima hadiah dari orang kafir dan bolehnya memberikan hadiah kepada mereka. Kemudian beliau mengatakan : “Hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

    ‘Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.’ (QS. Al Mujadilah : 22)

    Sesungguhnya ayat ini berlaku umum kepada orang yang memerangi ataupun yang tidak memerangi. Sedangkan ayat yang telah disebutkan sebelumnya adalah khusus bagi yang memerangi saja. Perbuatan baik dan bijak tidak mengharuskan adanya rasa saling mencintai dan mengasihi yang terlarang.” [Nailul Authaar VI:4]

    4. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah. Dalam Kitab Al Qaumiyah, setelah menyebutkan hadits Asma bin Abu Bakar dan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepadanya untuk berbakti kepada ibunya,
    Syaikh bin Baz berkata : “Kebaikan semacam ini dan berbagai kebaikan lain yang semisalnya bisa menyebabkan seseorang masuk Islam dengan senang hati. Di dalamnya terdapat unsur silaturrahim dan kedermawaman terhadap orang yang membutuhkan. Hal ini sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin, tidak membahayakan, dan sama sekali
    bukan termasuk loyalitas terhadap orang-orang kafir. Ini sangat jelas bagi yang berakal
    dan berfikir.” [Al I’laam bi Naqdil Kitaab Al Halaal wal Haraam catatan kaki halaman 15]

    5. Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullahu ta’ala. Beliau berkata : “Ada perbedaan yang sangat mencolok antara ihsan dalam interaksi,
    dengan mawaddah (kecintaan dalam hati). Makanya dalam surat AL Mumtahanah ayat 8

    Allah berfirman : ‘Hendaknya kalian berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka.’

    Dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman dengan mengatakan :
    ‘Hendaknya kalian mencintai mereka.’ [Al I’laam bin Naqdil Kitaab Al Halaal wal Haraam catatan kaki halaman 12]


    Para pembaca yang budiman, demikianlah sebagian pendapat ulama dalam memahami arti al birr dan al ihsan terhadap ahli kitab, sesuai dengan yang termaktub dalam ayat. Mereka membedakan arti berbuat kebajikan dan mencintai. Saya tidak mendapati seorang pun dari para ulama dan Ahli Tafsir yang berpendapat seperti pendapatnya Yusuf Al Qaradhawi kecuali orang-orang yang semanhaj dengannya. Di antara yang memperjelas perbedaan yang sangat jauh antara berbuat kebajikan dengan kecintaan yang menumbuhkan loyalitas yaitu Allah melarang kaum Muslimin untuk mencintai dan berkasih sayang antara ayah dengan anak-anaknya jika memang mereka itu lebih mencintai kekufuran daripada keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

    Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah : 22)

    Kendati demikian, Allah tetap memerintahkan untuk berbuat kebajikan kepada mereka dengan berfirman :

    Maka bergaullah dengan keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman : 15)
    Ayat ini menunjukkan bahwa berbuat kebajikan tidak menuntut adanya kecintaan dalam hati.

    Kedua, perhatikanlah apa yang dikatakan oleh para Ahli Tafsir mengenai ayat tadi. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Para Ahli Tafsir menjelaskan ayat ini adalah rukhshah dari Allah bagi orang-orang yang tidak memerangi kaum Muslimin dan juga diperbolehkan berbuat kebajikan kepada mereka walaupun loyalitas sudah terputus diantara mereka.” (Kitab Zaadul Masiir)

    Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama dan juga tidak bekerjasama untuk mengusirmu seperti para wanita dan orang-orang yang lemah dari mereka.” (Tafsiir Ibnu Katsiir III:349)

    Muhammad bin Jamaluddin Al Qasimi rahimahullah berkata : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang kafir dari penduduk Mekkah yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Itulah keadilan. Inilah batasan loyalitas yang tidak dilarang bahkan itu diperintahkan sebagai hak mereka.” (Mahaasinut Ta’wiil 16:128)

    Ketiga, sudah menjadi hal yang diketahui khalayak yang mempunyai ilmu walaupun minim bahwa ayat-ayat yang melarang ber-wala’ (loyal) kepada orang-orang kafir adalah larangan yang bersifat umum tanpa ada pengecualian dari suatu kelompok tertentu. Dan tidak ada seorang Muslim pun yang keluar dari larangan ini kecuali orang yang dipaksa melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menyelisihi syariat dengan syarat tidak dilakukan dengan hati. Dari sinilah diketahui bahwa mencintai orang-orang kafir adalah haram selama-lamanya. Para pembaca yang budiman, dari pembahasan di atas kita bisa mengetahui bahwa
    Qaradhawi tidak merujuk kepada pemahaman Salaf dan tidak meniti manhaj mereka dalam memahami Al Qur’an.


    Syubhat Kedua :
    Syubhat lain yang dijadikan dalih bagi Qaradhawi untuk membolehkan mencintai Ahli Kitab adalah ucapannya :
    “Sesungguhnya Ahli Kitab bila mereka membaca Al Qur’an, mereka mendapati pujian di dalam Al Qur’an terhadap Kitab-Kitab mereka dan Rasul-Rasul serta Nabi-Nabi mereka.” (Al Halaal wal Haraam halaman 128)

    Untuk membantah kepadanya. syubhat kedua ini, penulis sampaikan beberapa sanggahan:

    Pertama, memang Allah telah menurunkan kitab-kitab suci kepada para Rasul yang telah diutus-Nya. Tak ada seorang Muslim pun yang menyangkal bahwa beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada mereka seperti Taurat, Zabur, dan Injil serta beriman kepada para Rasul-Nya termasuk bagian dari rukun iman. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

    Rasul telah beriman kepada Al Qur’an dan yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat- Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya. (Mereka mengatakan) : ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-Rasul- Nya’. Dan mereka mengatakan : ‘Kami dengar dan kami taat’. (Mereka berdoa) : ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” (QS. Al Baqarah : 285)

    Juga seperti yang tercantum dalam hadits Jibril yang panjang ketika ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang iman. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab :
    “Iman adalah kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan para Rasul-Nya … .” (HR. Muslim dari Umar radliyallahu ‘anhu)

    Kedua, pujian Allah kepada kitab suci dan rasul-rasul dari kalangan ahli kitab tidak mewajibkan agar kta mencintai mereka karena Allah memuji firman-Nya sendiri yang diturunkan dalam Taurat, Zabur, dan Injil beserta para Rasul-Nya yang terpilih. Tapi Allah tidak memuji kepada ahli kitab yang merupakan saudaranya kera dan babi, yang telah mendustakan Allah, merubah firman-Nya, membunuh para Rasul-Nya, dan menyakiti hamba-hamba-Nya dari jaman dahulu kala sampai sekarang.

    Ketiga, sesungguhnya Allah telah mensifati mereka dengan beberapa sifat buruk, melaknat mereka, mengabarkan bahwa mereka senantiasa mencampuradukkan kebenaran dengan kebathilan, dan menyembunyikan kebenaran walaupun mereka mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al Maidah : 78-79)

    Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang dhalim.” (QS. Al Jumu’ah : 5)

    Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan : ‘Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’. Padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran : 78)

    Allah juga telah menerangkan sifat mereka yang menentang wahyu-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian yaitu Al Kitab (Taurat), mereka diseru kepada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka, kemudian sebagian dari mereka berpaling dan mereka selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. Ali Imran : 23)

    Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Al Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).” (QS. An Nisa’ : 44)

    Dalam menjelaskan keadaan ahli kitab, banyak sekali ayat Al Qur’an yang mencela mereka. Akan tetapi Qaradhawi membutakan diri dan mengabaikan ayat-ayat tersebut lalu berkelana mencari-cari dalih yang bisa dipakai untuk mengelabui kaum Muslimin yang awam. Memang dalam Al Qur’an ada ayat yang memuji ahli kitab namun pujian itu tertuju kepada ahli kitab yang telah masuk Islam atau yang konsisten di atas agama Nabinya karena mereka tidak berjumpa dengan masa kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
    Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ali Imran : 113-114)

    Hanya orang bingung saja yang mengira bahwa ayat ini adalah pujian Allah terhadap ahli kitab walaupun mereka tetap berada di atas agama mereka. Padahal ayat ini turun kepada segolongan ahli kitab yang telah masuk Islam dan setelah masuk Islam mereka dicela oleh oleh orang-orang kafir.

    Asbabunnuzul ayat tersebut dijelaskan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Kitab Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzuul sebagai berikut :

    Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata : “Setelah Abdullah bin Salam dan Tsa’labah bin Sya’ah serta Asad bin Ubaid dari kalangan masuk Islam, mereka beriman, bersedekah, dan mencintai Islam. Maka pendeta-pendeta yahudi yang masih kafir mengatakan :
    ‘Tidak ada yang beriman kepada Muhammad dan mengikutinya melainkan dia adalah orang-orang kita yang paling jelek. Seandainya mereka termasuk dari orang-orang pilihan kami maka mereka tidak akan meninggalkan agama nenek moyang.’

    Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat mengenai hal itu :
    Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ali Imran : 113-114) [HR. Ath Thabrani]

    Sedangkan azbabun-nuzul versi yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu. Dia berakata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengakhirkan shalat Isya kemudian keluar menuju ke masjid dan manusia sudah menunggu-nunggu untuk shalat.
    Beliau bersabda :
    “Tiada seorang pun pemeluk agama yang berdzikir kepada Allah pada waktu seperti ini
    selain kalian.”
    Ibnu Mas’ud berkata : “Lalu turunlah ayat tentang mereka :
    ‘Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab … .’
    Sampai ayat :
    ‘… Dan apa saja yang kebajikan yang mereka kerjakan maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya dan Allah Maha Mengtahui orang-orang yang bertakwa’.” [HR. Ahmad dalam Kitab Shahiihul Musnad Asbaabin Nuzuul]

    Atas dasar inilah maka pujian kepada ahli kitab hanya berlaku khusus bagi yang mempunyai sifat-sifat yang tertera dalam ayat saja.

    Syubhat Ketiga :
    Qaradhawi berkata : “Al Qur’an tidak memanggil mereka kecuali dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab) dan yaa ayyuhal ladziina uutul kitaaba (wahai orang-orang yang diberi Al Kitab). Dengan lafadh ini Al Qur’an menunjukkan bahwa pada dasarnya agama mereka adalah agama samawi. Maka antara ahli kitab dan kaum Muslimin dijembatani oleh kasih sayang dan kekerabatan. Hal ini tergambar dalam pokok-pokok agama yang satu, semua Nabinya telah diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al Halaalu wal Haraam halaman 327)

    Para pembaca yang budiman, lihatlah! Betapa tajamnya pengaburan dan betapa lemahnya istidlal yang ditempuh oleh Qaradhawi. Untuk meluruskannya, saya memiliki beberapa bantahan. Pertama, sesungguhnya panggilan Allah dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab), sama sekali tidak menuntut adanya kecintaan dan kasih sayang kepada mereka. Kedua, sesungguhnya hubungan dan kekerabatan yang disebutkan oleh Qaradhawi telah diputuskan oleh Allah dengan diutusnya Rasulullah dan diwahyukannya Al Qur’an yang me-nasakh (menghapus) seluruh syariat dan agama sebelumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

    Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran : 85)

    Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah : 48)

    Imam Asy Syaukani menjelaskan ayat tersebut dalam Kitab Fathul Qadiir: “Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
    Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan … .’
    Maksudnya adalah dengan apa yang diturunkan kepadamu dalam Al Qur’an karena Al Qur’an mencakup semua syariat Allah dalam kitab-kitab terdahulu. Sedangkan makna kalimat :
    Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.’ Adalah hawa nafsu pemeluk agama-agama yang telah lalu. Allah telah menghapus semua agama dengan datangnya Islam. Walaupun seandainya ahli kitab tidak mengubah agama mereka dan mereka tetap berpegang teguh dengan agama lama mereka tapi dengan datangnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan turunnya Al Qur’an serta dihapusnya semua syariat yang lain maka ahli kitab tidak boleh lagi memeluk agama lama mereka. Terlebih lagi jika mereka telah merubah kitab suci dan meninggalkan agama mereka sendiri. Penjelasan ini sejalan dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

    “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang pun yang mendengarku dari umat ini, baik yahudi maupun nashrani kemudian mati dan dia tidak beriman dengan risalah yang dibawa olehku melainkan dia termasuk dari penghuni neraka.” (HR. Muslim 2:186)

    Ketiga, bahwa panggilan kepada mereka dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab) telah warid (tercantum) dalam Al Qur’an dalam konteks celaan terhadap mereka. Konteks celaan terhadap ahli kitab yang memakai lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab), misalnya : “Hai ahli kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya).” (QS. Ali Imran : 70)

    Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?” (QS. Ali Imran : 71)

    Keempat, apakah pemahaman Qaradhawi bahwa mencintai ahli kitab atas dasar panggilan Allah wahai ahli kitab ini sesuai dengan pemahaman para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka (para shahabat)? Ternyata tidak! Kalau begitu, di manakah posisi Qaradhawi dari kitab-kitab ulama?

    Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS. AlBaqarah : 111)

    Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan mengemukakannya kepada Kami.” (QS. Al An’am : 148)

    sehingga dapat kamu Katakanlah : “Tuhanku hanya mengaharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)


    Syubhat Keempat :
    Qaradhawi berkata dalam kitabnya Ghairul Muslimiin fil ‘Aalamil Islami halaman 68 :
    Sesungguhnya Islam membolehkan setiap umatnya untuk menikah dengan ahli kitab (yahudi dan nashrani). Kehidupan suami istri harus dibangun di atas sakinah, mawaddah, dan rahmah (ketenangan jiwa, rasa cinta, dan menyayangi), sebagaimana yang ditunjukkan oleh Al Qur’an :
    Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.” (QS. Ar Rum : 21)

    Ini menunjukkan bahwa mahabbah (rasa cinta) seorang Muslim terhadap non Muslim itu tidak apa-apa (tidak berdosa). Bagaimana mungkin seorang suami tidak mencintai seorang istrinya yang dari ahli kitab? Bagaimana mungkin seorang anak tidak mencintai kakek dan nenek serta bibinya bila ibunya seorang kafir dzimmi?

    Istidlal (pengambilan dalil) yang dilakukan oleh Qaradhawi ini jelas sangat bathil dengan beberapa alasan sebagai berikut.

    Pertama, bahwa para Salaf ridlwanullah ‘alaihim tidak ada yang menjadikan bolehnya seorang Muslim menikahi wanita ahli kitab sebagai dalil untuk mencintai dan menyayangi ahli kitab. Mereka (Salaf) adalah umat yang paling mengetahui istidlal Al Qur’an setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Bahkan tidak ada Imam dan Ahli Fikih yang perkataannya sependapat Qaradhawi ini.

    Kedua, bahwa cinta ada dua macam (cinta tabiat dan cinta syar’i). Cinta tabiat adalah rasa cinta yang sudah menjadi tabiat manusia, seperti cinta kepada ayah, anak, saudara, istri, kakek, dan seterusnya. Cinta semacam ini ada pada setiap manusia, baik Mukmin ataupun kafir yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Cinta tabiat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an karena hal itu dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada pamannya:
    Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Qashash : 56)

    Kecintaan Rasulullah kepada pamannya ini tidak disyariatkan tapi tabiat asli manusia.
    Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan :
    “Dhahir ayat ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi’ ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mencintai Abu Thalib, pamannya. Bagaimana menafsirkan ayat ini? Jawabannya ada beberapa kemungkinan :

    Pertama, beliau mencintai Abu Thalib yakni menginginkan hidayahnya.
    Kedua, cinta beliau kepada pamannya itu adalah cinta thabi’i (tabiat manusiawi), seperti cinta anak kepada bapaknya walaupun dia kafir.
    Ketiga, cinta Nabi kepada pamannya yang kafir itu terjadi sebelum turunnya larangan mencintai orang kafir.

    Dari ketiga penafsiran tersebut yang paling mendekati kebenaran adalah yang pertama, yaitu mencintai hidayahnya bukan perasaannya. Hal ini berlaku umum bagi Abu Thalib dan lainnya dan bisa jadi kecintaan di sini cinta tabiat dan yang demikian tidak
    bertentangan dengan cinta yang syar’i. (Al Qaulul Mufiid Syarh Kitaabit Tauhid 1:349)

    Pembagian rasa cinta menjadi cinta tabiat dan cinta syar’i ini diperkuat oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim pada hadits Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata,
    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

    “Tidak beriman (dengan sempurna) salah seorang dari kalian hingga saya menjadi orang yang lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.”

    Imam Nawawi berkata :
    Imam Abu Sulaiman Al Khaththabi berkata : “Dalam hadits tersebut Rasulullah tidak menghendaki rasa cinta yang bersifat tabiat namun beliau menghendaki rasa cinta yang bisa memilih. Karena seseorang mencintai dirinya adalah cinta tabiat dan hal itu tidak ada jalan untuk menolaknya.”

    Ibnu Baththal, Qadhi `Iyadh, dan ulama lainnya menjelaskan : “Rasa cinta ada tiga macam, yaitu cinta penghormatan dan pengagungan, seperti cintanya seorang anak kepada ayahnya, cinta karena kasih sayang, seperti mencintai anak, dan cinta karena kecocokan dan kesenangan, seperti cintanya kepada seluruh manusia. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengumpulkan berbagai macam cinta dalam dirinya.” (Syarah Muslim halaman 15 hadits 18/19. Lihat Fathul Baari I hadits 14/15 bab VIII)

    Para ulama banyak yang membahas masalah cinta daan macam-macamnya dalam kitab-kitab mereka. Untuk menambah ilmu bacalah kitab-kitab mereka.

    Ketiga, ulama yang membolehkan pernikahan seorang Muslim dengan wanita ahli kitab tetap mengharamkan mencintai orang-orang non Muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah : 22)

    Ayat-ayat yang senada dengan ayat ini banyak sekali dan sebagian telah penulis sebutkan. Akan tetapi hawa nafsu telah memalingkan Qaradhawi dari ayat-ayat ini. Dia lebih tertarik dengan syubhat-syubhat yang lemah.

    Keempat, kalaulah kita terima pendapat Qaradhawi bahwa rasa cinta yang ada di antara seorang Muslim dengan istrinya dari ahli kitab adalah cinta yang syar’i maka dalil dari ayat tersebut menjadi khusus bagi seorang Muslim bersama istrinya saja. Ini hanya sekedar pengandaian saja. Akan tetapi dalil tersebut bersifat umum yang menuntut haramnya rasa cinta syar’i kepada orang-orang kafir semuanya. Kelima, Allah membolehkan seorang Muslim menikah dengan wanita ahli kitab tujuannya agar pernikahan itu bisa menyebabkan pihak wanita mendapat hidayah karena berbagai kelebihan yang Allah berikan kepada lelaki dibandingkan wanitanya, seperti kesempurnaan akal dan kemampuan untuk mempengaruhi dan lain sebagainya. Islam mengharamkan pernikahan wanita Muslimah dengan pria ahli kitab supaya hal itu tidak menyebabkan kepatuhan kepada pria non Muslim dan kemudian meninggalkan agamanya.

    Selanjutnya, jika pembaca mengkritisi ucapan Qaradhawi lebih teliti lagi maka akan pembaca ketahui bahwa dia tidak membatasi kecintaan hanya kepada ahli kitab saja. Bahkan dia mengglobalkan kecintaannya kepada semua orang kafir. Inilah kutipan ucapannya :

    Hal ini menunjukkan bahwa mahabbah (rasa cinta) seorang Muslim terhadap non Muslim itu tidak apa-apa (tidak berdosa). (Ghairul Muslimiin fil ‘Aalamil Islami halaman 68)

    Perhatikan wahai saudaraku, ungkapan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Qaradhawi membawa pemikiran yang busuk dan bathil untuk mengkaburkan Al Wala’ wal Bara’ yang itu merupakan salah satu pokok aqidah Islam.

    Syubhat Kelima :
    Dalam kitab Al Halaal wal Haraam pada halaman 327, Qaradhawi mengatakan :
    Jika seorang Muslim berdebat dengan ahli kitab maka hindarilah perdebatan yang bisa menyinggung perasaan dan menimbulkan permusuhan. Allah berfirman : “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang paling baik.” (QS. Al Ankabut : 46)

    Istidlal (pengambilan dalil) ini pun jauh dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu dalam menghukumi firman Allah ini. Sebagai bantahannya kami kemukakan beberapa poin :

    Pertama, para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut. Tapi, tak satu pun mufassir yang mendukung pendapat Qaradhawi. Di antara pendapat tersebut adalah :

    1. Bahwa ayat tersebut sudah mansukh (dihapus) dengan ayat saif (perintah perang). Ini adalah pendapat Mujahid dan Ibnu ‘Athiyah Al Andalusi. Pendapat para mufassir ini menutup hujjah bagi Qaradhawi untuk membela diri.

    2. Makna berdebat dengan ahli kitab melalui cara terbaik adalah mendoakan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla (agar mereka mendapat hidayah) dan menyampaikan argumen, ayat-ayat, dan bukti-bukti dengan harapan mereka mau menyambut Islam dan hijrah ke dalamnya. Berinteraksi kepada mereka harus dengan cara dan ucapan yang lembut saat mengajaknya kepada kebenaran serta menolak kebathilan dengan cara yang paling mudah untuk sampai kepada hal itu.

    3. Ada yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah janganlah kalian mendebat orang-orang yang beriman kepada Muhammad dari kalangan ahli kitab, seperti Abdullah bin Salam dan semua yang beriman kepadanya, kecuali dengan cara yang terbaik. Menurut pendapat yang kedua, ayat tersebut termasuk muhkamat (ayat-ayat yang jelas). Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir rahimahullah.

    Walaupun ayat tersebut muhkamat namun tidak ada kaitannya dengan pendapat Qaradhawi karena dia menjadikan ayat billatii hiya ahsan (dengan cara yang paling baik) sebagai dalil untuk menghindari hal yang menyinggung perasaan dan menimbulkan permusuhan. Bahkan dari ayat inilah Qaradhawi mensyariatkan perintah untuk mencintai yahudi dan nashrani. Mungkin dia pura-pura tidak tahu tentang maksud ayat billatii hiya ahsan, yakni jalan yang dibangun di atas ilmu dan argumen serta burhan (bukti) yang jelas, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
    "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl : 125)

    Berdebat dengan ahli kitab atau dengan para pelaku kebathilan dengan tujuan agar mereka mau menerima petunjuk kebenaran dan mengembalikan mereka dari kebathilan tidak menuntut adanya rasa cinta kepada pelaku kebathilan dan kesesatan. Jika tidak dipahami demikian maka harus dikatakan bahwa Musa dan Harun diperintah untuk mencintai Fir’aun ketika Allah berfirman kepada keduanya :
    Maka ucapkanlah kepadanya ucapan yang lembut.” (QS. Thaha : 44)
    Karena ucapan yang lemah lembut adalah ucapan baik yang didasari dengan ilmu, argumen, dan hikmah.

    Kalimat billatii hiya ahsan (dengan cara yang paling baik) mempunyai beberapa makna, di antaranya :

    1. Tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Allah. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu.

    2. Menahan diri dari (memerangi) mereka setelah mereka memberikan jizyah (pajak). Pengertian ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Zaadul Masiir.

    3. Cara yang terbaik adalah dengan Al Qur’an.

    Kedua, sesungguhnya berdebat dengan ahli kitab melalui cara terbaik merupakan sebab agar mereka mau menerima Islam. Hal ini jauh dari sikap keras terhadap mereka yang bisa menyebabkan mereka mencela Islam dan orang yang membawanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am : 108)

    Saudara pembaca yang budiman, setelah mengetahui pendapat para mufassir tentang ayat yang dikaburkan oleh Qaradhawi, jelaslah bagi kita bahwa tak seorang pun dari kalangan Salafusshalih dan pengikut baik mereka yang sejalan dengan pemikiran Qaradhawi.

    Setelah memaparkan berbagai syubhat dan talbis (pemutarbalikan) kebenaran kepada kaum Muslimin, Qaradhawi berusaha mendekatkan kaum Muslimin dengan umat Nashrani. Ia berkata :

    Hal ini berlaku untuk ahli kitab secara umum. Sedangkan untuk orang nashara, secara khusus dalam Al Qur’an Allah telah menempatkan mereka pada suatu posisi yang dekat dengan kaum Muslimin. Allah berfirman : “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang nashrani’. Yang demikian ini disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang nashrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al Maidah : 82) [Al Halaal wal Haraam halaman 328]

    Syubhat Qaradhawi tersebut bisa penulis luruskan dengan beberapa bantahan berikut :

    Pertama, ayat yang dikutip Qaradhawi itu mengabarkan bahwa nashara adalah orang- orang yang mencintai kaum Muslimin karena mereka mengetahui bahwa apa yang ada pada kaum Muslimin adalah kebenaran.

    Apakah hal ini mengharuskan seorang Muslim untuk mencintai mereka yang telah mengkultuskan salib, mempertuhankan Nabi Isa, meyakini doktrin bahwa Al Masih adalah anak Allah, serta kesyirikan dan kekufuran besar lainnya. Subhanallah! Ini adalah kedustaan yang besar.

    Kedua, ayat tersebut turun kepada Najasyi yang masuk Islam bersama para shahabatnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar Razi (Shahiihul Musnad Min Asbaabin Nuzuul halaman 99)

    Ketiga, ayat ini mengisyaratkan kepada keimanan dan keislaman orang yang disebutkan dalam ayat berikutnya :
    “Ya Tuhan kami, kami telah beriman maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi WaSallam).”

    Keempat, berbagai kemenangan yang diraih umat Islam di berbagai belahan negeri nashara tidak menunjukkan kedekatan hati antara umat nashara dan kaum Muslimin. Justru hal itu menunjukkan adanya kebencian dan permusuhan yang luar biasa kepada mereka.

    Para pembaca yang budiman, jelaslah bagi kita bagaimana sikap pembelaan Yusuf Al Qaradhawi terhadap musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla.